Kami berangkat saja mencari makan, entah di mana. Erni menawarkan angkringan tugu, aku langsung menolak, aku tak pernah suka tempat itu, terlalu ramai. Ayub ikut-ikut saja ke mana. Aku sebenarnya ingin ke Pakualaman, tapi tampaknya mereka tidak terlalu sreg dengan tempat itu. Okelah kita cari sambil jalan.
Kami mampir dulu ke tempat Friska, Erni perlu mengambil charger laptopnya di sana. Aku sebenarnya tidak persis ingat yang mana yang namanya Friska. Tapi ketika bertemu dengannya aku tahu, oh anak itu yang namanya Friska. Friska mengenaliku dan mengatakan gemuk sekarang, aku sudah akrab sekali dengan kalimat itu. "Di mana, Kak, sekarang?" Aku memandang Ayub, maka terbitlah pikiran itu. "Aku di Jerman sekarang. Kebetulan ini lagi liburan." Dan Friska percaya! "Kak, ajak aku dong!" Aku tertawa saja untuk meyakinkan bahwa muslihatku berhasil. Ayub dan Erni tertawa-tawa saja. "Aku cuma liburan sebulan, dan ini seminggu kepingin dihabiskan di Jogja." "Enak ya, kak! Aku juga pingin bisa ke luar-luar gitu." "Ah biasa aja kok, kebetulan ini liburan musim dingin." Memangnya ada ya liburan musim dingin, pikirku. Erni langsung menyahut, "Liburan musim becek." Friska tampak semakin tertarik, "Sudah turun salju, kak?" "Belum kalau masih bulan-bulan begini masih hujan, nanti kalau sudah mulai Desember, saljunya baru mulai turun." Ayub tertawa-tawa saja.
"Friska ayo ikut keluar cari makan," Erni mengajaknya. Tapi Friska tidak bisa keluar, karena hari ini harus menyelesaikan revisi skripsinya, dan besok harus sudah dikumpulkan." "Jam berapa kumpul, Fris?" tanya Ayub. "Gak tahu, Yub, seselesainya pokoknya. Begadang lagi malam ini." Aku melihatnya begitu khawatir. Sedemikian perjuangannya untuk skripsi. Aku membandingkan denganku dulu yang begitu menyepelekannya, karena kegagalanku bertarung dengan diriku sendiri. Aku benar-benar menghargai mereka yang demikian, mereka menghabiskan seluruh daya upaya mereka, karena skripsi adalah tantangan luar biasa berat bagi mereka. Aku merasa malu bertemu dengan mereka yang demikian.
Friska menyarankanku untuk makan di Semesta, sebuah kafe di dekat jembatan Kewek. Tempatnya nyaman dan sepi katanya, tapi harganya agak mahal. Tidak masalah lah buatku sekarang, hitung-hitungan di dompetku masih cukup, sepanjang aku masih bisa merasakan Jogjaku lagi. Friska tampak sedih tidak bisa ikut, tapi dia harus berjuang, dan kami bertiga yang lain benar-benar menghargai usahanya.
Kami sampai di Semesta. Overdomeh! Apanya yang sepi? Ini ramai seperti pasar. Sampai-sampai kami kehabisan tempat parkir karena mungkin puluhan atau mungkin ratusan motor ada di sana, belum lagi mobil yang berjajar-jajar seperti karnaval. Erni dan Ayub tampak bersalah, "Kita cari tempat yang lain, ya?" Aku menjawab tidak usah, tidak apa-apa. Kami harus memarkir motor kami di trotoar sebelah, itu pun begitu berdempet-dempetannya, seperti parkiran di depan Malioboro Mall yang tidak kusukai itu rasanya. Tapi sudahlah.
Ketika masuk, ternyata tempatnya lumayan. Setidaknya kalau sepi. Kalau ramai begini tetap saja tidak menyenangkan. Ada tempat di halaman yang sebenarnya nyaman, tapi masih basah bekas hujan. Tidak mungkin buat duduk lah. Setelah berkeliling, akhirnya kami mendapatkan tempat di daerah Timur, di luar juga, dan lumayan nyaman. Di sudut yang ternyata sepi. Di dekat kami hanya ada beberapa anak kuliahan yang sedang mengerjakan tugas mereka dengan sangat seriusnya. "Di sini free wifi." Kata Erni.
Kami memesan makanan. Aku memesan nasi goreng dan coklat panas, Ayub nasi goreng dan kopi. Erni hanya memesan minum, tidak lapar katanya. Setelah menunggu beberapa lama, makanan datang, benar-benar tidak menggoda, plain food. Mereka hanya menjual suasana. Makanan serupa itu saja harganya hampir seratus ribu. Di nasi goreng B2 depan Pasar Progo kami bisa dapat harga seperempatnya itu pun dengan rasa yang jauh lebih baik. Tapi sudahlah setidaknya ada Ayub dan Erni di sini, itu menggantikan semuanya.
"Eh orang Jerman, ngomong satu kata aja dong dalam Bahasa Jerman!" Erni mengejekku, Ayub tertawa terpingkal. "Das Kapital!" jawabku dan mereka tertawa semakin keras. "Wah, satu kalimat kalau begitu!" tantang Erni. "Ich liebe dich!" Dan tawa kami sampai di tetangga meja kami. Mereka memandang dengan mata yang seperti menyiratkan, "Dasar orang udik." Peduli kambing.
Setelah pembicaraan yang ngalor ngidul, Ayub akhirnya bercerita tentang skripsinya. Dia menyoroti perkara kawin beda agama. Erni sudah tampak ngantuk, "Aku tidur dulu ya, kalian ngobrollah! Kalau sudah mau pulang nanti bangunkan aku!" Erni tidur berbantal tasnya. Aku dan Ayub ngobrol. Permasalahan Ayub, menurutnya adalah bahwa dia terlalu berkeras dengan pendapatnya, sampai apa yang dikatakan dosen pada waktu bimbingan tidak masuk dalam pertimbangannya. Prinsipnya menjadi alasannya. Kami berdebat cukup panjang mengenai prinsip ini, sampai pada akhirnya Ayub mengatakan, "Ternyata pertarungan terberat adalah melawan diri sendiri, ya Mas." Aku mengangguk. "Ada film judulnya Scott Pilgrim vs The World, Yub! Dia suka seorang cewek, dan untuk mendapatkan cewek ini dia harus bertarung melawan ketujuh mantan jahat si cewek. Dan setelah dia mengalahkan ketujuh-tujuhnya, ternyata masih ada yang harus dikalahkannya, musuh utamanya. Dirinya sendiri. Dan ternyata dia tidak berperang dengan dirinya sendiri, dia bersahabat dengan dirinya." Ayub mengangguk.
Pembicaraan kami sampai lewat jam sebelasan. Belum cukup malam, tapi demi rencana kami yang akan naik gunung besok kami butuh istirahat malam ini. "Tidur di mana, Mas?" Aku memutuskan tidur di kos Yosia saja. Yosia tadi mengatakan kepadaku bahwa dia besok harus mengajar di Muntilan, kunci kosnya diletakkan di belakang wayang golek di pintu. Ayub mengantarkan Erni ke rumahnya, aku kembali ke kos Yosia. Sepi, Yosia sudah tidak ada di kosnya.
No comments:
Post a Comment