Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Wonosobo: Dare to Love, Dare to be Loved 3

| No comment
WONOSOBO – JAM SETENGAH 4
Mobil carry itu tak membawaku  lebih dari satu kilometer, namun kami sudah sempat berbagi keterkejutan dan kebetulan pertemuan kami. Aku turun di sana, dan si wajah Korea sudah menunggu kami – bukankah Agus sama sekali tidak berubah? Dan kami berbicara dengan hangat kemudian di depan televisi yang menyiarkan pertandingan Madrid – MU pagi itu. Semut-semut kepyur statis televisi itu seukuran dengan bola dalam pertandingan itu. Entahlah apakah kami akhirnya menyelesaikan pertandingan itu sampai tuntas atau tidak, yang jelas ketika pagi hari aku sudah menemukan fotoku yang tidur bersama Argo dalam gaya tidak senonoh di BBM teman-teman seangkatan (Argo hanya melungker di pojokan, gayaku yang tidak senonoh, mereka yang tahu, pasti mengerti maksudku). Yosia jelas pelakunya!  Dan foto itu menjadi tema headline news guyonan mereka ketika pertama bertemu denganku seharian itu. Terima kasih Yosia, kamu  memang pangeran kegelapan.

WONOSOBO – JAM 8 PAGI
Aku punya kebiasaan meninggalkan barang di tempat asing. Nanti aku akan sadar aku meninggalkan dua barang di pastori itu.
Jimbun sudah datang, aku mendengar cerita sedih tentangnya, tapi dia tetap menampakkan wajah sukacita. Aku selalu senang sekaligus trenyuh melihat mereka yang tegap dalam air mata. Tapi itulah Jimbun, dia orang Jawa, dan orang Jawa tidak pernah dibiasakan menjadi impulsif, apalagi kamu laki-laki. Dan mereka yang impulsif akan disebut alien. Wei! Argo dan Jimbun memakai baju yang seragam, kelakar lain yang menjelma guyonan tentang sisa kain seharian itu, terutama di antara mereka yang GKJ, aku tidak menyadari karena pikirku memang itu seragam mereka.
Kami berangkat ke gereja. Di sana dua foto besar terpampang seperti foto caleg atau calon lurah yang berkoar-koar pilihlah saya. Sebelah kiri foto Agus si bintang film Korea, dan satu lagi yang akan ditahbiskan bersama-sama dengannya. Si pria besar dengan suara mungil – suaranya  mampu membuatku dan si personil kembar jahat, adikku, Rani tertawa terkekeh. Dan kami berdua selalu punya cara mengejek orang dengan sempurna. Aku rasa itu kelebihan kami: kami memiliki daftar ejekan super panjang dan bergalon-galon cara untuk menghina orang tanpa sedikit pun sadar bahwa kami lebih buruk dari mereka. Aku rasa kehebatan kami di bidang  itu patut diapresiasi dengan piala oscar atau kalpataru.
Kami masuk di sebuah ruangan yang disediakan khusus untuk pasukan berdaster (baca: toga). Satu per satu wajah yang kukenal muncul di sana, Krisno dengan gayanya yang hangat dan langsung mencium pipiku, hasratnya padaku tidak berkurang sekalipun sudah beranak satu. Sammy yang masuk dengan kaus hitam V-neck ketat yang langsung membuatku berlontar  “Tempat fitness sudah siap, kita tinggal aerobik bersama-sama!” Rita, oh my ispiration yang cantik jelita itu datang (pasti bersama suaminya si penjual senjata api), konon beberapa teman sudah datang juga di depan. Aku baru tahu bahwa teman-teman GKI harus mengalami proses yang lebih panjang daripada kami, sehingga beruntung Rita masih termasuk dalam program lama, begitu katanya. Aku bertemu dengan beberapa kakak angkatan juga, yang tak kukenali lagi sama sekali, dan mereka juga tak mengenaliku. Dan terakhir tentu yang namanya sudah disebutkan di atas, Rani tersayang, jangan menyebut namanya dengan tidak hormat.
Ibadat dimulai, dan pak pendeta konsulen itu membuka ibadat layaknya teater Yunani di amfiteater Dionysus raksasa di Acropolis. Sebuah paragraf bisa menjelma lima menit dengan penekanan pada setiap suku kata. Dan aku membuang tatapan nyinyir itu lagi kepada Rani (dan juga Rita yang ada di sebelahku), dan aku segera tahu bahwa kami punya pikiran yang sama. Tampaknya aku juga perlu bertanya mengapa beberapa pendeta itu memakai salib super besar sebagai kalungnya? Ya setiap orang punya gaya fashion yang berbeda-beda, malaikat di sebelahku membisikkan persis di telingaku. Dan kami, para muda yang duduk di jajaran itu rasanya punya persekongkolan rahasia yang serupa tentang beberapa tradisi yang terlalu dihayati lebih sebagai fashion ketimbang style.
Di tempat duduk sana sudah duduk beberapa teman kami. Aska yangsangat rajin datang dalam penahbisan teman-teman, Enos yang kepadanya aku telah mengingkari janji, Yosia si pangeran kegelapan, Bayu, Avi si penjual senjata api – suami Rita, Hesty dan Abi keluarga Krisno, dan istri Sammy beserta anaknya. Bopha datang bersama Dian agak terlambat. Dian jauh lebih besar sekarang. Ada mbak Tyas dan Samuel angkatan di bawah kami juga. Konon ini adalah tahbisan yang paling banyak dihadiri teman-teman. Agus memang lovable. Sayang sekali, Si Sasono gak bisa datang.
Ibadat berjalan lancar dan khidmat. Dan lama. Tapi pemberkatan Agus dan satu pendeta satunya jelas adalah seperti klimaks yang sangat indah dan menghapus semua memori buruk tentang beberapa hal yang tidak biasa dalam ibadat itu. Hampir menghapus.
Selesai ibadat kami makan. Dan bercanda. Aku rasa waktu dan jarak yang memisahkan kami seketika hilang. Ada yang tidak berubah dari angkatan ini. Dan aku senang dengan itu, senangnya tingkat Mario Teguh, Super!

WONOSOBO – JAM 12 SIANG
Hujan mengguyur begitu deras dan mendadak. Aku bersama Avi dan Rita – Rita sibuk dengan sepatu hak tingginya, perempuan memang aneh, mereka mengeluh tapi masih memakainya juga – sudah sampai di pastori lebih dulu. Kami bertiga juga bersama Argo, Jimbun, Mbak Tyas dan mungkin gebetannya.  Yang lain terlalu cemen, dengan hujan saja mereka khawatir. Kami sempat berbicara beberapa hal, dan itu menyenangkan.

WONOSOBO – JAM 1 SIANG
Maka tim kami lengkap sudah. Kami berkumpul di ruang rapat di Pastori si Bintang Korea. Abi yang tadi akhirnya mau aku ajak melihat ikan lagi-lagi menolakku. Aku menyuapinya, dan dia menolak dengan sangat sukses. Anak Sammy masih kecil dan suka meludahkan makanan yang dimakannya. Aku rasa dia akan menjadi pendeta suatu saat nanti.
Setelah pembicaraan super tidak penting tapi menyenangkan di antara kami, sesi pemotretan yang sama tidak pentingnya tapi juga menyenangkan, kami  mulai saling berbicara cukup serius, beberapa tentang gereja, tentang pengelolaan administrasi, sampai hal-hal yang lebih dalam lagi. Hidup. Akhirnya entah datang dari mana, mungkin Si Pangeran Kegelapan atau Si Bintang Korea, muncul ide untuk berbagi tulisan, wacana. Akhirnya angkatan ini menunjukkan tajinya. Kami membuat kesepakatan, dan aku berjanji – setidaknya pada diriku sendiri – akan mengawal kesepakatan itu sebagai algojo jika sampai kemalasan datang, kami dalam waktu tiga minggu ini akan membuat masing-masing sebuah essay yang kami kumpulkan bersama, dengan gaya penulisan masing-masing, tema pertama kali ini adalah tentang kepemimpinan. Luasannya seluas mungkin. Dan ini akan berlanjut.
Dan ketika masing-masing mulai bersiap pulang, saat itulah saat paling menyedihkan, sekaligus syahdu. Ada sesuatu yang dicerabut dengan paksa. Kami punya batas, batas itu bernama waktu. Dan waktu sepertinya tidak pernah bisa didamaikan dengan apa pun. Kali itu kami yang bertarung dengan waktu. Dan waktu sepertinya selalu memenangkan pertandingan.
Tapi sebelum pulang ada sebuah ritual indah yang terjadi di tengah ruang makan itu. Sebuah ritual yang menunjukkan bahwa sebejat-bejatnya kami, spiritualitas itu masih memiliki ruang di dalam hati kami. Sebuah pujian dilantunkan, Avi bermain gitar. Kami menyanyikan Terima kasih Tuhan mengantari doa yang dibawakan oelh Agus dan Bopha, kedua anggota tertua angkatan kami. Eh bukankah ada Mas Kris Si Bocah Tua Nakal, sayang sekali Mas Pot Bunga di Tengah-tengah itu tidak datang.
Dan perpisahan itu pun terjadi. Aku kembali ke Jogja bersama mobil carry yang dikendari Avi. Rita berpesan “Berdoalah sepanjang jalan supaya kita selamat!”
Ada yang  menungguku di Jogja, dan itu seperti membuatku lagi-lagi kalah oleh waktu. Dan satu lagi, aku memenangkan pertangdingan melawan dugaanku bahwa perjalanan ini tidak akan sangat istimewa, sejauh ini perjalanan ini sempurna.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment