Dua hari menjelang keberangkatan, aku menghubungi teman-teman di Jogja. Dan mereka yang mengatakan bahwa selama ini menunggu, bahwa rindu mereka sudah menggunung dan masih rela menambahkan lagi walau dengan perasaan tak tentu, ternyata omong kosong semua. Ada yang beralasan bahwa handphonenya dimatikan, dan sesudah itu ketika dihubungi di facebook mengatakan bahwa pulang bekerja baru jam lima sore, dan bisa ketemu baru sesudahnya. Ada yang susah sekali dihubungi dengan alasan mandi, makan, atau apa lah. Ada yang bahkan meminta dibawakan ii dan itu, aku akan menyisihkan untuk itu tapi ternyata ketika dihubungi mengatakan "Maaf, aku gak bisa." Yang paling mengesalkan adalah mereka yang bahkan tidak menjawab. Lalu apa artinya mereka mengatakan semua kerinduan dan sebagainya itu, jika ternyata ketika waktunya tiba mereka dengan enteng melewatkannya saja? Aku kecewa, bukan aku marah!
Belum lagi rencana acara di Tunglur yang semula awalnya Sabtu sore diubah menjadi Senin sore dan itu menjadikan rencanaku untuk sebentar ke Surabaya setelah acara Gubeng akhirnya gagal total. Dua acara yang direncanakan sedemikian segar, keduanya berpotensi malapetaka.
Dan perasaan sendiri itu sesegera mungkin menyerbu seperti lalat pikat yang sesegera menghabisi bangkai anak rusa, menjadikannya tulang kering dalam padang gurun tandus. Kesendirian memang punya cara yang tenang untuk membunuh diam-diam. Rindu adalah perjumpaan pasrah antara kesendirian dan kenangan atas yang telah hilang, aku akan berhenti merindu. Biar saja aku jadi batu. Dan kepahitan itu tidak bisa kutahan-tahan, aku melepaskannya saja, walau aku tahu kepahitan itu akan menyeretu dalam sebuah kesendirian lain tanpa mereka yang selama ini menemaniku dalam krisisku, terlebih setelah bangsat jahat itu dengan seksama mampu membuat kekacauan sempurna dalam perjalanan yang seharusnya penuh cinta. Dan aku segera mendaftar nama-nama itu, nama yang kupilih untuk kubalasi dendam. Semua menjelma jahat, demikian pun aku.
Ternyata aku tak sedemikian penting bagi mereka. Kami sudah bersahabat sedemikian lama, tapi mereka tak bisa membaca bahwa aku ke Jogja untuk mereka. Mengapa orang hanya senang membaca yang tampak saja. Masalah! Perjalanan ini seharusnya merayakan bahwa sahabat tak termakan waktu, sekarang semua omong kosong saja. Ketika aku menyusun rencana, mereka berlomba ceria-ceriaan menyambut kedatanganku. Ketika rencananya hampir terwujud, mereka begitu saja meninggalkan sambil seolah berkata, "Maaf, kamu siapa?" Ada tapi dianggap sunyi.
No comments:
Post a Comment