Kami berpisah dengan Erni di warung makan. Di warung makan itu aku sempat menggoda seorang makhluk indah. Tidak berhasil, Ayub tampak tidak peduli, tapi Ruben jelas-jelas melihat upaya gagalku, dia menertawakanku. Sial! Kami memulangkan peralatan berkemah, tidak banyak bercakap lagi dengan mas-mas di tempat sewanya. Aku hanya butuh tidur.
Maka sampailah aku di Bosas. Kos-kosan itu masih seperti yang kuingat terakhir kali. Ketika hendak membaringkan diri, aku bertemu dengannya, Rian. Bukankah aku sangat merindukan kawan lamaku itu. Waktu memakannya hingga hanya suaranya yang jelas-jelas masih kukenali. Sisa yang lain adalah tato-tato di sepanjang tubuhnya. Aku tidak persis ingat tato apa saja yang sekarang menempel di liat tubuhnya yang bau keringat basah sepagi itu. Tidak terlalu pagi karena sudah hampir jam sembilan atau sepuluh.
Aku tidak begitu paham dengan potongan rambutnya, tapi aku masih persis mengenali yang ada di dalam kepalanya. Dia masih orang yang penuh dengan cerita pilu. Jika beberapa tahun yang lalu tentang kuliah, yang akhirnya harus rela dilepaskannya, atau tentang keluarga dan seseorang yang harus ditinggalkannya demi cerita-cerita hidup yang dikejarnya, kali ini tentang pekerjaannya. Ah mengapa ada seseorang yang harus sedemikian biru.
Dia seniman tato sekarang, tapi rumah tatonya tak begitu banyak pengunjung. Sekalipun Jogja adalah kota para petualang dan pecinta, rasanya tato permanen masih menakutkan untuk banyak kalangan. Apalagi Jogja hari ini, tampaknya para hedonis yang memilih untuk beberapa tahun menyemarakkan kota itu mengubah warna kota menjadi sedemikian pucat. Mereka menjadikan Jogja sama seperti kota yang lain, kota kelas dua. Bahkan dalam jiwa dan ranah seni yang selama ini menjadi kebanggaan kota. Aku dulu dengan bangga mengatakan jika Bandung adalah Parisnya Jawa, Jogja adalah London, dengan segala tradisi yang tak melekang. Bahkan dulu aku berani bersumpah bahwa kota ini adalah kota yang akan tetap menghidupi nyawa mereka ketika kota-kota lain sudah mengasuransikan nyawa mereka. Orang-orang yang datang ke Jogja menjelma menjadi pribadi yang berani dan berjati diri. Dan hampir semuanya dibalut dengan warna seni, kadang jelas, kadang hanya membayang. Tapi sekalipun itu hanya bayangan atau siluet, bayangan itu pun masih menyawa dan menyala dalam mereka.
Tapi sekarang? Entahlah! Tak banyak yang tampaknya berani benar-benar terjun dan menderita demi menjaga seni sebagai ciri khas kota itu. Sebagian besar hanya mengambil seni jika itu menguntungkan. Seni akhirnya bagi beberapa kalangan tak lagi benar-benar berbicara, selain sebagai alat melanggengkan cerita yang semakin seragam. Sejak dulu Jogja bukan kota yang seragam, kota lain boleh diperas oleh penjajah. Tapi Jogja bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX memilih bernegosiasi membangun selokan Mataram pada masa Jepang, supaya romusha tidak dikirimkan ke kota-kota lain. Jogja selalu punya cerita yang melawan kekuasaan represif yang mengintimidasi. Tapi sekarang ... Entahlah sebagian kota ini sudah kehilangan keberanian itu. Demikianlah kisah mengapa risiko akhirnya menjadi bagian yang hilang. Aku yakin banyak dari antara orang-orang itu yang justru bertepuk tangan dengan jajaran hotel yang merusak identitas kota. Ah siapa lagi yang sekarang masih mau berpusing dengan identitas. Apa pula identitas itu? Bukankah identitas adalah kawasan rawan yang selalu pelik dengan jejalan-jejalan. Aku terlalu romantis dengan cerita-cerita pahlawan, selalu begitu. Dan kereta meninggalkanku cepat berlalu.
Aku bersyukur tidak semuanya. Rian salah satunya, semoga teman-teman di Garasi masih memegang teguh mimpi yang serupa, begitu juga teman-teman seniman lain yang berani menggambar di tembok-tembok utama kota "Jojga ora didol". Semoga walaupun mereka harus merah biru berbaku hantam dengan hedonisme, mereka tidak lantas menyerah. Karena sejatinya kepada merekalah aku meletakkan harapanku. Walaupun jujur aku tak selalu tega mendengar cerita mereka. Dan semakin buruk karena aku tidak bisa berbuat apa-apa. Rian bercerita kepadaku beberapa bulan ini dia tidak digaji semestinya, bahkan bulan lalu hanya ada dua pembuat tato selama sebulan. Lalu apa yang bisa diharapkan. Bosnya sampai harus mencari uang ke Jakarta untuk menutup gaji mereka, dan sampai sekarang bosnya belum pulang.
Aku menatap wajahnya. Rian menjelma begitu tua. Berbotol-botol anggur merah, vodka, dan bir jelas mengubah parasnya. Tapi bukan itu. Di matanya aku melihat Jogja, sebuah mimpi yang membuyar hilang. Semakin jauh dari genggaman. Aku memeluk bahunya. Dia tersenyum, lalu tertawa. "Hidup!" Katanya.
No comments:
Post a Comment