The Illumination
Aku kembali sampai di kota dan tujuan pertamaku adalah bertemu dengan gadis yang mengirimkan sms kepadaku bahwa ibunya akan bunuh diri. Dia berkuliah di Jogja, kebetulan rumahnya di dekat tempatku di Tunglur. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku sedang mengambil cuti di Jogja sekarang, tapi aku akan menemui dia di Jogja. Tidak mungkin aku pulang ke Kediri sekarang, jadi yang bisa kulakukan adalah bertemu dengannya dan menenangan dia, supaya dia menenangkan ibunya.
Aku memang cukup dekat dengan keluarganya, sejak beberapa tahun yang lalu. Bukan keluarga yang all is well. Bapaknya pernag menerima penggembalaan khusus dari gereja. Kebetulan pada waktu itu aku yang menemani prosesnya. Setelah itu memang semua menjadi lebih baik. Lebih baik memang tidak berarti bahwa semuanya baik-baik, tapi aku setidaknya ketika melihat keluarga lebih solid dalam menghadapi semua kesehariannya, aku merasa masih ada jalan keluar. Cerita hidup memang tidak pernah semuanya beres seratus persen. Tetapi sepanjang satu dengan yang lain mau saling bergenggaman tangan, aku rasa tetap ada saja jalan keluar walaupun toh tidak serba ideal. Tapi itu yang aku lihat di keluarga itu sejak peristiwa itu. Dan tambahan yang luar biasa istimewa adalah bahwa kami akhirnya menjadi dekat.
Aku sempat menelponnya dan mengirimkan sms kepadanya, tapi dia tidak mengangkat atau membalasnya. Sekarang giliranku yang menjadi panik. Aku antara percaya dan tidak dengan ceritanya. Aku sempat berprasangka macam-macam, jangan-jangan dia tahu aku sedang di Jogja dan memang sedang mencari gegara saja. Tapi masak dengan cara yang demikian tidak pantas, bunuh diri itu bukan urusan enteng. Kematian itu buatku memang pada saat tertentu sangat menantang, tapi bukan berarti bisa diremeh-temehkan.
Tapi untunglah pikiranku keliru, gadis itu membalas sms dan mengatakan bahwa dia sekarang masih kuliah, nanti selesai jam 3, kalau bisa nanti ketemu di kampus. Pikiranku keliru, tapi itu artinya masalah yang dia hadapi benar adanya. Ah seharusnya aku ke Jogja untuk liburan, kan?
Aku masih ada waktu beberapa saat untuk makan. Aku sempat bertemu dengan Erni dan menceritakan mungkin keberangkatan kami ke Nglanggeran harus tertunda beberapa jam, karena aku harus bertemu dengan gadis ini lebih dahulu. Erni menemaniku makan, lalu kami berangkat ke kampus. Sang gadis mengirimkan pesan kepadaku bahwa dia sudah selesai kuliah. Aku segera meluncur. Dan sial! Tasku tertinggal di rumah makan. Apa-apaan ini?
Desi, temanku yang katanya tadi akan memberikan kepastian siang ini mengenai ikut naik ke Nganggeran atau tidak sudah memastikan, bahwa dia tidak bisa ikut. Semakin sempurna kesialan ini. Ini hari Rabu, hari ketigaku untuk cuti, tapi sempurna sekali. Aku bangun dan hampir diusir dari kost Yosia, uangku sudah menipis karena harus menyewa peralatan kemping dan membeli berbagai kebutuhan naik ke Nganggeran, kemungkinan aku tidak bisa menonton Ramayana di Prambanan jika uang tinggal segini. Teman-temanku, aku tahu kondisi keuangan mereka, tidak lebih baik dariku, aku yakin tidak ada yang akan merelakan seratus apalagi dua ratus ribu untuk nonton Ramayana. Seorang gadis mengatakan bahwa ibunya mau bunuh diri. Dan sekarang teman yang aku harapkan bisa ikut naik gunung ternyata tidak bisa. Liburan macam apa ini? Benar-benar parah!
Aku menghubungi Rechta untuk mengambil carrierku yang akan kugunakan naik gunung yang tadi pagi kutitipkan di kontrakannya. Ternyata Rechta sedang kuliah. Padahal aku sedang ditunggu sang gadis di kampus. Dan Rechta baru selesai kuliah jam setengah lima. Berarti kalau harus menunggu Rechta selesai kuliah, aku akan naik gunung malamnya. Tidak masalah, tapi perjalanannya ke gunung itu yang katanya Erni dua jam, berarti kami akan sampai di Nglanggeran kira-kira jam tujuh. Haduh semakin parah saja.
___________________________________________
Aku bertemu dengan gadis itu di kampus. Rambutnya tergerai panjang dan sangat cantik. Dia terlihat bingung namun mencoba tenang. Dan dia mulai menceritakan apa yang dialaminya. Suara altonya membuat cerita itu semakin dramatis.
Maka terlantunlan kisah itu dari bibirnya. Sejak pertama kali kuliah, dia memang tidak pernah dikirimi uang dari rumah. Dia bekerja di salah satu unit di kampusnya untuk mendapatkan beberapa ratus ribu sebulan. Kadang-kadang uang itu malah dikirimnya ke rumah, karena di rumah kondisinya lebih buruk darinya. Sempat terpikir oleh keluarganya agar dia berhenti kuliah. Dia merasa itu pikiran yang tidak adil, karena selama ini dia kuliah tidak membebani keluarganya. Ibunya dulu sempat bercerita kepadaku bahwa menguliahkan gadis itu oleh beberapa orang dianggap kesombongan, orang tidak mampu saja kok menguliahkan anak. Dia sekarang tinggal di rumah salah satu dosen, itu membuatnya tidak harus membayar uang kost setiap bulannya.
Dia pernah mengirimkan uang kepada sang ibu untuk mulai membuka bisnis katering kecil-kecilan. Hanya beberapa ratus ribu dari uang hasil kerjanya. Ketika dia menghubungi ke rumah, ternyata uang itu justru digunakan ibunya untuk membayar utang. Akhirnya dikirimkanlah lagi uang, dan kali itu digunakan benar-benar, tapi ternyata bisnis itu tidak sepenuhnya lancar. Ada saja masalah. Entah orang yang tidak suka, atau memang nasib tidak cukup berpihak kepada mereka, ada saja masalah yang muncul mulai dari nasi yang baru saja dimasak tiba-tiba basi, di dalam sayuran ada belatung, aneh-aneh saja. Sedangkan bapaknya pekerjaannya tidak jelas. Selalu susah mencari pekerjaan, karena cap yang sudah dikenakan orang kepadanya, macam-macam capnya.
Belum lagi masalah antara nenek dari ibunya dengan bapaknya. Sejak dulu neneknya memang tidak suka dengan bapaknya dan tidak merestui hubungan ibu dan bapaknya. Dan sekarang mereka tinggal serumah dengan si nenek. Urusan semakin runyam. Mungkin karena semua tekanan itu, dan juga utang-utang yang semakin banyak akhirnya sang ibu memutuskan untuk selesai saja. Belum lagi gadis itu punya beberapa adik, aku tak persis ingat berapa tapi banyak, jika tidak empat ya lima. Sehingga beban keluarga semakin berat. Dia anak tertua.
Aku tidak menyangka bahwa seburuk itu. Aku tahu keluarga itu memang tidak terlalu beruntung dalam urusan keuangan. Tapi aku tidak menyangka akan seberat itu. Aku memeluknya. Peduli setan kepada orang-orang yang memandang kami. Apalagi aku benar-benar tampak seperti orang kumuh yang datang ke kampus dengan sandal dan bersiap naik gunung. Ah ini lebih penting.
Aku bertanya bagaimana ibunya sekarang apakah sudah bisa dihubungi. Dia sudah menghubungi adiknya dan belum ada tanggapan. Maka aku meminta nomor adiknya. Aku menelpon dan tidak diangkat.
"Ini pertama kali."
"Bukan, Mas!"
Entahlah jawabannya itu justru membuatku tenang. Artinya bahwa dulu ibunya pernah mengalami hal seperti itu dan berhasil melaluinya.
"Aku gak tahu harus bagaimana, Mas! Masak aku harus berhenti kuliah dan pulang. Itu kan tidak adil. Selama ini aku kuliah tidak memberatkan mereka. Dan sekarang ketika semuanya sudah seperti ini, aku juga merasa bersalah ketika aku seharusnya bisa membantu mereka, dan aku malah jauh dari mereka, nyaman berkuliah sedangkan di rumah kondisinya demikian."
"Ini bukan salah kamu!"
Aku mengirimkan sms kepada adiknya. Belum ada balasan juga. Aku mengatakan kepada gadis itu, kalau misalnya ada yang bisa mengangkat keluarganya itu adalah dia. Tapi bukan berarti bahwa dia harus mengakhiri kuliahnya. Dia sudah sampai di tengah jalan. Lebih baik diselesaikan sampai tuntas. Dari sanalah mungkin jalan keluar akan ada. Apakah aku yakin dengan apa yang kukatakan? Aku tidak tahu. Aku percaya saja, walau jujur aku tidak sepenuhnya tahu apakah yang aku katakan benar-benar akan terjadi. Tapi aku percaya saja. Setidaknya jangan menyerah dengan kesulitan, selama kita masih memiliki satu sama lain, pasti ada saja jalan pemecahannya, walaupun tidak mudah.
Sms masuk, dari adiknya. Adiknya mengatakan ibunya sudah lebih baik. Tidak apa-apa, sekarang lebih tenang. Sms itu membuat aku dan si gadis lebih tenang.
"Siapa yang tahu cerita kamu begini ini?"
"Gak ada, cuma Mas Gide."
"Pacarmu?"
"Tidak banyak. Aku hanya cerita kalau dia bertanya. Untuk apa aku cerita kalau dia tidak bertanya."
"Tapi kan kalian pacaran. Aku membayangkan kamu bisa membagi apa saja dengannya."
Dia hanya tersenyum saja. Dia menyimpan semuanya. Demikian selalu perempuan Jawa, mereka memilih untuk tidak terbaca. Entah senang, entah susah. Demikian aku menemukan para perempuan yang terpajang foto-fotonya di Ullen Sentalu, demikian aku membaca ibuku, demikian aku membaca banyak sekali perempuan di sekitarku.
Tapi aku melihat dia lebih tenang sekarang.
"Nanti kalau aku pulang, aku main ke rumahmu. Biar aku sempat ngobrol dengan keluargamu."
"Iya ya, Mas! Minta tolong."
Aku memeluknya, "Everything is gonna be alright!"
"Terima kasih, Mas!"
___________________________________________
Aku berpisah dengannya, dan bertemu lagi dengan Erni yang dari tadi menunggu dengan setia. Aku bercerita sedikit kepadanya. Erni juga mengenal gadis itu, dia tidak menanggapi panjang, hanya berkata, "Aku tahu perjuangannya luar biasa. Seharusnya dia punya pacar yang bisa diandalkan!"
"Emang kenapa pacarnya?"
"Baik sih! Tapi masih kekakakan."
"Aku saja yang jadi pacarnya."
"Ya! Usul yang sangat baik!"
Dan kami tertawa. Anak satu kontrakan Rechta, Demi, datang dan mengambilkan carrierku. Dia keluar dari kelas kuliahnya. Dia mengatakan andai saja tidak ada kuliah dia kepingin ikut, sayangnya dia sudah sering absen, jadi sudah tidak bisa absen lagi, atau dia akan kena sanksi pengurangan nilai karena absensi. Aku menyampaikan terima kasihku, dan salamku kepada Rechta dan teman-teman satu kontrakan lain. Dia mengiyakan. "Selamat naik gunung!"
Ayub sudah menunggu, dia sudah bersiap naik gunung tapi dia harus mengambil barang-barangnya dulu, "Mas aku boleh mengajak Ruben? Masih ada satu tempat kosong kan?"
"Iya betul sekali! Ruben ada ya?"
"Ada! Dia kemungkinan bisa."
"Ajak sekalian!"
Ayub pulang. Dan Erni bercerita kepadaku bahwa Ruben lebih berat dari dia atau Ayub, kalau dia atau Ayub sudah menulis skripsinya. Ruben bahkan belum stage. Masalahnya sama, karena kondisi ekonomi keluarga. Dia bukan anak yang sangat menonjol di akademik, sehingga dia tidak mendapatkan beasiswa. Dia sempat bekerja di Sumatra Utara beberapa waktu lalu, untuk mencari tambahan biaya. Gila! Sumatra Utara? Padahal ini sudah tahun keenam hampir ketujuh mereka. Sedang batas kuliah di UKDW adalah tujuh tahun. Sesudah tujuh tahun itu pilihannya bisa pemutihan, melanjutkan kuliah tapi dihitung sebagai angkatan baru, dengan biaya seperti angkatan baru yang luar biasa mahal. Pilihan yang lain adalah melanjutkan tapi di universitas lain. Dan itu yang ditempuh oleh Dioz dan Yosia, teman satu angkatanku yang bahkan sampai sekarang belum rampung. Atau pilihan lain adalah drop out, itu yang ditempuh oleh seorang temanku (yang nanti akan kuhubungi ketika aku di gunung). Erni mengatakan ada beberapa teman di angkatannya yang bernasib sama, salah satunya Friska yang kepadanya aku kemarin mengaku sedang berada di Jerman. Dan satu lagi Yeyen.
"Kang, besok kalau mau ke Prambanan aku temani."
"Kamu ada uang?"
"Nanti aku telepon tunanganku. Kalau seratus aku rasa bisa meminjam kepadanya."
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
___________________________________________
Ada apa dengan perjalananku ke Jogja kali ini. Ini jelas bukan perjalanan impian. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa perjalanan ini lebih dari pada yang aku bayangkan. Perjalananku di sini memberikan cerita yang berbeda, sama sekali tidak kubayangkan. Jika Tuhan mengatur segala sesuatu, aku rasa Dia tidak mengatur dengan keliru. Aku memang tidak bertemu dengan teman-temanku yang dulu berjanji dan menanti kedatanganku, tapi aku justru bertemu dengan Erni yang berjuang dengan skripsi dan masalah-masalahnya, Ayub yang bahkan skripsi pertamanya dinyatakan gagal dan sekarang menulis kembali, Ruben yang bahkan masih belum stage, Dioz dan Yosia, Mbak Tiyas yang sedemikian sederhana dan sedang berjuang sebagia pendeta baru di tempatnya ketika banyak anak yang berencana datang ke tahbisannya tapi membatalkan, Rani yang harus menanggung beban adiknya dan kedua anaknya, Eno yang sedang berjuang dengan hatinya, Friska, Yeyen, dan hari ini si gadis dengan masalahnya yang berat.
Tiba-tiba saja ada yang melintas dalam benakku seperti mendorongku untuk muntah. Sebuah perasaan yang tidak bisa ditahan-tahan. Sebuah ingatan akan penggalan puisi untuk Tieneke yang kemarin kujumpai di Ullen Sentalu bersama Mbak Ari, Ayub, dan Astrid,
Gelarlah selimut cinta
di atas dosa dan kekurangan orang lain
Itulah kebahagiaan
Aku merinding. Aku mengambil handphone dan menghubungi Mbak Ari, "Mbak aku rasa aku tahu mengapa aku ke Jogja!"
No comments:
Post a Comment