Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta 18

| No comment
Gunung Api Purba Nglanggeran: Di atas gunung, kita bertemu Tuhan

1
Logistik sudah lengkap! Aku berboncengan dengan Erni, Ayub bersama Ruben. Aku senang Ruben akhirnya bisa ikut. Aku ingin berbicara beberapa hal dengannya. Aku berharap semua akan baik-baik saja. Aku sempat mengisi angin di dekat Mandala Krida. Perjalanan kali ini tidak boleh mengecewakan. Dan aku yakin tidak. 

Ternyata untuk tujuan itu aku ke Jogja. Untuk menggelar selimut cinta bagi jiwa yang kelu. Dan dengan itu jiwaku yang kelu pun diselimuti dengan kebahagiaan tanpa tanding. Tidak semua tempat tujuan akhirnya bisa terengkuh, tapi sejak semula memang aku tidak pernah menyasarkan diri pada tempat-tempat itu. Jadi aku rasa perjalanan kali ini memberikan lebih dari yang bisa aku harapkan. Aku marah kepadaNya, aku berangkat dengan rasa kesal, tapi semuanya luluh. Kami seperti pasangan suami istri yang menikah sudah berpuluh-puluh tahun. Geger hanya karena perkara kecil, tapi langsung berbaikan waktu dia membuatkan susu putih di gelas kaleng. Aku suka aroma dan sensasi rasa susu putih di gelas kaleng, ada yang lembut berpadu dengan keras, ada yang berkelontang tapi juga tersesap dengan mampang, rasa-rasa di ambang. 

Ruben membawakan carrier kami yang super berat, gara-garanya Erni yang awalnya berniat memboncengku tidak cukup kuat kalau harus mengangkut beban tubuhku ditambah carrier. Akhirnya aku juga yang memboncengnya. Erni sempat bercerita banyak hal, dia begitu bangga bahwa ini perjalanannya yang kesekian. Aku senang melihat semangatnya. Dan aku juga tertawa melihat Ruben yang tidak bisa menoleh ke belakang. 

2
"Itu bukit bintang!" Erni berteriak. 

Aku bisa tahu mengapa tempat itu bernama bukit bintang. Para anak muda duduk berjajaran, entah memegang jagung bakar, entah tangan di sebelahnya. Kalau sedikit lebih malam pasti mereka akan berpelukan. Di sepanjang horizon terjampar lelangitan yang tertutup awan tipis. Kami sempat dihujani oleh beberapa titik air. Tidak padat, hanya gerimis yang manis. Aku yakin malam itu, angin akan membawa awan-awan itu berarakan ke sisi sebelah lain dan menyisakan pemandangan langit yang tidak tergantikan oleh kenikmatan apa pun juga. 

Ada tempat demikian di Jogja! Aku mengingat daerah Payung di Malang. Hanya saja di sini horizon lebih menghampar dengan bebas, seperti bunga yang sedang mekar di musim panas. Burung dan kupu-kupu bertangkar sejenak di atas jajaran kembang serupa kertas, sayap mereka menyibak dan mengepak, mengembus dan menghamburkan serbuk-serbuk sari ke udara. Dan serbuk sari itu bebintangan yang siap menyemai hati yang sedang berbunga dan berbuih. Pasangan muda yang kawin mengawin dengan indahnya. Ketika cinta tak pernah hambar, dan waktu tidak terbatasi pagar. Ada yang berdesir di pelipir, rasa-rasa getir yang menyisir malu-malu. Tapi bersama dengan kecupan yang melabuh bersama ribuan bintang yang berpendaran, semuanya larut dalam ruang yang bernama cinta. 

Namun bukan hanya itu saja. Kota Jogja dari Bukit Bintang seperti jajaran bintang yang lain. Di atas bintang begitu sepi dan tenteram, tetapi di bawah jogja adalah ribuan bintang lain yang ramai dan lantang. Dan sekat mereka hanyalah sebuah garis cakrawala. Mungkin untuk urusan inilah Tuhan menciptakan cakrawala, agar yang berbeda bisa bersisihan dengan mesra, namun tetap berpisahan. Agar mereka tak juga bertemu, kecuali saling merajut rindu. Ah bukit bintang. Andai saja tidak ke Nglanggeran, kami akan puas bertahan di sana berjam-jam. 

3
Kami sampai di tempat penitipan motor jam tujuhan lebih. Aku harus mengirimkan pesan pendek kepada sekretaris gerejaku perkara rencana kedatangan PHMA ke Tunglur dahulu, agar tidak ada yang terlewat. Beliau berkali-kali minta maaf karena mengganggu cutiku. Aku tidak merasa tetanggu. Karena di sini tidak ada mengganggu, yang ada syahdu. 

Hujan merintik kembali. Tidak masalah. Kami siap! Erni memakai jaketnya, Ruben masih bertahan dengan kaus tipisnya demikian juga dengan Ayub. Aku lebih senang memakai kausku kalau saja Erni tidak memberikan jaket merah itu kepadaku. Dia menceritakan sejarah jaket itu kepadaku, "Ini jaket kenang-kenangan dari orang ODHA yang pernah kukenal, suatu saat kalau dia berpulang, ada memorabilia darinya." Maka demi kenangan semacam itu, kupakai jaket itu. Hangat.

4
Kami menaiki gunung itu sambil beramai-ramai berkata, "Kula Nuwun!" berkali-kalian. Awalnya kami serupa menaiki tempat outbond. Masih ada beberapa lampu yang dipasang. Aku bertanya kepada Erni apakah lampu-lampu seperti ini ada di sepenjuru jejalan. Dia berkata tidak. Ah syukurlah. Ayub membagikan senternya, aku tampaknya tidak terlalu beruntung, dua kali senter diberikan kepadaku, tidak pernah terang. Aku sebenarnya tidak terlalu bermasalah, tapi Ayub tampaknya ingin memberikan yang terbaik. Dia menukari senterku beberapa kali, hasilnya sama. Sudahlah, Yub! 

Beberapa tambang membantu kami selama pendakian. Jejalan sepanjang jalur pendakian sudah sangat dimudahkan dengan batu-batu yang disusun menyerupai tangga atau setidaknya tanah yang dikeruk. Itu pun masih ditambah batang-batang kayu yang bisa digunakan sebagai pegangan. Sangat tidak menyulitkan, kecuali untuk mereka yang manja kelas dewa.

Aku beruntung memakai sandal yang cukup bersahabat dengan medan yang berlumpur, Erni sudah tampak kesulitan, Ayub memakai sandal gunung, tapi sayangnya sudah tipis, akhrinya dia seperti sedang berselancar di tanah lempung merah bekas hujan itu. Ruben tampak setenang aku.

Agak ke atas sudah tidak ada lagi lampu. Kami bertemu dengan sebuah ceruk batu besar. Aku yang memaksa membawa carrier dari parkiran sekarang agak kesulitan, carrier itu menabrak kiri dan kanan, apalagi panci yang kami letakkan di persis paling atas, berkerontang setiap menabrak ceruk itu. Di atas kami batu itu menjulang tinggi seperti dinding yang saling berpapasan, berhadapan dengan tegang. Aku seketika membayangkan 127 Hours, andaikata batu menghimpitku aku tidak akan bisa bergerak ke mana-mana. Aku bisa membayangkan apa yang dialami oleh sang tokoh yang terhimpit batu yang bergegar menggelinding dan menindih lengannya, tanpa bersama siapa pun. 

5
Pos 1
Kami sampai di pos itu, semakin ke atas perjalanan terasa semakin ringan, mungkin karena tubuh kami menyesuaikan dengan sekitar. Gerimis juga sudah pergi, kami punya langit berbintang sekarang. Di pos itu kami sengaja berlama-lama. Aku, Ayub, dan Ruben merokok sepuasnya. Erni duduk saja sambil makan beberapa snack yang kami bungkus dari perjalanan awal. Yang paling memberatkan tentu saja air. Tapi aku ingat perjalanan terakhirku ke Panderman, aku bersama tiga kawanku dan hanya membawa dua botol Aqua besar, alhasil kami seperti musafir di padang sahara. Belum lagi pada waktu harus buang air, lumayan kalau masih air kecil, kalau air besar. 

Dan cerita di antara kami mulai beredar. Mulai dari kisah Ruben yang bekerja di Sumatera untuk menyambung kuliahnya, Ayub dengan skripsinya, tentang Jogja yang begitu indah dari atas sini, hingga pengalaman seksual kami. Ayub tampak diam saja sambil sesekali tertawa, Ruben yang paling hijau dikerjai habis-habisan. Erni dan ceritanya, aku dan pengalamanku. Kami berempat begitu jujur dan terbuka, aku bahkan bisa bercerita tanpa terpaksa mulai dari sexual abuse yang kualami sampai bagaimana menyembuhkan pengalaman traumatis itu dalam detail yang aku sendiri terpana atasnya. Mengalir begitu saja. Bayangan-bayangan masa lalu yang berkelebat sebentar lalu hilang dalam tarikan napas.

Sekelompok pemuda, tampaknya tidak ada yang Jawa, turun dengan senter besar. Sebuah senter saja untuk delapan orang. Demikianlah mereka seperti kereta yang bingung depan belakang. Kami saling bersapaan, dan saling berkelakar tak habis-habis. Mereka berkata bahwa mereka berencana naik Merbabu, aku menjawab saja sekenanya, "Minggu depan kami naik Semeru!" Dan teman-temannya menyambut dengan tertawa, menertawakan temannya yang membanggakan Merbabu, "Nah lo! Loe jual, gua beli! Mampus loe!" Kami menawarkan mereka minum, mereka menjawab tidak perlu sudah dekat. Mereka bercerita bahwa mereka tidak berniat untuk naik tadi, tapi akhirnya tertantang juga untuk naik dan alhasil tidak bersiap-siap, dan sekarang tampak seperti orang-orang amatir malahan. Semua tertawa. Mereka begitu jujur.

Di atas gunung kami saling menyapa, tidak seperti ketika kami di kota. Di atas gunung begitu sunyi dan semua beban terangkat, waktu tidak mengejar-ngejar kami, bahkan waktu serupa berhenti, tidak begitu penting lagi. Tapi orang selalu tertarik dengan kota yang gemerlap. Mereka lebih senang dikejar oleh waktu, hingga mereka tak merasakan apa pun lagi. Semua rasa bercampur menjadi satu: manis, asin, legit, sumur, kasur, Justin Bieber, Orkes Melayu. Seolah semua ada di kota. Mereka tak sadar penuh bahwa kota selalu kehilangan waktunya. Mereka yang melibatkan diri dengan kota seketika berlarian, berkejaran, beberapa terjatuh dan mati. Tapi kota selalu menarik hari, sampai pada suatu saat kita naik gunung dan mencatat bahwa gunung adalah cerita lain yang tak kalah memesona. Entah mana maya entah nyata, semuanya menjelma tak begitu penting, yang terpenting adalah beberapa batang Sampoerna Aga dan Djarum yang membubung bersama cerita dan tawa najis kami. 

6
Kami melanjutkan perjalanan, kami mungkin sudah menghabiskan hampir dua jam sendiri di pos pertama. Erni memutuskan untuk melewati jalur pendek, agar kami segera sampai puncak. Aku sempat protes. Tapi sudahlah, kami bukan sedang ingin berdebat mengenai jalur pendakian, jadi aku ikut saja. Aku toh tidak sepenuhnya berkeberatan dengan jalur pendek. Karena jalur pendek pasti punya ceritanya sendiri.
Dan benar, jalur pendek berarti tanpa anak panah petunjuk. Jalanannya memang sudah setapak, tapi hujan membuatnya semakin berlumpur dan lengket di sepatu dan sandal. Rasanya perjalanan kami semakin perlahan gegara alas kaki kami yang tiba-tiba tebal dan berat. Kami menggores-goreskan sepatu dan sandal kami di sebuah batu tua, tampaknya magma yang mengering. Batu besar itu sepertu punuk raksasa yang memaksa kami bersegera atau dia akan terbang dan kami hilang di antah berantah.

Erni sudah mulai tampak kelelahan. Aku memimpin di depan. Aku tidak tahu seberapa jauh lagi sampai di puncak. Dan demi waktu yang menghilang itu, entah kenapa rasanya justru harus bersegera atau kami hanya akan kelelahan dan tidak sampai di puncaknya. Nglanggeran bukan sebuah gunung yang sangat menantang, tapi bagi kami yang amatiran, bagaimana pun itu tetap pendakian. Nglanggeran hanya bukit kecil yang konon berpuncak dua. Terdapat dua puncak dengan cerita yang berbeda. Dan demi cerita yang berbeda itu, aku akan sangat menyesal jika tidak sampai di puncaknya. 

Erni mengatakan besok saja ke puncak satunya, lebih enak ketika pagi. Tapi kali itu aku yang berkeras. Tidak!

7
Kami bertemu dengan anak panah lagi. Sebuah persimpangan tapi juga sebuah perjumpaan. Dua jalur pendakian bertemu di sini, atau berpisah di sini. Sebuah pilihan. Entah kami sudah memilih yang mudah atau yang susah, tidak masalah. Aku berhenti sejenak memandang anak panah itu dan menyenterinya. Ada empat jalan bercabang, padahal seharusnya hanya tiga: satu ke atas, satu ke bawah pada jalur pendakian normal, dan satu lagi yang kami lalui tadi. Ternyata satu jalan yang lain buntu menuju entah sebuah sumber atau sumur. Kami tidak memilih jalur yang itu, aku sudah melihat Erni kelelahan, Ayub dan Ruben sepanjang perjalanan masih sesekali bercanda perihal selangkangan. Demikianlah laki-laki.

Dan sampai di sini aku seperti menemukan batas itu. Batas dalam sebuah persimpangan, batas antara laki-laki dan perempuan, batas-batas lain yang seketika berhambur di benak. Aku tetiba sadar bahwa kami tak akan selamanya di sini, demi besok kami akan berjumpa kembali dengan kehidupan sesehari. Aku ingat pada berbagai kenangan yang seketika berhambur seperti laron pagi tuntas hujan semalaman. Aku antara ingin menangis dan tertawa sekerasnya. Keduanya mendorongku dengan terlalu kuat, ada yang rasanya terpental-pental dan terjungkal di dalam sana. Aku tidak kuasa.

Batas. Selalu sebuah cerita tentang diri. Batas membuat sadar akan mimpi dan kenyataan yang kerap tidak bernasib sejajar apalagi bertemu dalam sebuah perkawinan bahagia. Namun batas menjadikan seseorang kreatif, dan di sanalah tempat kelahiran seni. Entah itu seni berperang, bercinta, beladiri, tari, atau apa pun yang bisa kita sebut seni. Dan di sanalah ada cantik bahkan dalam sesuatu yang dikatakan oleh yang lain sebagai rusak, ada pintar ketika yang lain berteriak pandir. 

Dan entah kenapa lagu yang sempat kuciptakan beberapa saat lalu dan aku tidak menemukan cara bagaimana lagu itu akan berakhir mengalir. Dan entah apa yang menuntunku lagu itu tuntas.

"Aku adalah pantai yang meremuk remah pasirnya
Merindu pada hujan dalam dinginnya malam
Engkau lelangitan yang menyapu lautan
Merengkuh semua perih dan menghamburkannya menjadi bintang

Dan pada sebuah malam yang biru kita bertemu
Kau sentuhkan hangat bibirmu di pelupukku
Dan kau ceritakan padaku di ujung semua jalan itu
Ada perhentian dan jalan pulang"

Inilah batas itu, sebuah kecupan di malam yang biru, antara lelangitan dan pantai. Dan aku mencium dia yang di sebelahku. Hanya Erni, Ayub, dan Ruben yang tahu.

8
Kami melanjutkan perjalanan sampai di salah satu puncak. Ada beberapa tempat berkemah di sekitar situ. Jangan dibayangkan sebuah perkemahan seperti di bumi pramuka. Rata-rata hanya sepetak sempit tanah yang dikelilingi bebatuan besar dan terlindung oleh pepohonan. Banyak pohon jambu mete di sini. Erni menceritakan bahwa ini puncak yang cukup sulit dinaiki, dia memutuskan supaya kami berkemah saja malam itu disekitar situ, atau di puncak satunya, tidak usah naik ke puncak itu. Atau jika harus naik besok saja.

Puncak itu serupa gundukan magma yang mengering seperti di bawah tadi. Tapi dalam bentuk dan ukuran yang jauh lebih raksasa. Kami tidak bisa melihatnya dari bawah, cukup tinggi. Ada beberapa anak tangga dari kayu yang disediakan untuk naik ke puncak itu, terjal, ketinggiannya hampir sembilan puluh derajat. Erni memutuskan untuk tidak naik. Ayub dan Ruben menjadi gamang melihat Erni yang tampaknya sudah kelelahan. 

Aku tak perlu bilang-bilang ke mereka. Aku menaiki anak tangga itu dengan carrier berat di punggungku. Ketiga temanku lain tampak khawatir, karena tangga itu basah oleh hujan. Aku merasakan tangga itu begitu licin. Aku hanya tidak mau sudah hampir sampai di puncak dan kami berhenti. Apa-apaan itu. Segalanya harus tuntas, entah nantinya memuaskan entah tidak. Sesulit apa pun mencapai puncak, aku rasa worth it. Andaikata aku terpeleset dan jatuh, aku tidak akan keberatan. Karena hanya tinggal secuil lagi. Dan aku tidak akan berhenti di sini. Aku merasa mencapai puncak adalah tujuan awal kami kemari. Jadi jika kami berhenti di sini, itu mengkhianati tujuan awal kami. Bahkan jika nanti kami merasa bahwa puncak adalah tempat yang keliru dan kami lebih baik memilih turun kembali, setidaknya kami tahu rasanya ada di puncak. Dan dengan sadar penuh kami memilih kembali, sehingga kami tidak akan menjadi roh gentayangan yang tidak selesai berkeliaran karena ada yang belum terselesaikan. 

Tidak mudah memanggul carrier seberat itu, sandal yang sudah setebal itu, lengket tanah basah yang bisa memelesetkan, dan kayu yang belum tentu cukup kuat menanggung bebanku bersama carrier itu, apalagi ini baru saja selesai hujan. Tapi aku merangkak sampai di atas. 

Akhirnya tanganku menjangkau padas atau batuan keras, entahlah. Masih ada basah sisa hujan, dan ceruk-ceruk kecil di pori-pori batu itu menampung air tipis-tipis. Rasanya ada garis-garis lumut di pegangan tanganku. Tapi aku menemukan pegangan di batu keras miring bentukan magma beku itu. Aku menaikkan semua bagian tubuhku melampaui kayu dan meletakkan bebanku pada batu yang menggunduk itu. Aku berhasil meninggalkan tangga dan menemukan jalur untuk naik ke atas batu. Ke puncak pertama. Aku melempar sandalku ke bawah. Entah di mana jatuhnya, gampang nanti bisa dicari. Aku terus merangkak naik hingga menemukan akhirnya batu itu mendatar. Aku memandang sekitar. 

"Ayub, Ruben, Erni! Kalian harus naik ke sini!"

9
Dengan sedikit paksaan akhirnya Erni mau juga naik ke puncak itu. Aku sudah menunggu di atas, Ruben dan Ayub juga sudah di atas membawa berbagai bekal kami. Puncak itu adalah cangkang kura-kura raksasa yang terbentuk dari magma yang telah membeku. Waktu selalu memiliki caranya sendiri membekukan berbagai peristiwa, menjadikan sesuatu yang pada suatu ketika adalah panas dan menyakitkan, bahkan kadang membunuh, beralih rupa menjadi nyaman, dingin, dan begitu teduh.

Bebetuan kecil saling berlengketan satu dalam seduhan semen raksasa, melebur tak terpisahkan. Beberapa juga batuan besar dan cukup besar. Pendaki sebelum kami mencatatkan nama mereka dengan tip-ex seperti cakar ayam pada bebatuan yang cukup besar. Pesan yang sama seperti yang kudapatkan di mana saja, bahwa ini mencintai ini, itu mencintai yang lain lagi. Lagi-lagi pesan cinta, atau sekadar identitas. 

Ketika memandang ke sebelah barat - atau yang menurutku barat - aku bertemu lagi dengan gemerlap Jogja. Serupa bintang kuning, putih, merah yang ditaburkan pada hamparan bumi. Gambar-gambar itu bermunculan kembali seperti mimpi, entah indah entah buruk. Aku yang berangkat ke kampus pada suatu pagi dengan celana hijau milik Osa yang kulinting hingga sebatas lutut, para dosen lain akan cuek saja sambil menyimpan perasaan mereka, "Sinting!" "Tidak sopan!" atau hanya "Ah! Gide!", tapi Pak Robert tidak akan sekadar membatin, dia akan menerjangku dan mengatakan, "Kebanjiran di mana? Gak hujan kan?" dan semua akan tergelak bersepakat. Aku duduk di Kafe Coklat bersamamu pada sebuah malam, kita bermotor, aku bercardigan, dan kau akan cukup dengan kaus dan jeansmu yang membentuk kaki jenjangmu. Rambutmu, dan angin yang sesekali menyibaknya. House music di belakang kita, atau jazz pada saat yang lain. Kita akan bertatapan sambil tidak berhenti-hentinya bertutur tentang hari ini, tentang kelas teaterku, tentang kelompok dancemu. Dan sendok coklat yang meleleh atas coklat panas yang mengepulkan lemaknya di pipi dan bibir kita. Pada suatu hari yang lain kau berani memilih untuk menyelesaikan kisah dengan tunanganmu, membuang cincin itu ke sungai, dan pada saat yang lain kau akan mengatakan kepadaku, "Ah aku menyesal!" Aku menatapmu, entah rasa bersalah atau senang yang segera melonjak di batas perutku, sampai kau melanjutkan, "Seharusnya kujual saja, lumayan uangnya!" Dan kita pun bersama. Tapi kita tak pernah benar-benar bertemu, mungkin kita masih terlalu muda, atau kita yang terlalu takut akan cerita yang akan datang, atau hanya aku. Tentang teman-teman, kami yang bergandengan tangan bertujuh berjalan menutup mata menuju gerbang beringin kembar di alun-alun selatan. Mengayuhkan kaki sambil berkeringat-keringatan pada sepeda kayuh yang dihiasi lampu warna-warni membentuk Doraemon hingga percik-percik kembang api. Di sini yang serupa itu disebut becak cinta. Entahlah! Dessy dan Dina yang duduk di atas akan berteriak mengumpat-ngumpat karena mereka yang tergoyang-goyang tanpa kestabilan. Dan Lian dengan senyumnya yang teramat manis akan berhasil merayu siapa pun. 

Tangan itu meraihku. "Hai! Mikir apa?" Aku menggeleng dan segera berkumpul kembali dalam kelompok pendakian kami. Angin terlalu besar di atas sini, dan kami hanya berempat. Perlu usaha keras untuk menyalakan korek api. Ruben saja yang berhasil, aku menyulut rokokku dari rokoknya, dilanjutnya Ayub. Erni hanya akan melihat saja tanpa berkomentar. Dan cerita tentang kasur pun kembali bertebaran di antara kami berempat. Kita merayakan apa pun di atas sini, bahkan yang kita sembunyikan di bawah sana. 

Aku tak bisa melihat deretan pegunungan di sebelah timur, di sebelah selatan awan atau kabut terbang tak menentu, hanya membekaskan deretan lampu oranye serupa obor yang dijajar teratur di kejauhan. Kami tidak bisa menduga-duga dengan pasti apakah deretan lampu itu. Tapi kami hanya berani menyimpulkan bahwa mungkin, dan hanya mungkin, itu adalah pasar malam. Gegaranya ada lingkaran super besar serupa komidi putar yang dijejali dengan lampu yang tak juga bergemerlapan. Tapi tempat itu tampak sunyi. Bukankah ini masih belum jam sebelas malam?

Aku berdiri merasakan terpaan angin yang terlalu dingin. Tapi aku justru memilih untuk melepaskan jaket merahku. Aku memandang lagi dan kali ini benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Aku tak bisa menggambarkan bagaimana rasanya hanya berempat di sebuah puncak gunung purba. Menatap sunyi kepada sekitar. Dan tanpa kuduga, lagu itu mengalir saja dari bibirku.

"Maka jiwaku pun memuji-Mu!"

Erni, Ruben, dan Ayub mendengarku. Mereka berdiri dan bergabung bersamaku. Ruben menemaniku di suara satu, Erni mengambil suara tiga, dan Ayub menambahkan bass. Dan kami tetiba menjadi sekelompok paduan suara di atas kesunyian. Memecah kabut yang berselimut.

"Maka jiwaku pun memuji-Mu
Sungguh besar, Kau, Allahku!
Maka jiwaku pun memuji-Mu
Sungguh besar, Kau, Allahku!"

Dan deretan kabut itu perlahan beringsut. Dan kami mendapatkan cerita lebih banyak tentang sekitar kami. Tentang bukit batu yang hanya bisa dipanjat oleh para pemberani di sebelah timur kami. Tentang cakrawala yang nanar di Tenggara, pohon-pohon yang tampak jelas mendereti horizon, tentang orang-orang yang bermotor malam-malam jauh di selatan, sebuah gapura membelah jalan menjadi dua, tak begitu jelas apa yang tertulis di sana. Tentang Jogja di sebelah barat, dan puncak lain lagi di utara. "Kita akan ke sana setelah dari sini," kata Erni. 

Tapi lebih daripada itu, perasaan yang lebih berkuasa adalah perasaan hangat yang begitu saja menyusup. Langit yang seolah bisa diraih dengan jemari. Tentang kami yang begitu dekat dengan sorga. Suatu kali Immanuel Kant pernah berkata ketika dia mati dia ingin di pusaranya ditulisi, "Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku."

Dan tanpa sadar aku berucap saja, "Di gunung kita bertemu Tuhan."

10

Ada pengalaman yang akan begitu mudah terhapuskan, selebihnya bahkan tak terjamah oleh lupa. Demikianlah puncak gunung dan pertemuan adidaya dengan Sang Kuasa melalui lagu "Maka Jiwaku pun Memuji-Mu" itu terekam begitu lekat, hingga sekeras-kerasnya aku berusaha menghapus, semuanya sekadar sia-sia.

Kami beralih ke puncak lain. Di puncak kedua, kami bertarung melawan gelap, senter menjadi juru selamat kami, sekalipun juru selamat yang tak benar-benar tuntas. Selain kenyataan bahwa kami harus melakukan pertarungan lain melawan dua buah tenda yang semakin membuat gemas, saking tak lekasnya kami mengerti posisi berdirinya, kami masih juga bertarung dengan angin yang menyembunyikan arahnya sedemikian rapi. Kami kesulitan bahkan untuk menyalakan korek api. Ruben, Ayub, dan Erni bahkan harus membantuku menutup keempat sudut yang mungkin diterobos sang bayu ketika aku hendak menyalakan sebatang rokokku.

Namun jangan berpikir bahwa itu mengganggu, semuanya malah menumpuk rindu bahkan biru. Tidak ada pilu, hanya bahagia yang bergegas tumbuh lalu membekas tanpa embel-embel sendu, serba perkasa. Dan kami seratus persen berhasil dengan tenda itu pada akhirnya, termasuk dengan pasak-pasak besi yang beberapa enggan ditancapkan. Tapi niat kami lebih keras dari tanah padas di bawah kami. Tanah itu harus menyerah kepada seruan puas empat pemuda yang berhasil menembusnya. Dan ketika itulah hujan tumbuh perlahan, bukan di atas, tapi malah di bawah kami. 

Puncak gunung adalah anomali. Di sini semua berpendar bersama kenangan, tapi bukan malah menghilang semuanya menjelma tak lekang. Di sini terlalu dingin, tapi kami malah merasakan hangat yang menyelusup malu-malu di dada keempat kami, mungkin melalui alas sepatu, atau ubun-ubun, siapa yang peduli. Yang jelas kami malah bersorak. 

Demi menyalakan kompor aku harus menelpon Krista saking bodohnya kami berempat. Krista ahlinya dalam kompor tabung kecil. Kami berempat amatir yang bahkan tak tahu apakah harus melemparkan api dengan korek di atasnya atau memperlakukannya seperti kompor elpiji yang tinggal dicethek dan semua beres. Kami kalang kabut ketika terdengar bunyi serupa ban kempes. "Gasnya bocor!" Teriak salah satu dari temanku, aku tak ingat persis siapa. Dan ketika aku menelpon Krista dia tertawa saja tanpa nada sama sekali berdosa, "Ya memang begitu, tinggal dinyalakan saja pakai korek!" Sialan ternyata sebegitu mudahnya.

Pada saat seperti ini tidak ada yang lain yang lebih menyenangkan daripada seorang Sasono akhirnya mengatakan, "Kamu sudah termasuk kelompok pendaki!" sebagai komentarnya atas kalimatku, "Karena di gunung kita bertemu Tuhan." Dia adalah kelompok dedewa dalam urusan gegunungan, maka walaupun kalimat itu tidak sepenuhnya meyakinkan - karena kami hanya naik Nglanggeran yang lebih pantas disebut bukit daripada gunung - tetapi cukup membanggakan.

Tapi bersama dengan kebanggaan itu, alam seolah tak rela kami menjelma angkuh. Melalui hujan dia berbicara. Hujan tidak sepenuhnya mau hanya bertengger di bawah kaki kami. Dia ingin tampak berkuasa, dan pada gilirannya dengan jumawa dia mengguyurkan dirinya kepada kami. Untung saja ada pendopo di sebelah kami. Dan untung lagi malam ini kami hanya berempat. Jadi puncak itu milik kami seutuhnya. Hujan tetap tidak mau bersahabat ketika kami sudah menawarinya mie instan dan secangkir kopi. Dia masih ingin berteriak bahwa dia hanya berniat membasahkan kami. Tapi kami menang, dia gagal, tenda kami yang kalah, dia tak selamat, basah dari luar ke dalam. Sia-sia kami bertarung berapa lama memberdirikannya untuk berlindung, akhirnya tak digunakan juga.

Pada saat yang telah ditetapkan, alam akhirnya memilih untuk menghentikan kiriman hujannya. Dan pada saat itulah alam mengirim cerita lain. Di puncak gunung itu, tidak sayup, tapi jelas dan keras kami mendengar pertunjukan wayang. Hal yang tabu didengar dan dimainkan di Nglanggeran. Kami bergidik, ada yang meremang di sepanjang leher belakang.

11

Kami meniti perjalanan turun dalam keributan. Pagi itu Nglanggeran sudah seperti Bromo. Kami bersama dengan banyak orang, mereka para pecinta gunung, sebagian yang lain adalah mereka yang perlu menyematkan namanya di sebelah Nglanggeran, sebuah tanda yang perlu mereka gunakan untuk menunjukkan bahwa mereka bisa berbangga. Apa artinya berbangga atas Nglanggeran selain cerita, dan kedekatannya mata mitologi Keraton Jogja atasnya. Mereka yang mengejar fisik dan ketenaran atasnya hanya akan mendapat malu. Serombongan kru film, tampaknya kru film amatir mendadak memenuhi puncak. Aku mengenalnya dari bagaimana mereka ribut "Talent mana Talent!" dan mereka yang membuang sampah sembarangan, sampai Erni harus mendelik kepada salah satu di antara mereka yang tertangkap basah membuang bungkus snack di sesela rerimbunan di puncak. Mereka yang tampak pongah, tunduk kepada Erni, seorang perempuan yang bahkan belum mereka kenal. Bagus!

Kami bertemu sebuah tim lain, kali ini dari TransTV, mungkin dari acara pendakian atau jejak petualang, atau sejenisnya. Yang jelas peralatan mereka memadai. Tim dan kamera mereka tampak tidak main-main. Keselamatan adalah hal utama. Mereka menyambungkan tebing-tebing batu itu itu dengan tali yang aku bahkan tidak tahu apakah itu static rope, dinamic rope, sling, atau apa lah. Ada carbiner yang rasanya dipasang dengan simpul-simpul yang tampak profesional, sepatu mereka, helm dan segalanya tampak memesona bagi mata para pemula semacamku. Aku ingin berlama-lama, tapi tampaknya kawan-kawanku sudah tidak bisa bersabar untuk segera mencuci diri di bawah. Aku akhirnya menguntit mereka di belakang sambil menyayangkan mengapa tidak bisa berlama-lama menyaksikan para pendaki tebing itu. 

Sampai di bawah kami mencuci diri. Erni yang harus bersegera, karena dia harus masuk kerja. Setelah mandi sebersih-bersihnya, akhirnya Erni yang kuminta membawa motor dalam perjalanan pulang ke Jogja. Berada di boncengan jelas bukan posisi yang sangat menyamankan untukku. Bukan karena dibonceng perempuan, tapi karena posisi itu membuatku menjadi tidak leluasa mengendali. Tapi aku tak bisa protes, karena mataku sudah susah diajak berkompromi, rasa kantukku menyerang lebih kuat dari hasratku mendominasi. Ah turun gunung tidak membuatku kapok di muka, dasar tukang perintah. 

Aku bertanya kepada Erni apakah dia bisa ikut menemaniku ke Sendratari Ramayana. Dan dia dengan jujur mengatakan, "Aku gak ada dana, Kang!" "Kalau aku carikan dana?" "Boleh! Tapi tidak usah lah! Itu mimpimu, aku ingin ada menemanimu, tapi aku tidak mau menjadi beban." Aku bisa meminjam kepada Eli tentu saja, karena danaku sendiri sudah terkuras untuk kebutuhan logistik selama di Jogja. Ah betapa tidak nyamannya, aku ternyata seorang patriarkhal parah, terlalu malu bergantung kepada perempuan. Membuatku merasa memanfaatkan. Akhirnya aku putuskan saja, Ramayana jodoh kita bukan sekarang. Di belakang sana, Nglanggeran melambaikan tangannya, dan matahari tersenyum cerah.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment