Pria muda itu menyapa kami dengan ramah. Seperti layaknya para pendaki, dia akan berkaus hitam dan bertubuh ceking. Tidak sulit menemukan tempatnya, Jogja Camping, sebuah papan nama di sebelah akan menunjukkan arah penyewaan yang beraroma segar itu. Persis di depan Pasar Condong Catur. Kami mengambil beberapa barang yang kami butuhkan, dua buah tenda kecil, empat buah sleeping bag - dan kami tidak tahu siapa yang akan memakai satunya karena rencana yang pasti hanya aku, Erni, dan Ayub - sebuah lampu LED, sebuah kompor, dan aku juga mengambil sebuah carrier. Sementara ini saja dulu.
"Gak ada potongan, Mas?" tanya Erni.
Pria muda itu hanya tertawa saja. "Pinjam teman aja mbak, pasti gratis."
Aku menyahutnya, "Kamu mau jadi temanku gak, Mas?"
Dia melanjutkan tawanya, "Nanti saja jadi temannya, ya, habis bayar sewanya."
Bukankah para pendaki itu selalu orang-orang yang asyik. Mereka orang yang tahu bagaimana bersenang-senang. Mereka tahu bahwa ada puncak yang selalu dituju. Mereka orang-orang yang setelah sampai di puncak tidak bertahan dan nyaman dengannya, tapi memilih lagi untuk turun dan menjadi manusia biasa sesehari, bahkan tanpa perlu dipandang istimewa. Puncak adalah prestasi, tapi bukan prestasi yang pertama-tama dikejar. Mereka melakukannya karena mereka menyukainya. Demikian saja.
No comments:
Post a Comment