Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Yogyakarta: Gelarlah Selimut Cinta 10

| No comment
Aku dan Ayub akhirnya sampai di tempat Erni. Hujan belum reda-reda juga. Kami menyumpah-nyumpah demi menemukan tempat Erni yang begitu susahnya dicari. Tempatnya bagus, sebuah rumah baru dengan tumbuhan sulur yang merambat sepanjang temboknya. "Ini kos-kosan?" tanyaku. "Bukan ini rumah sendiri!" jawab Erni sambil memberikan handuk kepada kami. "Berani beraninya kamu ngambil kontrakan di daerah seperti ini? Apa ini rumahmu sendiri?" "Enggak lah! Ini rumahnya Bu Indri. Aku diperkenankan menempati rumah ini, sembari menjaganya." Pantas saja. 

Kami berbicara cukup banyak, mulai dari keadaan kampus sampai hubungan-hubungan kami. Erni mau menikah dan rencananya tidak mempertahankan posisinya di GKJW, dia akan ke Bali bersama suaminya yang sudah di sana sekarang, mengadu nasib di sana. "Kamu sudah kelihatan seperti gadis Bali!" ujarku. Aku bisa melihatnya senang dipuji begitu. "Kamu nginap di mana, Kang, malam ini?" Aku mengangkat bahu. Sebenarnya hari Selasa ini rencanaku menonton Sendratari Ramayana, tapi rasanya waktu sudah tidak memungkinkan, sudah hampir jam enam sore, perjalanan ke Prambanan saja pasti sudah setengah jam sendiri. Apalagi hujan begini, bisa-bisa aku seperti tikus sampai di sana. 

Maka kami bercerita-cerita saja. Erni menawarkan membelikan kami makan. Tapi kami menolak. Kebetulan di Ullen Sentalu tadi Mbak Ari sudah membelikan kami salak. Dan mengingat Ullen Sentalu, tiba-tiba kalimat itu seperti menyerbuku lagi. 

Gelarlah selimut cinta
di atas dosa dan kekurangan orang lain
itulah kebahagiaan

Dari cerita-cerita itu, tentu banyak cerita menyenangkan. Tapi kami akhirnya berhenti pada cerita Ayub dan Erni yang berjuang dengan skripsinya. Ini adalah tahun-tahun terakhir mereka, dan di balik semua hal yang mereka lakukan dan membuat mereka mungkin terbaca tidak cukup berusaha oleh yang lain, sejatinya mereka berjuang dengan luar biasa. Lalu juga cerita tentang Ruben, yang bahkan perjuangannya masih lebih panjang dari itu. Lalu ada Yeyen, ada Friska. Dan ternyata perjuangan seperti itu terjadi pada mereka semua. Aku ingat karena aku pun pernah mengalami hal yang sama dengan skripsi. Dan merasa menjadi angkatan tua di tengah angkatan-angkatan yang baru masuk, bukan sebuah perkara yang menyamankan saja. Aku ingat bahkan ada suatu masa, aku sampai merasa malu datang ke wisuda teman-temanku. Bersembunyi saja di kontrakan. 

"Mau makan di mana?" Tanya Erni. "Terserah, yang penting nyaman! Yang sepi, yang masih terasa Jogja!" Entahlah aku tidak terlalu merasa Jogja lagi di Jogja. Ketika perjalanan kami sepanjang Seturan, aku semakin kehilangan Jogja itu. Aku seperti berasa di Bandung. Tidak ada lagi orang dengan rambut kusut, pakaian tidak disetrika dan sandal jepit di sini, digantikan anak-anak muda metro yang bersepatu Converse dan kaus wangi. Wajah mereka kembar-kembar, seperti artis Korea. Tidak ada lagi jajaran pemusik jalanan, digantikan hotel-hotel yang membuat orang mendongak saking tingginya. Aku kehilangan Jogjaku.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment