Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta 6

| No comment
Hujan yang masih bergemericik membuat kami harus cepat-cepat sampai, aku tak tahu ke mana Enok membawaku, aku sudah pamit dari tempat Rani, sudah kubawa tas dan kotak klarinetku. Yang jelas angkringan katanya. Dan aku tak pernah suka dengan angkringan, apalagi angkringan di gerobak dorong. Bukan bergaya sok kaya, tapi tempat semacam itu tak memungkinkan untuk berbicara lama, karena biasa mereka hanya menyediakan sedikit bangku dan tikar, sedangkan yang datang berjejalan. Hanya orang tidak tahu diri yang mau berlama-lama tanpa memberikan kesempatan bagi yang lain. Tapi sudahlah, kesempatan pertemuan kedua dengan Enok ini sayang dilewatkan. Baru bertemu dua kali, tidak banyak melakukan kontak juga, tapi kami seperti sudah bertemu setiap hari saja. 

Aku tidak akan menyangka bahwa deretan rumah di sepanjang sungai di yang membelah kota Solo itu menyimpan sebuah situs rahasia. Dari depan tidak ada yang istimewa, hanya jajaran rumah biasa. Andaikata ada yang sedikit menarik itu adalah beberapa pos kamling yang kalau tidak salah berwarna merah di sana. Tapi jika seseorang melihat dengan teliti, ada sebuah gang kecil yang hanya cukup dimasuki sepeda motor, dan di gang itu berjajar tiga buah lampu dari bambu bergaya obor Jawa memandu ke rumah di dalamnya. Enok menaikkan motornya ke sana, aku yang di boncengan belakang pasrah saja.

Dan kami masuk ke sana. Sebuah tempat latihan teaterkah? "Kita makan di sini." Katanya. Selalu ada waktu sebentar untuk memuaskan diri dari terpesona, dan kenikmatan serupa itu tak boleh diganggu gugat. Aku melihat berkeliling, sebuah joglo atau sebuh saja pendopo dengan potongan-potongan kayu besar yang ditaruh begitu saja, tembok-tembok dari kayu. Tapi tidak, ketika masuk, aku segera tahu bahwa kayu-kayu besar itu adalah kursi dan meja tua yang diatur demikian rupa, kita tiba-tiba bisa menyelip di antara kursi-kursi itu dengan nyamannya. Di meja-meja yang lain ada asbak dari kayu serupa kotak perhiasan Jawa. Ada juga sebuah meja yang di atasnya semacam ada mangkuk besar dari kayu dengan ciduk kayu juga, mungkin dulu yang seperti ini dipakai untuk upacara memandikan pengantin. Dinding-dindingnya digantungi berbagai macam hiasan yang seperti dijejalkan saja, tapi oke juga. Ada wayang, rebab, foto-foto, lukisan, bahkan di atas sebuah lemari atau balok kayu ada sitar, kecapi, yang masih bisa berbunyi. Enok memilih tempat duduk di sudut yang menurutku timur. Aku melihat bersekitar, beberapa foto Sukarno, sebuah kepala rusa jika tidak salah, sebuah rebab yang ditaruh saja, sebuah salon tua yang memutar lagu-lagu tahun 70-80an dengan lembut, serasi dengan temaramnya lampu di ruangan ini. Di atas salon itu ada sebuah telpon tua.

"Aku menyebutnya sudut Sukarno." Aku masih belum selesai dengan kenikmatanku, dia seperti menikmati terpesonaku. "Itu kalung sapi ya?" Dia mengangguk. Di sepanjang talang digantungkan puluhan atau ratusan kalung sapi dari kayu. "Harusnya di sini ada pementasan!" Aku masih saja memandang berkeliling, aku sadar bahwa di depan ada sebuah pohon yang dilekati beberapa potong ornamen. "Mungkin pertunjukan jazz." Enok menggeleng. "Atau pameran seni rupa." "Kalau itu bisa." Aku meletakkan tasku dan menghirup aroma hujan yang bersinggungan dengan rasa hangat di dalam pendopo itu. "Ayo memesan." Dan aku mengikutinya. 

Dia memesan sebuah bungkus nasi, jahe hangat, tempe bacem, dan setusuk sate, mungkin sate usus. Aku mencari yang jarang kutemui, aku memewan wedang tape, sebungkus nasi, sebuah makanan serupa bacon lembek yang dibungkus kulit pangsit, sosis Solo kata masnya, dan rasanya enak, seperti bakso daging tapi lebih empuk dan tidak kenyal. Dan sebuah lagi yang lebih aneh, seperti adonan bakwan yang di atasnya ada kepala kecil, aku pikir burung pipit ternyata puyuh, ternyata itu bukan adonan bakwan tetapi badan si burung yang ditekuk sedemikian rupa. Liat seperti daging bebek, tapi agak getir juga. Mungkin rempahnya. Dan biasa di angkringan mana pun, makanan itu harus dibakar lagi. Setelah memesan aku baru sadar sebuah tulisan kapur di sebuah papan tulis hitam sebelah masnya yang berjualan "BUKA PUKUL 17.00 SAMPAI MENUNGGU" Aku tertawa, Enok menyahutku, "Paling jam dua belasan sudah tutup. Tapi kalau hujan begini siapa tahu." Kami kembali ke tempat duduk.

"Orang yang buka ini pasti bukan sedang cari untung" Aku membuka pembicaraan, tempat itu sepi dan memang tampaknya tidak biasa ramai, bahkan bersama dengan kami hanya beberapa pemuda yang datang belakangan, mungkin tujuh orang. Pendopo itu seperti kami huni berdua saja. "Klangenan" Enok menjawab pendek saja. "Apa namanya?" "Slendro 9" "Seperti gamelan saja." Enok mengangguk. Orang itu membuka tempat ini karena senang, bukan karena untung, makanan yang dijual juga tidak banyak, jadi aku rasa memang begitu. Orang tidak mungkin tahu tempat ini kecuali pernah diajak ke sini, dan itu membuat tempat ini terasa sangat nyaman dan setiap yang datang seperti sudah saling mengenal. Sangat intim. 

Kami mulai berbicara banyak hal, awalnya tentu saja tentang pekerjaan, aktivitas kami. Dia bercerita tentang pekerjaannya, dan tentu saja tentang dia yang memelihara seekor anjing mantis, yang membuat banyak orang kompleksnya bertanya, "Gerejanya di mana?" Dan dia tidak akan menjawabnya, hanya tersenyum saja. aku juga cerita kepadanya bahwa aku sekarang juga memelihara anjing, namanya Bebo. "Ini Bebo yang keempat, semua anjingku kuberi nama Bebo. Anjing pertamaku jantan diberi seseorang ketika usianya mungkin satu bulanan. Aku memberi nama Bebo, karena itu seperti memanggil orang yang disayangi "Beb" tapi juga dari Baba, itu Bahasa Swahili untuk bapak." Dia tertawa, "Anjing saja namanya Bahasa Swahili, Bebo yang sekarang laki-laki?" "Enggak dia betina." Kami berderai-derai. 

Makanan datang, tapi kami tak terlalu lapar, kami merokok saja sambil bercerita-cerita. Hujan mulai mereda tapi masih terasa sisa basahnya, sesekali memang masih menitik. Salon di sebelah kami sudah berhenti memutar lagu Indonesia, giliran lagu-lagu manca. Yesterday, Beautiful Girl, Nothing Gonna Change My Love for You, dan lagu-lagu semacamnya. Obrolan kami ke sana kemari, mulai dari pertunjukan teater, tentang Solo, tentang Jogja, tentang Kediri, dan beberapa tempat lain yang pernah kami kunjungi. Aku bercerita kepadanya tentang apa yang kulakukan sesehari. "Kamu tampak lebih tua sekarang." katanya, aku menggangguk, "Tua dan gemuk sekali!" "Gemuk iya, gemuk sekali tidak. Beda sekali dari dulu waktu ketemu." "Aku naik dua puluh kilo sejah keluar Jogja."

Tambah malam, beberapa orang mulai pergi dari Slendro 9. Dia mencoba memainkan klarinetku. Seperti rata-rata orang yang bertemu klarinet pertama kali, pilihannya adalah jatuh cinta karena bentuknya yang indah atau menyerah, dan Enok kelompok kedua. 

"Kapan kamu menikah?" Tanyanya. Aku mengangkat bahu saja, "Aku bahkan tidak tahu apakah itu cukup penting buatku sekarang. Kamu?" Dia mengambil waktu sebentar. "Bulan depan." Aku tidak percaya, dia pasti bercanda. Dia mengangguk bersungguh-sungguh. "Kamu mengenalnya kok." "Yang di facebook itu bukan." "Iya, tapi bukannya kamu kenal dia waktu di Slawi dulu. Dia ingat sama kamu. Dia main musik bareng Tomi, aku kapan hari juga ketemu Tomi." Aku menggeleng, "Aku gak ingat, aku tahunya bahwa dia in relationship sama kamu." Dia mengiyakan dan menceritakan bahwa calonnya sangat berbeda dengan yang dulu ditemuinya di Slawi. "Kamu bahagia?" tanyaku. "Aku bahagia!" jawabnya, aku senang. Selebihnya kami saja yang tahu. 

"Kamu ingat jaman kita di Slawi?" Tanyanya. "Ingat lah!" "Kita seperti orang hilang, mencari kopi malam-malam di jalanan yang penuh dengan perempuan-perempuan yang menjajakan diri di pinggir jalan." Dia tertawa "Lalu gerimis," balasku. "Lalu gerimis, kita selalu bertemu ketika gerimis." demikian dia memungkasi tegukan terakhir jahe hangatnya. Dari dalam tasnya dia mengeluarkan sebuah kotak teh dan sekotak gula jahe. Minuman Slawi. "Kebetulan di rumah ada. Teman-temanku juga sering memesan ini." Dia membayar makanan kami, aku memintanya mengantarkan ke terminal.

"Terminal ini sudah berbeda sekarang." Dia menunjukkan kepadaku bagian-bagiannya. Dan menghentikanku di pintu keluar bus ke Jogja. Jam sebelas lebih. "Semoga nanti Jumat bisa mampir lagi sebelum pulang." Dia mengiyakan, yang penting tidak nonton teater. "Cerita yang kita jumpai sesehari sudah lebih ramai dari teater mana pun." aku ingat ketika kami dulu sekelompok di Slawi, dia menjadi pemain sintren, dan aku menjadi semacam dukunnya. Kalau nanti jadi mampir Hari Jumat, dia menjanjikan tempat yang lebih menyenangkan dari yang tadi. Ada?

Bus datang, dia pulang, aku ke Jogja. 
Tags : ,

No comments:

Post a Comment