Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta 20

| No comment
1

Setelah sempat tidur di kamar Ayub dan menemukan sebuah harta karun, Tesis Pak Agung Siswanto tentang sejarah GKJW (benar-benar harta karun istimewa di tempat tidak terduga, aku memasukkannya ke dalam tasku untuk merampungkan pembacaan atasnya), aku sudah kehabisan ide untuk beracara macam apa lagi di Jogja. Tiba-tiba kemarahanku kepada teman-teman yang kuharapkan bisa kutemui dalam perjalanan lima hari ini, yang akhirnya ternyata prekethek saja, mengatakan seenaknya bahwa mereka tidak bisa lah, alasan ini lah itu lah. Tidak ada satu pun alasan mereka yang benar-benar bisa kuterima, bukankah kalau memang seorang sahabat mereka akan menyempatkan dan mencari cara untuk bertemu. Ternyata aku berharap terlalu besar pada nama-nama yang keliru. Dan aku mencatat nama-nama itu di benakku dalam sebuah catatan merah amarah dan dendam kesumat: Dessy, Lian! Lihat saja nanti manusia tidak berguna! Bukankah aku sudah mengatakan kepada mereka rencanaku untuk datang dan berlibur ke Jogja, aku memang menuliskan daftar tempat-tempat yang ingin kukunjungi, dan hampir semuanya tidak masuk akal. Tapi bagaimana mungkin setelah sekian lama mereka tidak mengenalku bahwa aku datang kemari untuk mereka. Mereka adalah yang terburuk dari segala yang buruk, bahkan pantat panci saja masih lebih nikmat dipandang daripada wajah mereka, dan suara derit kapur lebih merdu daripada suara mereka yang sok manis. 

Ah sudahlah mengingat mereka hanya semakin merusak hariku. Sudah Ramayana tidak terwujud, Gunung Kidul gagal kolosal, dan ah... sudahlah tidak usah mengingat lagi nama-nama sial itu! 

"Yub, aku keluar!"

"Ke mana, Mas?" 

Aku mengangkat bahu.

"Pakai motorku, Mas!"

Aku menggeleng, "Aku kepingin jalan kaki."

"Kalau ada apa-apa kasih tahu, Mas!"

Aku mengiyakan saja tanpa pikir apa pun. Aku hanya akan melaju dan menikmati jalan kaki di kota hedon ini. Mengikuti ke mana angin menerpa wajahku. Mungkin aku akan membeli sandal di Indomaret, aku tidak nyaman memakai sandal yang dipinjamkan Ayub. Bukan karena sandal itu agak kekecilan di kakiku, karena ada kretekan yang bisa dibuka untuk mengecil-besarkan ukuran sandal, walaupun memang mau tidak mau solnya jelas lebih kecil. Tapi karena sandal yang dipinjamkan Ayub adalah Sandal Eiger baru, benar-benar baru dan gress. Bahkan dia membukanya dari bungkusnya dan melepaskan kaitan harganya. Wadah bungkusnya diberikan kepadaku, "Ini bisa buat nyimpan peralatan mandi, Mas!" Dia tahu aku hanya membungkusnya dengan plastik kresek.

Gila! Seorang Ayub saja bisa sedemikian perhatian kepada kawan yang bahkan tidak direncanakan akan dijamunya, tapi mereka yang sudah sejak awal sudah tahu dan sok beromantis-romantis ternyata hanya ember bocor. Sudah! Aku sudah bilang bahwa aku tidak akan mengingat mereka. Dessy Kristina Utami, Yulian Ariance Lebe! Nama itu kucatat najis di daftar namaku. 

Aku mengarahkan saja kakiku ke utara. Mungkin aku bisa duduk-duduk di stasiun, memandang kereta-kereta yang lewat. Mengingat kenangan-kenangan yang terlewat. Mengingat kesempatan yang tak sempat digenggam. Tentang kota yang sudah asing bahkan hanya setelah lima tahun kutinggalkan. Dan sekarang aku lah orang asing, tanpa tempat perteduhan, aku tidak berniat menghabiskan uangku untuk menginap di salah satu penginapan. Aku akan menghabiskannya untuk ... entahlah. Bahkan semua rencana dan akal sehatku ikut lewat. Aku kembali mengingat kedua nama orang itu. Sial!

Aku melangkahkan kakiku menuju Indomaret. Aku membeli sebuah sandal jepit merah hitam, sebotol air minum, beberapa bungkus rokok. Aku memutuskan untuk tidak membeli kondom, lagipula aku tidak tertarik untuk bermain dengan siapapun dalam mood yang sedemikian kacau. Aku hanya ingin berjalan saja. Mungkin berjalan kaki bisa menyembuhkan. Nyatanya selama ini aku dinyamankan oleh teknologi, dan kota ini termakan hasil dari salah paham teknologi. Tidak aku ingin merasakan kembali Jogja. Maka ini saatnya untuk  tersenyum dan kembali kepada sejatinya Jogja. Baiklah untuk itu aku harus memaafkan kedua gadis sial itu. Tapi ah aku tak rugi apa pun. Tiga hari yang sudah kulaui istimewa, aku tidak ingin merusaknya hanya dengan kemarahan. Aku mendorong pintu Indomaret dan menatap langit. Sebentar lagi pasti hujan. Mendung bergulungan, angin bertiupan. Dan entahlah, atas alasan apa, aku akan menghilangkan coretan pada dua nama teman itu. Aku yakin tidak tuntas betul, tapi sudahlah. Tidak apa lah. 

Demikianlah, aku melangkah keluar, merasakan sapuan angin dan desisannya. Ada yang selalu luar biasa dengan alam. Alam seperti punya caranya sendiri untuk merasai, membaui, menyapu kemarahan. Menyisipkan semuanya dalam awan. Lalu melayangkannya dalam gerimis hujan. Dan ketika tanah dan air rintikannya bertumbukan, ada denting yang tak terbahasakan. Pohon-pohon bergoyangan bersedekap dengan angin yang sempat lewat berhiliran. Tidak ada kekecewaan meski angin hanya menyapanya dalam kejapan. Seperti ada akar rotan yang seketika bercerabutan dari kakiku. Ada yang henyak dan ringan. Tenteram, aman. Tidak ada jalan berlikuan, hanya lurus saja sepanjang tatapan. Dan demikianlah sebuah perjalanan sederhana pada sebuah kalimat sederhana, "Aku memaafkan!"

Begitu saja? Iya! Tidak ada perang dunia yang harus dilemparkan. Teduh yang seketika menumbuh. Keangkuhanku runtuh, termakan oleh rintik yang menyentuh bibirku. Rasa balsam. Bau tanah. Sebentar, bukankah aku menapaki paving block sepanjang mata memandang. Dari mana aroma yang menguar serupa tanah itu. Demikianlah alam. Ada caranya yang tidak dimengerti untuk mendekap senyap. Sekalipun langit berbalut awan yang semakin menggelap, ada pijar lirih yang ditaruhnya di dalam relung terdalamku. Ada yang tidak bisa terbohongi oleh kerak. Kerak hanya menutupi dan melapisi. Seperti sejujur-jujurnya di balik segala kemarahanku, aku menemukan bahwa cintaku sejatinya lebih besar. Sial! Syukurlah! Ketika hujan menderas, dan aku membiarkan diriku terguyur oleh remasnya, ada yang seketika lepas. Ini Jogja dan aku mengenalinya.

2

Bagi para pejalan, hujan adalah teman. Hanya sejenak hujan menderas, selebihnya dia kembali benderang. Seperti melarutkan luka, dan ketika luka itu luluh, dia mengering bersama darah yang melonggar,mengalir dalam arus yang lancar. Napas yang tenang. Angin yang sepoi basah. Ya. Hanya para pejalan yang diberi karunia untuk menginderanya dengan utuh. Para pelari akan berlarian menghindar. Mereka yang bersembunyi di balik mobil atau melaju kencang bersama motornya sebenarnya sedang melewatkan sebuah kesempatan. Kesempatan yang hanya dirasakan, dialami, dihayati oleh para pejalan.

3

Kali ini aku berjalan lebih cepat, namun masih dengan napas dan tenaga yang mengalir perlahan. Melewati sepanjang jalan, menyapa para tukang becak yang duduk nangkring pada becaknya, lalu beberapa para penjual makanan, pasar Lempuyangan. Hamparan marka jalan. Perlintasan, pertigaan, perempatan.

Lalu rel kereta. Aku menyaksikan gerbong-gerbong itu berjajaran. Berhenti saja. Mungkin menunggu masinis yang dengan manis menggeser tuas transmisi dari netral ke arah depan atau belakang. Lalu tuas gas bertuliskan nol, netral, angka satu sampai delapan. Ketika angin sudah mengisi silinder rem, tekanan angin akan mendorong pedal-pedal dalam. Lalu tinggal sang masinis menggeser tuas transmisi ke depan, dan kereta akan melaju. Seorang perempuan atau pria akan meneriaki para penumpang menjauh dari rel, sambil menyebutkan nama dan tujuan kereta. Dan lagu-lagu perpisahan akan dinyanyikan bersama dengan dengan alunan nada sol mi do sol, do sol mi do yang khas. 

Kereta kita segera tiba, di Jatinegara kita kan berpisah
Berilah nama, alamat serta
Esok lusa boleh kita jumpa pula

Ah romantisnya! Perpisahan yang sedang mengantarai perjumpaan pertama dan kedua, atau kedua dengan ketiga, awal dan selamanya. Atau awal dengan tiada. Tapi tidak masalah, karena kereta, stasiun adalah sebuah shelter sederhana bagi kenangan-kenangan yang bertumpahan. Tangan-tangan yang akan berjabatan. Lengan-lengan yang berangkulan. Dan tak ayal, aku mengingatnya. Sebuah malam yang biru, langit dan bumi berpadu dalam gelap, dan bibir yang bertemu. 

Masih terlalu sore untuk kenangan.

Aku melanjutkan petualangan kakiku. Jalan Tukangan yang meliuk seperti penari Jawa, perempatan Krasak, lalu Kridosono. Aku menatap mural yang tergambar di sepanjang dindingnya yang menjulang. Aku harus menyempatkan menyentuh dinding dingin itu. Di balik dinding itu, pada hari-hari yang ditetapkan, napas-napas panas akan beradu. Tubuh yang saling bertemu. Keringat dan asam. Tapi orang akan riuh. Aku menyentuhnya. Merasakan kegagahan dinding yang membatasi sorakan dengan deru jalan dan klakson yang tak habis-habisnya. Aku tidak mau berlama-lama. Aku berjalan ke Barat, melewati kolam renang. Aku selalu suka deretan pertokoan dan perkantoran di sepanjang Yos Sudarso, celakanya justru karena deretan itu selalu sepi. Mereka yang di dalam tentu berpikir seberang menyeberang denganku. Kecuali kafe yang di pojokan, kafe itu akan cukup ramai, tidak sangat ramai, tapi cukup.

Aku melaju sambil melagu, sampai kakiku bertemu kembali dengan undakan masuk kafe itu. Inilah cerita hari ini, cerita semesta yang bertualang atas dan dalam diriku. Baiklah! Akan kubungkus kisahku dalam hangat kentalnya kopi Kafe Semesta. Tidak ada kecewa, hanya sempurna. Sebagaimana semesta. 
Tags : ,

No comments:

Post a Comment