Seharusnya aku sudah sampai Jojga jam lima atau enam sore. Aku sudah membelikan Sih Ell lima bungkus gethuk pisang di Kertosono ketika berangkat, ternyata lumayan mahal juga. Dan ranselku sobek dengan sukses sekali. Sebenarnya itu tas Sasono yang kurebut dengan paksa dulu ketika jaman kuliah, dia mungkin bahkan sudah lupa pernah punya tas sebagus itu. Aku ternyata sering merebut barang dari Sasono, mulai sweater super longgar (yang sekarang pasti sudah tidak longgar lagi), jumper, tas bahu. Tapi hanya ransel ini yang selamat sampai di tanganku. Ternyata aku membawa lebih banyak kaus dari yang kubayangkan, dua buah buku yang kubawa - dan aku yakin tidak akan sempat kubaca - sampai susah menyelip lagi. Namun jelas aku tak akan sampai tepat waktu, bus Mira yang kutumpangi berjalan serupa andong.
Perempuan di sebelah kananku tidak berhenti makan, setiap ada penjual yang menawarkan dagangannya dia menyambutnya dengan sukacita. Mulai dari tahu, manisan mangga - aku juga kepingin beli tapi terlalu gengsi, aku pikir akan ketemu lagi penjual semacam itu tapi tidak ada lagi - kacang, sampai entah apa lagi. Hanya satu yang tidak disambutnya dengan senyuman: orang yang mengedarkan kotak untuk bantuan pembangunan Masjid. Pria di sebelah kiriku sangar! Mungkin usianya lima atau tujuh tahun di atasku, tapi badannya besar dan janggutnya tidak tertata. Namun ketika dia tersenyum semua berubah, seluruh wajahnya adalah senyumannya. Menentramkan. Dia memegangkan tangan kananya ke bangku di depan kami, tapi menariknya kembali ketika aku melihat tangannya. Aku baru sadar alasannya, setelah memperhatikan lagi, itu bukan otot yang berjalaran, tapi seperti daging-daging yang menonjol. Dia tidak perlu malu sebenarnya, tapi sudah terlanjur. Dia akhirnya pindah ke bangku sebelah ketika kosong, aku rasa dia tidak nyaman ketika aku memandang tangannya, pasti tatapanku membuatnya tidak nyaman. Padahal aku rasa aku hanya melihat saja.
Hutan jati itu kering, ada beberapa bongkokan semacam kayu bakar, namun kulihat lagi ternyata bukan kayu bakar tapi batang-batang singkong. Baru ketika masuk Madiun hutan itu kembali hijau, baru sekali itu aku begitu senang melihat tumbuhan liar. Hijau memang menyegarkan. Dan sejurus kemudian mataku mulai menangkap lagi perumahan, membosankan! Aku menghubungi Enok, mungkin aku mampir di Solo. Dan dia menyambutnya dengan antusias, tapi dia baru keluar kantor jam enam. Berarti kalau memang jadi mampir aku harus mencari tempat pemberhentian sementara, mungkin aku bisa membaca di terminal, atau ke warnet, atau aku bisa ke Rani. Aku memilih yang terakhir, aku menghubungi Rani dan dia ternyata OK. Syukurlah! Aku kangen sekali kepada adikku satu itu.
Aku sampai di Terminal Tirtonadi jam limaan. Rani menyaranku naik becak, becak itu hampir terjungkal oleh beratku ditambah ransel raksasaku dan kotak klarinetku. Dan demikianlah Rani, serupa Nunung, semakin gemuk saja dia. Tapi tak ada yang benar-benar berubah darinya. Matanya sakit, demikian juga adik perempuannya. Aku baru tahu bahwa adiknya sudah bercerai dan sekarang membawa serta kedua anaknya tinggal bersama Rani. Radit yang besar dan Tasya yang lebih kecil. Awalnya mereka malu-malu, tapi percayalah peletku kepada anak-anak adalah salah satu yang terbaik. Akhirnya mereka menempel kepadaku. Bahkan Tasya - seperti anak kecil lain - sibuk menunjukkan apa saja yang dimiliki. Dan satu lagi, Tasya itu gila handphone, setiap handpone pasti akan dia pinjam, handphoneku pun tidak terkecuali. Dia tidak mengerti tentu saja, tapi dia bergaya seolah-olah ditelpon, dan centilnya luar biasa.
"Ran kamu yang menanggung mereka?" Rani tersenyum saja. Rani tetaplah Rani, hidup bukanlah beban, semuanya menyenangkan. Mengapa dia bisa sedemikian santainya? Mungkin karena dia Rani. Tidak tampak wajah susah, paling-paling dia mengeluhkan matanya yang merah dan menertawakanku sekeras-kerasnya berkat korset yag kupakai, dan salah satu pengait korset itu putus. "Kalau gemuk, gemuk saja!" Tapi toh dia menemaniku menjahit korsetku, walaupun tidak berhenti cekikikan.
Aku merokok di teras. Rumahnya besar. Aku agak terkejut ketika si kecil Tasya memelukku. "Papa!" Anak kecil itu membisikkan takut-takut. "Tasya kangen sama papa!" Dan dia mengangguk. Rani hanya tersenyum saja, senyum a la Rani. Senyum tidak bersalah yang seolah menebakku dengan persis, senyum yang seperti meneriakkan, "Biasa aja! Gak usah dijadikan drama!" Aku meninggalkan getuk pisangku di sana. Sih Ell bisa kucarikan yang lain. "Kamu tahu di mana membeli ransel?" Rani menunjukkan kepadaku arah tempatnya, "Radit antarin Om Gideon ke tempat kamu beli kado buat temanmu kemarin, masih ingat kan?" Dia memesan kepadaku untuk tidak membeli di pinggir jalan, bisa kena dua kali lipat.
Hujan deras sekali, Enok antara iya atau tidak akan datang. Kalau Enok tidak datang aku akan langsung berangkat. Radit mengantarku membeli tas. Gila! Di toko itu batik untuk pria harganya hanya Rp 23.000,00, aku bisa kulakan kalau di sini. Dan aku mendapatkan sebuah ransel seharga Rpp 87.000,00 saja. Murah! Ketika kami hendak keluar dari toko, aku tahu mata Radit tak beranjak dari rak mainan anak-anak. Aku menawarkan kepadanya mau apa, dia memilih sebuah handphone plastik yang ketika dipecet akan menyanyikan Gangnam Style. Aku membelikan dua, sekalian untuk Tasya, hanya lima ribuan saja sebuah. "Radit mau yang lain?" "Enggak Om, yang lain mahal, aku ini saja." Aku tertegun. "Kenapa, Om?" Aku menggeleng, kami pulang berhujan-hujan lagi.
Enok menghubungiku dan mengatakan setidaknya makan bersama lah. Aku menyetujuinya. Dia datang dengan sepeda motornya, dia hampir tidak mengenaliku, "Gendut banget!" Aku tersenyum saja. Mata kami bertemu, dan cerita semalam di Slawi enam tahun yang lalu itu berlintasan, bukan hanya di mataku, tapi juga di matanya.
No comments:
Post a Comment