___ kita adalah penyihir, kita semua adalah penyihir ___
WONOSOBO - JAM 2 SIANG
Teman-teman pergi satu per satu bersama rombongan. Argo masih bertahan, tapi aku tak bisa bersama Argo, dia akan menuju Salatiga dan aku harus mengejar pertemuanku dengan teman Olifant, atau setidaknya keretaku. Aku sudah terlanjur membuat janji dengan teman-teman Olifant untuk menemui mereka di sekolah itu jam empat sore, jam pulang sekolah. Aku sudah melewatkan pertemuan dengan mereka kemarin, bukan aku, tapi mereka yang melewatkannya, aku menunggu sampai malam tapi tak ada tanda bahwa mereka hendak menemuiku, atau bahkan sekadar berkehendak menemuiku. Perasaan ditolak itu membunuh, dan demi perasaan itu kemarin aku membentak tiga orang sekaligus, Jay, Kosa, dan Kezia karena aku menganggap melihat mata mengasihani dari tatapan mereka. Mulut mereka bungkam, tapi aku sudah membuat sebuah kesimpulan. Dan untukku kesimpulan adalah suatu simpul, jika sudah dibuat maka tidak akan cukup longgar untuk diudar kembali. Dan tampaknya bukan hanya aku yang merasa jengah, tapi mereka pun merasa sakit karena bentakanku.
Aku masih ingat tatapan terkejut mereka bertiga kemarin. Terkejut atas kata-kataku, terkejut atas perasaanku. Dan terkejut – terutama Kezia yang baru dekat denganku – bahwa ternyata aku menyimpan sebuah kebusukan di balik semua kemungkinan yang bisa ditawarkan. Tapi mari meninggalkan mereka, mengenang pengalaman buruk hanya akan merusak semua kesempurnaan yang sudah dibuat hari ini. (Kezia membelikanku tiket untuk kepulanganku, kereta Gaya Baru Malam, jam sembilan dari Lempuyangan).
Satu per satu menghilang dari pandangan. Sepuluh menit yang lalu kami masih berfoto-foto dan sekarang mereka sudah hampir semua menghilang. Ada yang tidak nyaman dalam perpisahan kami. Bukan karena kami berpisah, aku tahu bahwa kami akan berpisah. Yang menyesakkan adalah ketergesaan itu, seperti disapih sebelum waktunya. Seorang bayi akan menangis seharian, karena susu ibunya adalah rumahnya, disapih adalah diusir dari rumah, dan membiarkanmu seolah terlantar sendirian. Aku membayangkan penderitaan anak-anak tsunami, anak kecil yang tertinggal hidup sendiri ketika semua anggota keluarganya terseret gelombang pasang. Aku mengerti mengapa beberapa istri atau suami meninggal setelah pasangannya meninggal, karena mereka terlalu mencintai, dan ketika kamu sungguh mencintai kamu tak akan pernah siap untuk melepaskan. Kamu rela untuk tidak bertemu, tapi tidak untuk melepaskan. Aku sering berkata, ‘Pengalaman buruk, perpisahan, justru membuat kita menghargai pengalaman baik yang sederhana sekalipun, perjumpaan, pun yang singkat’. Tapi ketika mengalami sendiri, ada perasaan tersodok di sana, mungkin ini ketakutan. Mungkin ini keluar dari zona nyaman, melepas yang menyenangkan untuk tinggal dalam pengasingan. Meninggalkan bubur dan beralih pada roti sagu yang keras dan meratakan gigi.
Tapi toh memang petuangalan memang harus berakhir. Setelah pertemuannya dengan kelinci yang berbicara, Si Kembar aneh, ulat yang bijaksana, ratu merah dan putih, Alice pun harus pulang dari Wonderland. Pulang kembali ke keterbiasaan, pulang kembali ke tempat asal. Kembali kepada asal muasal kehidupan, yang adalah kehidupan yang mungkin lebih sebenarnya, dan menemukan bahwa hidup yang sebenarnya itu hanya biasa-biasa saja, dan petualangan hanya sebuah tamasya. Petualangan hanyalah gonjang-ganjing singkat sebelum pendulum itu berdiam di titik tengah yang stabil lagi. Aku terluka menemukan kenyataan bahwa stabil bukanlah pilihan, tapi takdir. Seperti seorang mahasiswa melepas gelar mahasiswanya, padahal dengan gelar itu kamu bisa masuk museum dengan gratis, membeli barang di carefour dengan potongan, meminjam buku di perpustakaan dalam jangka yang lebih panjang. Melepaskan mahkota yang menjaminmu akan diberikan keistimewaan. Aku murung. Agus tampaknya membaca itu dari rautku, dia menahanku supaya tidak segera pulang. Sekadar memberikan waktu untuk hati menjadi lebih tenang. Aku sudah membuat janji, bersama teman-teman Olifant, bersama keretaku. Dan janji adalah kesimpulan. Dan kesimpulan terlalu rumit untuk diudar. Butuh kesanggupan untuk disebut tidak konsisten. Aku memutuskan pulang.
Aku akan pulang bersama Rita dan suaminya Avi, si penjual senjata api. Mereka akan mengantarkanku sampai Secang. Kota romantis keemasan yang sepi kemarin malam. Mereka sudah menungguku di dalam mobil. Mereka akan mengambil jarak yang lebih jauh untuk mengantarku, tapi aku tak memikirkan mereka, aku memikirkan ketercerabutanku yang menghujam-hujam – kadang matamu dikaburkan oleh kabut yang kau tiupkan sendiri sampai kamu tak sadar ada orang di balik kabut itu yang memilih untuk berbaik hati kepadamu, bahkan sudah berkorban untukmu, kadang kesedihan menyelabut serupa alas yang belum-belum sudah terlalu lebat. Aku tersenyum kepada semuanya seolah baik-baik saja. Aku akhirnya tahu bagaimana rasanya tersenyum dalam kalut, sakitnya lebih kuat dari menangis.
WONOSOBO – SECANG
Rita dan Avi, keduanya adalah penyihir. Mereka berpakaian hitam sekalipun dengan lengan pendek. Mereka suka tertawa dengan aneh, Rita terbahak-bahak dan Avi terkekeh-kekeh (walaupun kadang terbahak juga). Tawa aneh yang akan menyelimuti batas ubun-ubunmu, membungkusmu hingga kamu tak punya pilihan lain selain ikut tertawa jingkat-jingkit bersama mereka. Kamu tertawa karena mereka menyemprotkan gas tawa kepadamu. Gas itu membuatmu nyaman tertawa bersama mereka dalam tawa-tawa yang aneh, tawa yang tidak bisa kamu kontrol dengan kesadaranmu, tawa yang lahir dari alam nirsadar. Tawa libido, tawa hewan buas yang menerkam lawannya. Dan percayalah kepadaku, menghirup gas tawa tidak berbahaya, justru mengautkan wadak dan jiwa.
Oh ya, tahukah kamu bahwa takdir seorang penyihir adalah menikah dengan penyihir. Itu sudah tertulis di alam, mungkin ada kalanya kamu menemukan seorang penyihir yang tidak menikah dengan penyihir, tapi percayalah itu kekeliruan, jika meraka bertahan itu adalah sebuah kompromi alot. Aku dulu berpikir dua teman penyihirku ini akan berhubungan dengan cukup langgeng tapi tidak akan sampai menikah, dalam benakku Rita membutuhkan seseorang yang lebih dalam dan Avi butuh perempuan yang lebih liar. Tapi aku lupa bahwa mereka berdua adalah penyihir, dan penyihir akan mengelupas kulitnya seperti ular ketika bertemu pasangannya. Keduanya akan menyatu dalam bulan purnama yang teduh di bawah ranting-ranting kering sekalipun, di tengah musim yang yang membekukan kulit dan tulang juga. Dan mereka memang tidak pernah dua, sejak inkarnasi-inkasrnasi sebelumnya, mereka memang sudah ditakdirkan untuk satu. Dan aku senang akhirnya mereka menikah. Mereka menjadi sangat jujur satu dengan yang lain. Tidak ada tembok, mereka tertawa lepas, ngerasani lepas, dan menyemprotkan gas tawa kepadaku dengan lepas. Dan itu membuat aku kembali menikmati perjalanan itu.
Mungkin setengah jam yang lalu aku dipenuhi gundah ketika disapih dari kebersamaan bersama kenyamaan teman-teman. Aku sakit. Ternyata sakit itu memang tidak abadi, kamu hanya perlu terbuka pada sihir dan kamu akan tahu bahwa dunia terdiri dari jutaan warna yang belum semua terjelajahi. Ketika melihat sebuah gradasi, kamu akan membiarkannya lalu begitu saja karena dalam keseharian, gradasi itu biasa saja dan ada di mana-mana. Tapi bersama penyihir, kamu akan diingatkan bahwa sebuah gradasi warna adalah susunan dari jutaan atau bahkan milyaran warna. Aku senang bersama mereka berdua.
“Berdoalah sepanjang jalan supaya kita selamat!” cerca Rita untuk Avi, “Dia belum pernah menyetir ke luar kota, ini pertama kalinya!” Avi tertawa dengan tawanya yang aneh dan aku pun tidak jadi berdoa. Nyatanya kami selamat walafiat sampai di tempat tujuan nanti.
Mobil kotak kami melaju di jalan padat yang berkelok-kelok itu. Aku tahu menyebut mobil ini carry, dan aku segera sadar bahwa perjalananku kali ini bukan hanya penuh dengan warna keemasan, tapi juga mobil carry. Mobil ini hijau biru, aku tak tahu persis bagaimana menyebutnya, lebih pucat dari pine green tapi lebih pelat dari persian green. Kami dipandu oleh GPS dan ingatan Avi atas jalan itu. Kami tertawa sepanjang jalan sambil sesekali ngerasani teman-teman. Bukan rasan-rasan jelek, karena semuanya berakhir dengan harapan, setidaknya begitu menurutku.
Ketika tiba mereka sedang berdua dalam dunia sihir mereka, aku menjadi punya kesempatan menggeledah tasku. Dan segera saja aku menemukan bahwa Lalita tertinggal dan aku juga alat mandiku. Hobi meninggalkan dan menghilangkan adalah hobi yang sudah kuternakkan dengan sukses, hobi itu beranak pinak dari sepele hingga rumit. Dan hobi ini bermutasi menghasilkan spesies-spesies baru, dari yang awalnya menghilangkan uang yang tak seberapa bermutasi menjadi menghilangnya kepercaan. Hobi yang kemudian menjadi akut, sebut saja krisis. Mutasi yang lain adalah varian genetis baru: bahwa aku menemukan ternyata aku memakai sabuk Agus. Aku menghubungi Agus bukan untuk sabuk tapi untuk Lalita (pada waktu perjalanan itu aku belum sadar sabuk itu terbawa olehku, nanti sampai di rumah aku baru menyadarinya), karena Lalita itu istimewa, Lalita itu adalah hadiah dari dua orang yang kusayangi di penghujung bulan Januari lalu.
Perjalanan itu tak terasa begitu lama, tapi ketika aku melihat jam ternyata perjalanan kami tidak singkat, aku tahu karena seperti kubilang tadi aku bersama penyihir. Dan mereka tidak hanya menyihir waktu tapi juga Secang yang sepi, romantis, dan keemasan pada malam hari menjadi sebuah kota yang ramai di sore itu. Tak ada tanda-tanda tempat yang kukenali tadi malam. Seperti berbalik. Malam dengan gelap, sepi, dan dinginnya, siang sengan benderang dan hiruknya. Aku berterima kasih kepada mereka dan mereka melaju, mereka seperti menghilang begitu cepat. Seperti penyihir dengan sapunya. Kamu membalikkan wajahmu ke arah lain dan menemukan mereka sudah terbang tanpa kamu sadari. Mereka menaburiku dengan bubuk sihir, bubuk itu kamu beri nama kasih sahabat, dan bubuk itu akan tinggal terus dalam aliran darahmu sampai kamu mati, kecuali kamu menambahkan bubuk lain dari alam dunia mimpi buruk. Bubuk sihir itu membuatmu tidak takut dengan sakit, bubuk itu membuatmu jujur dengan dirimu sendiri dan orang lain. Bubuk itu membuatmu mampu bersahabat dengan air mata. Bubuk itu membuatmu betah menunggu di pom bensin hanya untuk menunggu seseorang yang mencari sinyal internet demi menemukan nama hijau mint (hijau mint bukanlah sekadar hijau daun mint, tapi hijau mint adalah hijau yang dingin, seperti daun mint yang terbungkus bongkahan es batu, hijau mint adalah hijau mobil carry para penyihir). Hijau mint, hijau yang lebih pucat dari pine green tapi lebih pekat dari persian green.
Hidungku seperti mencium aroma petualangan lagi, dan aku suka itu.
SECANG – JOGJA
Bis ini terlalu istimewa. Aku menjaga mataku tetap awas demi menjaga kesadaranku bahwa aku tidak dibawa ke tempat yang keliru. Busanya empuk, dengan dudukan kaki – aku membayangkan kamu mengerti yang kumaksudkan, bis biasa hanya menyediakan pengungkit di sebelah tempat duduknya untuk menidurkan atau menegakkan sandaran punggung, tapi bis ini punya pengungkit lain, sehingga kakimu bisa berselonjor dengan leluasa. Sebuah selimut biru untuk setiap kursi dan AC yang justru menganggu, terlalu dingin. Aku tak hapal betul jalur Secang Jogja, itu masalahnya, jadi bisa saja aku kesasar ke kota lain. Aku tidak bisa bertoleransi dengan itu, lantaran keretaku akan berangkat jam sembilan, padahal aku masih harus mengunjungi beberapa tempat.
Aku sudah membatalkan janjiku dengan teman Olifant, lagi. Karena aku tak mungkin sampai di Jogja jam empat, karena sekarang saja sudah lewat jam empat. Tapi Lele seperti memaksaku, “Pokoknya ketemu walau hanya sebentar, aku kangen banget!” Dan kamu tahu Lele, dia adalah orang yang kepadanya aku tak akan bisa marah. Suatu ketika mungkin aku akan kesal dengannya, dan pada ketika yang sama dia akan menatapku dengan senyumnnya yang manja dan kemayu. Aku tidak kuat untuk tidak meleleh. Selalu seperti itu. Dia terlalu manis, melebihi sari madu. Dia tidak biasa menyebut orang dengan kamu, dia akan menyebutmu dengan dikau. Dia tak pernah menyebut dirinya dengan gua atau aku, dia akan menyebut dirinya dengan daku. Mana mungkin aku bisa menolak itu. Bukan, kamu salah, ini bukan eros, ini seperti filia yang bulat utuh, betul-betul utuh, yang kadang lebih kuat dari storge sekalipun. Maka aku menyanggupi menemuinya.
Hujan mulai gerimis. Dan bis itu rasanya tidak akan keliru. Aku mererima SMS dari Mbak Ari, dia akan menjemputku di Jombor, aku menghitung waktu, dan aku rasa masih mungkin untuk bertemu semuanya. Aku menghitung dan berdoa, dua hal yang dalam kondisi normal justru saling berseberangan. Menghitung adalah cara yang ditempuh manusia untuk mendapatkan kepastian, berdoa justru cara meyakini ketidakpastian.
JOGJA – HARI 2 (19.10)
Aku melihat Mbak Ari dengan sepeda motornya di depan Indomaret, dia keliru mengerti ketika aku mengatakan jemput di depan Alfamart. Tapi kedua toko retail itu berjajar, hanya dipisahkan oleh parkiran tiga buah taksi. Seorang pria gemuk dengan wajah sangar menjagai ketiga taksi itu, mencarikan penumpang, korban. Dia tidak melirikku, penampilanku tidak meyakinkan untuk naik sebuah taksi. Untuk orang-orang sejenis itu, kamu hanya menarik kalau kamu bisa dibujuknya memenuhi kemauannya, jika tidak, kamu hanya sampah rombeng seheboh apapun penampilanmu. Dan aku jelas orang yang dilihatnya tidak punya kualifikasi sebagai korbannya.
Cardigan biruku tak bisa menghindarkanku dari hujan yang gerimis. Aku memilih memakai mantel yang semula dikenakan Mbak Ari. Seperti tak merelakan ingkar, dia menyuapkan sebuah buku yang dijanjikannya beberapa waktu lalu ke mulut tasku. Hadiah terbaik buatku adalah sebuah buku, dan mereka yang mengenalku tahu itu.
Tahukah kamu, setelah meninggalkan sebuah kota selama beberapa tahun kamu akan merasa asing dengan kota itu? Aku merasakan itu untuk Jogjaku. Dulu kota ini rumah keduaku, aku bisa berjalan di sepanjang pelipirnya hanya dengan singlet atau bertelanjang dada, bukankah itu yang biasa kita lakukan di rumah. Rumah adalah tempat tanpa genangan rasa malu. Karena itu banyak orang senang berlama-lama di sebuah kamar mandi, bukan untuk melakukan hal-hal yang dilakukan pria muda dengan sabun itu, tapi sekadar untuk merasakan indahnya rumah. Beberapa orang menambahkan sebuah bak tidur di kamar mandinya, demi apa, demi merasakan rumah. Tapi setelah sekian lama meninggalkan kota ini, rasanya ada yang salah. Kita selalu menyebut yang berbeda dengan salah, aku tidak sepenuhnya setuju, tapi untuk kali ini aku merasakan hal itu. Aku tak sungguh merasakan pulang lagi di tempat ini. Tempat ini sekarang asing bagiku. Jalan-jalan itu seperti ada dalam ingatan arketipe-ku, tapi seperti bukan dalam kehidupan yang ini. Kehidupanku yang sebelumnya, mungkin sebagai capung atau bekicot. Tidak ada yang banyak berubah sebenarnya, mungkin aku yang berubah. Aku terbiasa dengan sawah sekarang, terbiasa dengan hijau, melihat jajaran rumah-rumah padat dengan lampu sein dan stop lamp mobil – apakah yang lebih tepat stop lamp atau brake lamp, atau keduanya sama saja, aku merasa brake lamp lebih pas karena lampu itu pasti menyala ketika kamu menginjak rem, tapi tidak selalu berhenti - yang menilas di jalan raya basah menggenahkanku tentang rasa asing itu adalah ada, nyata, dan memang benar.
Mbak Ari bercerita tentang banyak hal, membungkam rasa tidak nyamanku karena ditolong, apalagi seorang perempuan. Mungkin dia bercerita tidak sangat banyak, tapi cukup banyak untuk perjalanan singkat itu. Dia bercerita tentang eneagram dirinya, bahwa dia adalah tipe penolong. Ada rasa yang aneh ketika ditolong seseorang, rasanya aku menjelma korban. Dan perasaan serupa itu agak mengangguku, membawaku pada ingatan lama ketika aku masih kecil dan ditinggal sendirian di rumah embahku, tidak bersama lagi dengan bapak-ibuku, dan bayangan-bayangan lain – kau akan tahu apa yang kumaksudkan. Hal kedua adalah aku selalu merasa merepotkan orang jika mereka menolongku. Aku lebih senang direpotkan daripada merepotkan. Dia meyakinkan aku bahwa aku sama sekali tidak merepotkan, aku tidak bisa sepenuhnya yakin. Aku masih ingat kemarahanku kepada Jay, Kosa, dan Kezia kemarin malam. Ketika akhirnya trio Olifant tak jadi bertemu denganku, mereka sepertinya ikut kecewa, dan aku merasa terhina dengan tatapan mereka yang bagiku bernama tatapan mengasihani itu. Apalagi di hadapan perempuan. Aku baru sadar bahwa aku ternyata sangat patriakhal, perempuan adalah untuk disayangi dan dilindungi, bukan melindungi, ketika seorang perempuan menolongmu, itu adalah penghinaan bagi laki-laki. Dalam dunia patriakhal demikian, laki-laki adalah konco gelut, dikasihani seorang perempuan memalukan, tapi dikasihani seorang laki-laki akan lebih memalukan. Aku terlalu angkuh untuk menjadi lemah, atau aku terlalu takut untuk kelihatan lemah? Entahlah.
JOGJA – HARI 2 (19:20)
“Jangan mengasihani aku! Aku tidak senang!” di ruangan ini kemarin aku membentak Jay, Kosa, dan Kezia. Sekarang Jay tidak ada, aku tidak bisa masuk kamar dan mengambil barang-barangku. Aku menelponnya – dengan telpon yang lagi-lagi dipinjamkan Mbak Ari kepadaku, sekali lagi aku ditolong. Dia sedang ada di Superindo dan akan segera kembali.
JOGJA – HARI 2 (19.30)
Kamar Kezia masih seperti kemarin, beberapa buku berserak berantakan di sebelah meja televisi. Laptopnya menyalakan sebuah film, yang segera dihentikannya ketika aku datang. Aku berteriak ke kamar sebelahnya. Dan wajah yang terlalu manis itu muncul di pintu dengan senyum yang juga terlalu manis. Aku meleleh, meleleh dalam arti yang sebenarnya. Ada rasa rindu beku yang begitu saja menyublim. Aku ingin menciumnya andai aku tidak sungkan kepada Mbak Ari yang ada di sana. Lele. Dia tampak sangat kurus. Kulitnya tidak membungkus apa-apa selain tulangnya. Apakah Olifant begitu menakutkan hingga dia memakanmu sedemikian lekas, Sayang? Rambutnya yang keriting diikat satu seperti dulu. Manis itu melekatimu lebih kuat daripada kurusmu. Dan ketika kamu berbicara dunia seperti dipenuhi warna-warni gula-gula. Hijau, merah, putih, kuning, dan warna-warna cerah lain yang terlalu menggoda untuk tidak dipetik, seperti buah di tengah Eden. Aku akan mendengarkanmu bercerita, karena aku merindukan kicauan suara lembut syahdu dan nakal kekanakan itu. Kamu bergaul terlalu dekat dengan anak-anak, Le, sampai membuatmu serupa mereka. Menggemaskan dan membuatku ingin mencubit. Apa yang tumbuh di tanganmu, ternyata bukan apa-apa yang serius. Syukurlah!
Akhirnya Mbak Ari ikut bergabung setelah menelpon mungkin anak-anaknya di Surabaya. Kami pun mulai membangun cerita. Cerita kami demikian: Ada sebuah kerajaan yang dikuasai oleh seorang raja jahanam. Setiap perintah raja itu harus dituruti. Semua orang akan memaksakan diri tersenyum di hadapannya, tapi membencinya di belakang. Mereka yang tidak membencinya akan menertawakannya. Karena raja itu pilih kasih. Dia senang dengan para pemuda yang bisa berperang, tapi membenci para pemuda yang lemah dan cacat. Raja itu tak menyadari kelemahannya dan itu yang membuatnya begitu jahaman. Tapi kami berempat mulai membangun sebuah cerita yang kasihan tentang raja itu, sebenarnya raja digdaya nan kejam itu adalah seorang pria yang kesepian. Dan kesepian bisa membuatmu beralih rupa dari seorang malaikat kecil menjadi iblis penghisap darah. Kami tahu itu dari Freud. Kamu pasti juga kenal Freud bukan? Si pria falus itu. Kami tidak hanya mendongengkan kisah raja jahanam, kami juga mendongengkan kisah sebuah negeri lain lagi yang di sana tak boleh ada orang miskin masuk, untuk masuk ke sana kamu harus meyakinkan bahwa kamu kuat bertahan di sana sampai beberapa tahun. Apa ukurannya? Uang. Ya uang yang banyak, uang raksasa yang memakan saudaraku Lele menjadi tulang. Negara itu seperti Amerika, untuk mendapatkan green card kamu harus menyajikan deretan uang hijau di atas meja atau rekening. Jika tidak kamu tidak bertahan dan terlempar dalam hitungan bulan. Kami sedih tapi tidak berdaya.
Aku melihat jam berkali-kali. Dan tiket itu sampai di tanganku. Mujizat apa lagi ini, keretaku bukan jam sembilan tapi jam sembilan ditambah dua pertiganya, empat puluh menit. Artinya kami punya waktu sedikit lebih panjang. Mbak Ari menyarankan aku untuk melewatkan saja tiket itu, aku bisa menyusul waktu dengan bis. Bis ada hingga waktu yang tidak ditentukan. Tapi aku tidak ingin melupakan Kezia yang telah berjerih payah mencarikan aku tiket dan membujukku untuk mau menerima tiket itu tanpa mengganti bahkan dengan – mungkin – kebohongan “Ini dari Kak Ayub!” Dia begitu mengasihiku. Dan aku sadar bahwa sejak kapan pun dia tidak pernah mengasihaniku, tapi dia mengasihiku.
Sebuah kalimat terungkap dari mulutnya ketika dia akan menawarkan bantuan lain, “Enggak jadi lah, Mas! Nanti aku dipikir salah lagi kalau memperhatikan. Kamu orang yang tidak rela diperhatikan.” Dan kalimat itu membuatku kembali pada sebuah peristiwa dua puluh dua tahun yang lalu.
PACET, 22 TAHUN YANG LALU
Bocah kecil itu dibimbing masuk ke sebuah kamar. Dia hanya berdua saja dengan pria yang lebih tua. Dan pria yang lebih tua membimbingnya lagi, kali ini tangan si bocah kecil. Dimasukkan tangan itu di balik celana pria yang lebih tua. Dan kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Apa yang terjadi para bocah itu? Bocah itu merasa menjadi korban. Korban yang tidak berdaya tapi juga tidak rela dilepaskan. Dia kemudian menjadi bergantung. Bocah yang bingung dan terlibat dalam begitu lekat dengan rasa bersalah, ketakutan, sekaligus kenyamanan baru yang asing sama sekali. Dan kenyamanan itu tak pernah membuatnya nyaman lagi sesudahnya.
Sejak saat itu, dia tak ingin lagi menjadi korban. Dia tak mau meletakkan dirinya dalam radar dikasihani. Dia lebih kuat dari semua orang. Dia akan memerintah semua orang. Dia akan mampu melakukan semuanya tanpa dibantu.
JOGJA – MASIH DI KAMAR KEZIA
Membiarkan dirimu dibaca, vulnerable, adalah sebuah kesakitan lain. Namun seperti sakit yang lain, jika kau bisa melewatinya maka antibodi dalam tubuhmu akan lebih kebal. Jika tidak kamu mati. Aku memilih untuk sehat. Aku memutuskan rela untuk dibaca. Dan ternyata keterbacaan itu tidak meletakkanmu lagi sebagai korban, tapi sebagai orang yang layak dikasihi. Dalam tataran itulah tidak ada lagi kamu, yang ada adalah engkau atau dikau – seperti bagaimana Lele yang manis itu menyebut orang lain. Aku sadar bahwa selama ini aku terlalu takut untuk dikasihani, dan pada saat yang sama aku ternyata terlalu takut dikasihi. Dan tahukah engkau, ketika engkau terlalu takut dikasihi, engkau tidak akan bisa mengasihi dengan utuh. Karena mengasihi membuat engkau lebur seperti ular penyihir itu. Ketika engkau mengasihi dan takut dikasihi, sebenarnya engkau sedang menjaga jarak antara engkau dengan yang engkau kasihi. Engkau bisa menangis bersamanya, tapi sebenarnya engkau tidak sedang menangisinya. Engkau sedang menangisi andai engkau menjadi dia. Padahal mengasihi adalah menjadikan dirinya engaku dan engkau dirinya, ketika engaku menangis maka dia menangis, ketika dia menangis maka menangislah engkau yang adalah dia itu.
Kezia, Jay, dan Kosa telah menjadikan diriku dirinya. Tapi aku masih bertahan diriku sebagai diriku. Aku tidak memahami tentang konsep mengasihi mereka, sebelum saat ini.
Aku akhirnya tahu mengapa aku terlalu takut menjalin hubungan dengan seseorang. Karena aku takut aku menjadi korban lagi seperti dulu. Padahal menjalin hubungan dengan seseorang adalah sebuah proses wajar, diterima dan ditolak adalah proses mengebalkan antibodi untuk berhadapan dengan dunia. Engkau mungkin berpikir bisa berpapasan dengan dengan dunia setiap waktu, tapi tidak setiap waktu engkau bisa berhadapan dengannya muka dengan muka. Baru ketika engkau mengerti bahwa mengasihi dan dikasihi adalah peleburan, adalah bukan mengasihani, maka matamu terbuka pada seluruh warna penyihir itu. Bukan dengan teori, tapi dengan mengalaminya. Aku akhirnya tahu mengapa Rita menikah dengan Avi. Karena mereka bisa lebur, sekalipun Avi tidak sedalam yang kupikirkan dan Rita seliar yang kuharapkan dulu (tapi mungkin aku keliru, karena pertemuan terakhirku dengan Avi justru menceritakan kedalamannya, dan Rita dengan keliarannya, ternyata aku terlalu sering salah mengerti dan membaca, mungkin karena aku yang selama ini enggan dibaca, enggan lemah).
Ada sebuah babak baru yang kutemukan dalam perjalananku ke Wonosobo ini. Dan ini adalah tentang mengerti bahwa berani mencintai berarti berani dicintai. Berani sakit karena cinta, berani menderita karena cinta. Dan ketika semuanya terjadi karena cinta, tidak ada lagi sakit dan menderita, karena kamu berbahagia di dalam semuanya. Tidak ada lagi kamu yang penolong, karena dengan menjadi penolong kamu sebenarnya ditolong. Demi apa? Mungkin demi apa yang disebut bahagia. Demi sebuah sorga yang tidak hanya di akal, tapi demi sorga yang ada juga bisa diindera.
Aku mengharapkan petulangan, dan Dikau memberikanku petualangan. Tahukah Dikau, bahwa sekarang aku siap melebur bersama Dikau!
Dan pertemuan itu berakhir dengan sebuah ciuman untuk Lele dan Kezia.
JOGJA – HARI 2 21:20
Mbak Ari membelikanku makan di warung depan kampus dan aku menuju kost Jay. Jay sudah pulang dari tadi setelah aku menelponnya. Dia menungguku, melihat wajahku dia hanya berkata, “Kamu ini apaan sih? Kita ini sudah saling mengenal. Dan dengan demikian aku semakin sayang kepadamu!” Aku juga menyangimu Jay. Aku merasakan kehangatannya, tatapannya yang lembut dan dalam, cintanya yang tulus. Untuk menggantikan Lalitaku, aku meminjam Lalita milik Dessy yang dipinjam Jay. Selalu ada sihir aneh dalam sebuah perjalanan mencari diri. Sebuah mujizat yang kau sebut sebagai mujizat, kau sebut dengan rahmat.
LEMPUYANGAN – HARI 2 21.30
Mbak Ari melepaskanku. Aku sungguh merasakan kasih seorang kakak kepadaku. Aku menemukan seorang kakak baru. Kakak yang membawaku menyelusur dalam perjalanan mencintai. Keretaku datang terlambat. Jam 10an, sebuah kereta berhenti di lempuyangan. Seorang gadis bercelana jeans belel dengan rambut sepunggung turun dengan kaus birunya, dia menutup mukanya dengan swater putihnya menghindari debu. Tas coklatnya melekat di bahu kanannya. Aku tidak berhenti menatapnya, seperti seseorang dari masa lalu. Gadis itu berjalan terus tanpa memandangku, dan seperti ada sesak lain, selain sesaknya ransel belakangku yang sudah terlalu berat. Menolehlah, atau setidaknya sibakkan sweater putih itu dari wajahmu! Demikianlah gadis itu seperti mendengarkan permintaanku, disibakkannya sweater yang menutupi hidung hingga dadanya. Dan ternyata bukan dia. ada rasa lega bersama-sama rasa sesak yang lain lagi. Kenangan tentang masa lalu, tentang mencintai yang begitu bebatasan. Rasanya aku tidak akan meluruhkan hari ini hanya demi memandang yang telah lalu. Aku akan menapaki hari ini bersama engkau yang kucintai, yang mencintaiku.
Sial aku tak bisa menemukan gerbong dan tempat dudukku, hingga ditertawakan oleh mas-mas di dalam kereta!
No comments:
Post a Comment