Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta 16

| No comment
Mbak Tiyas masih seperti dulu. Tidak berubah. Dari sekian banyak orang yang aku rasa mengenalku luar dalam, dia salah satu yang mengenalku dan membuatku nyaman. Yang hebat darinya adalah penerimaan tanpa penghakiman. Dan orang-orang demikian istimewa. Aku jelas bukan tipe itu. Karena sisi judgingku luar biasa besar, bahkan tidak jarang luar biasa menekan orang. Aku kadang terlalu angkuh untuk mengakui kerendahan diri, dan itu membuatku semakin jauh dari manusia. Meletakkan kesalahan diri kepada orang lain. Aku sendiri merasa kadang tidak cukup manusia. Mbak Tiyas jelas pribadi yang berseberangan. Namun mungkin karena kami demikian berbeda, maka kami bisa sedemikian lekat. Dia adalah pribadi yang menyamankanku. Sangat.

Aku tidak bisa memenuhi janjiku datang ke tahbisannya. Jadi ketidakdatanganku seperti utang yang harus kubayar. Dan pertemuan kami, sekalipun aku tahu aku tak bisa berlama-lama adalah pertemuan istimewa. Aku datang ke gerejanya. Lumayan besar. Aku sempat bermain keyboard di sana sebentar. Mbak Tiyas duduk saja menonton dengan gayanya yang biasa. Tidak banyak tersenyum tapi memperhatikan dengan utuh. Dia pasti sosok ibu yang hebat nanti untuk anak-anaknya. 

Dia bercerita bahwa Yosia mengajar paduan suara sekarang di sana. Kemarin diberikan cinta kasih, dikembalikannya. Aku tahu dia menyayangkan ketika tahbisannya tidak bisa banyak yang datang, aku melihat kekecewaan itu walau dia tidak mengatakannya. Dia justru orang yang akan selalu datang ke tahbisan orang lain. Walaupun tanpa memakai toga, dia akan datang dan duduk dengan setia sampai acara selesai. Aku ingat itu yang dulu dilakukannya di tempat Agus. Dia tidak banyak ikut berbincang, tapi dia ada di sana, hadir dan menyalami semua yang dikenalnya dengan senyuman.

"Aku mau memenuhi janjiku." Dia mengucapkan itu setelah aku berkeliling di seputar gerejanya. Aku memboncengnya ke tempat pemenuhan janji itu, sebuah warung kecil di pos kamling. Ahai! Senang sekali. Ini dia tempat yang kuidam-idamkan. Dan benar saja, Mie Ayam Jamur di tempat itu rasanya luar biasa. Seorang ibu bersama temannya makan juga di warung itu. Dia bercerita tentang latihan Natal di gerejanya. Aku segera tahu bahwa ibu itu Katolik. Dia sempat sebentar menembang. Aku menoleh. "Ibu suaranya bagus sekali!" Ibu itu tersipu. Mbak Tiyas tersenyum. Dan ibu itu mengatakan dengan suaranya yang rendah [berbeda sekali, ketika menembang suaranya menjadi begitu tinggi, khas para sinden], "Ah saya juga masih belajar, Mas!" Kami tidak berbicang banyak lagi dengan sang ibu, dia pergi lebih dahulu dengan menyapa kami. Aku mengangguk. 

"Mau ke Sendang Jatiningsih?" 

"Apa itu?"

"Itu Gua Maria di dekat sini. Penuh pohon jati. Pas aku ke sana dulu jalan salibnya belum jadi. Aku gak tahu sekarang."

"Mbak Tiyas kamu wajib membawaku ke sana. Aku sudah sampai di sini, rugi banget kalau aku sampai gak ke sana."

Maka kami pun berboncengan ke tempat yang dimaksudkannya. Seperti Gua Maria yang lain, tempat itu begitu teduh. Beberapa penjual cinderamata rohani berjajar di depannya. Tidak banyak. Tempatnya pun tidak seramai di Puh Sarang, dekat tempatku. Tapi aku merasakan nuansa yang sama. Mistis dan mencekam, tapi sekaligus damai. Aku masuk ke sana. Dan benar tempat itu penuh dengan pohon-pohon jati. Yang istimewa adalah di setiap pohon jati, aku menemukan sebuah label bertuliskan siapa yang menanam dan tahun berapa. Cara yang luar biasa untuk membuat orang ikut merasa handarbeni. 

Jalan salibnya belum jadi. Jadi kami berkeliling saja di sekitaran sana. Di sebelah Kali Progo mengalir berwarna coklat pucat. Pasir di kali itu ditambang, tidak ada bekas truk, pasti mereka mengangkutnya dengan wadah anyaman bambu sampai cukup jauh. Aku tidak membayangkan beratnya kehidupan orang-orang yang melakukan itu. Ah hidupku masih terlalu nyaman dibandingkan orang-orang kebanyakan. Tapi toh, keluhanku seperti tidak habis-habis. Bertemu dengan Mbak Tiyas yang sederhana, ibu-ibu di warung mie ayam, dan melihat pertambangan pasir itu membuatku bergidik. Aku ini ternyata bukan apa-apa dibandingkan mereka. Jarang-jarang aku sadar. 

Kami sempat mampir di gereja di wilayah Gua Maria itu. Tidak ada orang di dalam. Aku sempat mengambil beberapa foto dindingnya. Bukan persis dinding karena lebih seperti jendela-jendela stain glass yang ditata berjajaran. Ketika sedang ramai, jendela-jendela itu bisa dibuka, dan orang-orang di luar bisa melihat apa yang terjadi di dalam tanpa sekat. Joglo yang terbuka, namun pada saat yang lain bisa tertutup juga. Dan ketika tertutup, cahaya akan menembus kaca warna-warni itu dan membiaskan hijauh, merah, kuning, biru, putih pada lantai kayunya yang hangat. Indah sekali. 

Seorang ibu berdiri di belakang kami, separuh baya. Dia mengucapkan permisi dengan lembut dalam senyumnya yang sehangat siang itu. Kami mempersilakannya masuk. Ibu itu berwajah sederhana, tulus, dengan rambut yang digelung kecil. Ketika masuk, layaknya orang Katolik yang lain, dia akan memberikan penghormatan pada Altar. Tapi ibu ini tidak hanya menekuk kakinya dan menunduk, tapi dia bersujud di lantai kayu itu hingga dahinya menyentuh lantai. Aku cukup terkejut. Ibu itu tidak sadar bahwa kami belum beranjak. 

Sedemikiannya orang menghargai Tuhan. Dan mereka adalah umat, bukan para klerus bukan pengurus gereja. Merekalah yang justru masih sedemikian kuat hidup dan menghargai kerendahan diri di hadapan Tuhan. Aku seorang pendeta, bahkan kadang-kadang merasa begitu angkuh di hadapan Tuhan. 

Perjalanan ke Mbak Tiyas kali ini, tidak kusangkakan akan sedemikian memesona. Bukan hanya Mbak Tiyas, namun juga perjumpaanku dengan banyak hal istimewa yang lain demikian. Aku terduduk dalam rasa malu. Aku mencuci tangaku dari sumur air suci yang ada di sana. Betapa aku angkuh dan luar biasa durjana. Bahkan setelah aku tahu betapa kecilnya aku di penjuru jagad raya ini. Aku tertunduk. Mbak Tiyas menyentuh pundakku. "Ayo sudah mau setengah dua, nanti kamu ditunggu sama teman-temanmu, katanya mau naik gunung." 

"Kita ke toko depan dulu."

Keren! Aku mendapatkan kembali rosario dari gulungan benang, punyaku sudah hilang. Dan aku mendapatkannya lagi. Aku melihat sebuah cincin bermata hitam juga. Aku mengambilnya sekaligus. Ada sebuah cincin lain bertuliskan Doa Bapa Kami dalam Bahasa Latin, "Aku belikan buat kamu!" Mbak Tiyas menukas, "Biar kamu ingat sik duwe dulur nang kene. Ben kamu eling karo aku." Aku memasang kedua cincin itu di jariku. Sekarang ada tiga cincin di jari-jariku. Satu dari Bil, satu bermata hitam, satu lagi dari Mbak Tiyas. 

Aku mengantarkannya lagi ke gereja. Kami sudah bersalaman dan hampir berpisahan, ketika sms itu masuk, "Mas bisa minta tolong, ibuku mau bunuh diri."
Tags : ,

No comments:

Post a Comment