Aku bangun dengan tidak terlalu bersemangat. Kesiangan juga. Sudah jam setengah tujuh. Kemarin kami di gereja baru menerima kunjungan dari para remaja Sidoarjo. Rasanya masih pegal-pegal sekujur tubuh. Aku bermalas-masalan mempersiapkan apa yang akan kubawa, empat potong kaus, dua celana pendek, sebuah celana jeans, sebuah jumper, sebuah sweater dengan leher yang melar dan aku menyukainya, sweater kelas dewa buatku, sandal tambahan, peralatan mandi, celana dan kaus dalam secukupnya, dan tentu saja clarinet. Yosia memesankan itu kepadaku. Aku mencari ranselku, dan aku terpesona melihat jebol-jebol di ransel yang ternyata cukup akut. Nanti kucari saja yang baru sambil jalan. Ternyata banyak juga bawaanku, belum lagi harus membawakan Sih Ell gethuk pisang atua kerupuk tahu, disisipkan di mana lagi?
Setelah menggorengkan hati dan membuatkan susu untuk Bebo, anjingku, aku mengambil celanaku yang rusak resletingnya, aku yakin celana itu bisa masuk walaupun tanpa bantuan resleting. Dibuntu saja sekalian. Ketika itulah perempuan tua itu datang ke rumahku bersama Bu Samponah yang mengantarkan koranku setiap pagi. "Mbok Wo!" Perempuan itu berjalan tertatih, stroke yang menyerangnya hampir sebulan ini mematikan sebelah kanan tubuhnya. Jalannya memincang, tangan kanannya tak mampu bersalaman, dan bicaranya seperti sedang bermantra, karena lidahnya yang ikut terserang, katanya lidahnya menjadi kasar seperti lidah anjing. "Kula kepingin dolan ngriki. Menawi radi waras kula pertama kepingin dhateng Pak Pendhito."
Dia tersenyum sebelah ketika melihatku. Aku kaget, kagum, bercampur iba. Sebulan saja dia sudah tampak sedemikian tua, padahal dulu dia akan datang pagi dan mulai membereskan rumah sampai menyetrikakan bajuku. Dia tampak begitu rapuh. Namun matanya adalah cerita lain, sebuah semangat dan harapan, tubuhnya tidak bisa menahan gelora semangat dan harapan itu.
Kami berbicara sedikit, lalu dia masuk melihat-lihat rumah. Rumahku bersih, untungnya. Sehingga dia tidak perlu khawatir bahwa selama dia tidak ada maka semua berantakan. Semua baik-baik saja. Aku melihatnya tenggelam, entah apa yang dipikirkan. Aku ingat dulu pertama kali ketika stroke itu menyerangnya dia menangis, bukan karena sakitnya, "Mantun ngaten boten wonten sing ngrencangi jenengan." Dalam seperti itu masih aku yang dipikirkan. Aku seperti terhenyak, terlalu banyak cinta di sekelilingku, dan aku kadang hanya memilih satu dan kecewa ketika yang satu itu ternyata tak seperti harapanku. Aku lupa pada yang di sekeliling, seperti menatap kepergian sebuah kereta malam dalam liputan kabut, dan tidak sadar bahwa mereka yang ada di belakangku ternyata ratusan, dan semua membatin, "Masih akan ada kereta lain, atau setidaknya kami tidak pergi."Aku melanjutkan pada celanaku ketika seorang nenek lain datang, berkebaya lusuh dan jarit yang tak kalah kumuh. Aku menatapnya dia menatapku. Aku hendak beranjak mengambilkan uang kecil. Ketika dia menahanku, "Kula boten ngemis, kula sadean tigan asin" Melihatnya yang tampak begitu lelah padahal hari masih juga belum beranjak, membuatku secara otomatis mempersilakannya duduk. Dan cerita itu pun terlantun seperti nyanyian pada sebuah pagi yang sejuk, nyanyian yang mendirikan roma.
"Jenengan saking pundi?" Dia menjawab dia dari Plosoklaten. "Leres panjenengan, kula rumiyin nate nyuwun-nyuwun teng ngriki. Tapi sak niki kula kiyat, kula sadean tigan asin." Aku masih mendengarkan, kutinggalkan sebentar jahitanku. "Kula nate gadhah utang, tigang dasa satus seket, dirasani entek-entekan kalih tiyange ingkang ngutangi. Putu-putu kula ngantos dipun ece. Kados-kados wong cilik niki boten wonten regane. Sejatose kula gadhah kajeng, badhe kula sade, tapi ngantos sak niki dereng wonteng ingkang numbas.""Tigang dasa itu tiga puluh juta?"
Dia tersenyum, "Boten, tigang dasa mawon, tigang dasa ewu. Utang blanja ngaten punika lo, sewu rong ewu, nglumpuk ngantos tigang dasa satus seket. Kula boten kiyat dipun rasane terus, dipun gunem. Makane kula ..." Dia memutuskan menahan diri cukup lama sampai potongan kalimat itu meluncur dengan terpaksa, "... nyuwun-nyuwun punika, kula nate nyuwun ngriki, panjenengan ingkang maringi." Cerita itu berlanjut, bahwa dia tak mungkin meminta-minta di kota, khawatir bahwa ada kenalannya yang tahu. Dia malu. "Kanggene tiyang ingkang boten nate nyuwun-nyuwun, menawi pertama ngaten rasane ngriki." Sambil mengelus dadanya. Akhirnya setelah satu hari dia mendapatkan cukup untuk membayar utangnya, bahkan masih cukup untuk membeli dua puluh telur asin. Sekarang dia sudah bisa kulakan hingga lima puluh butir.
"Jenengan nitih napa dhateng ngriki kala wau?"
Dia bercerita bahwa dia bersama dengan truk tebu, karena banyak sopir dan kernet yang sudah mengenalnya. Kebetulan di Tunglur ada yang sedang panen tebu. Pabrik memberikannya tumpangan sementara untuk dia dan kedua cucunya, anaknya sudah meninggal, tinggal dia dan kedua cucunya itu saja. Mereka masih belum cukup berumur untuk bekerja, yang tertua perempuan SMP dan yang muda masih SD. Maka dialah satu-satunya sumber penghidupan keluarga. Aku menatapnya, usianya mungkin enam puluhan atau lebih, tapi tampaknya penderitaan membuatnya jauh lebih tua.
"Panjenengan sampun semahan?" aku menjawab tidak. Dia mendoakanku mendapat yang terbaik, yang bisa manut kepada wong lanang, dan minta supaya didoakan supaya bisa ngopeni cucu-cucunya sampai mereka bisa menjadi orang. Aku mengangguk dan berterima kasih. Aku tak bisa membeli banyak, hanya empat butir. Aku sempat membawainya beberapa hal yang mungkin dibutuhkannya, "Loh kula kok malah kantuk kathah." "Kebetulan saya ada," jawabku. "Jenengan ingkang jaga greja ngriki?" Aku mengiyakan dan dia menambahkan, "Donga dinonga nggih, Mas." Aku mengangguk. Dia hampir kuambilkan air ketika dia memilih untuk melanjutkan perjalannya. Ketika dia pergi, aku menatap punggungnya yang sedikit membungkuk. Aku larut dalam pikiranku sendiri, andaikata aku berangkat ke Jogja tadi malam, aku tak akan bertemu dengan nenek ini, atau menerima Mbok Wo pagi ini. Kemarahaku sepagian seperti terserap oleh matahari yang mulai beranjak menghangat.
"Mbok Wo, aku sudah mau berangkat sebentar lagi. Ayo tak antar pulang sekalian menitipkan Bebo ke Bu Siti."
No comments:
Post a Comment