SECANG – HARI 1
Belum jam 11 malam. Aku menduga tempat ini memang biasa sepi. Sebuah pos polisi di pertigaan. Beberapa toko yang sudah tutup di belakang dan depanku. Hanya ada sebuah toko. Di deretan depanku hanya sebuah toko yang buka. Di etalase depannya dipajang berbagai macam roti, minuman dingin, rokok. Aku tidak membayangkan membeli minuman dingin di tengah udara sedingin ini. Yang menonjol dari toko itu adalah sebuah tulisan hitam kasar di sebuah kertas manila yang dipasang sekenanya: Di sini menjual minyak kemiri, mencegah kerontokan dan melebatkan rambut (aku tak ingat persis, tapi kira-kira seperti itu). Mungkin aku harus mencoba.
Pesan pak supir tadi sebelum meninggalkanku: Tunggu saja di sini, Mas! Nanti ambil yang arah ke sana, Wonosobo langsung ada. Maka aku menunggu. Dan sendirian. Aku mendengarkan lagi Michael Ball. Ada yang romantis ketika malam yang dingin kamu duduk di sebuah kota mati dengan hanya beberapa rumah terbuka itu pun dengan enggan dan malas, udara dingin, cardigan tipis, sebuah buku, beberapa truk raksasa lalu saja tanpa menoleh, dan suara tenor yang nyaris sempurna. Sebuah romantis yang mengatakan dengan tegas, “Bahkan jika hari ini pun, aku tidak keberatan!”
Hei, bukankah besok Valentine? Aku tertawa saja. Aku sudah lupa kemarahanku tadi sore. Di tempat ini semua menjelma tenang. Dan tenang adalah sorga tanpa rasa angkuh apalagi marah.
Seorang ojek muda mendekatiku, aku menjawab tidak, namun dia berkeras. Enteng saja kukatakan aku hendak ke Wonosobo. Dan dia tetap berkeras mengantar. “Dekat kok hanya 50 kilo!” Dan menyebut angka 100 ribu. Tentu saja tidak. Bergantian sebuah Avanza berhenti tepat di depanku, ini jelas agak menggangguku, dia akan menutupi bis yang lewat di depanku. Tapi jujur, rasa tidak peduliku lebih besar. Rasa tenang ini menyihir.
Sms malam itu, Mbak Ari, dia bertanya apakah aku di Jogja. Aku menjawab aku menuju Wonosobo. Dan dia memintaku mampir ketika pulang besok.
Seorang pria mungkin paruhan empat puluhan duduk di sebelahku, dia menyalakan rokoknya dan menawarkan kepadaku. Aku menunjukkan rokokku sendiri. Rambutnya belahan tengah, seperti gaya rambut bintang film China tahun 2001an, kalau tidak salah Andy Lau yang dulu membuatnya tren, tapi aku tidak terlalu ingat. Atau mungkin personil F4 itu. Aku seketika ingat teman-teman SMAku, Mario, Andri, dan Hanny, mereka berpotongan serupa itu. Billy juga (tapi aku ingat terakhir kali melihat Billy di FBnya dia sudah serupa Yesus dengan rambut gondrongnya, ketika kamulaki-laki dan gondrong, rambutmu tak pernah lurus murus lagi, selalu berminyak dan mengelinting, Billy yang bergitar dan menyanyi dengan suara fals). Pria itu, yang duduk di sebelahku, yang memutus kenikmatanku menikmati romantisme sorga malam itu, duduk seperti menunggu. Oh ya aku bersama Lalita waktu itu, dia memaksaku menutup Lalita. Wajahnya tirus, tulang tengkoraknya bagus dan menilas dalam kulitnya yang tipis, sebuah kumis tipis seperti hendak menegaskan dia sudah berumur dan dewasa. Dia berkemeja, agak aneh seseorang berkemeja di trotoar sesepi ini, dan rapi. Rokoknya Mild.
Dia berbicara kepadaku ketika segerombolan anak muda berjalan di depan kami menuju Alfamart atau Indomaret di sisi jalan sebelah sana itu. Ada ATM BCA, mungkin aku harus mengambil beberapa ratus ribu berjaga-jaga, tidak perlu. Dan aku akhirnya tahu dia yang mengendarai Avanza itu. Tawanya hangat, baiklah, itu mengembalikanku ke rasa sorgaku. Dan dia bercerita tentang bis yang lewat jam 10 tadi. Artinya aku sudah terlambat. Mungkin ada bis lagi, tapi untuk semalam ini, aku harus menunggu sampai lewat tengah malam. Dan ini belum lewat tengah malam. Maka aku segera tahu, dia menawarkan tumpangan. Dia menawarkan 150 ribu untukku sendiri. Aku tertawa, andai ada satu orang lagi aku akan berkata iya, dan dia mengerti. Kami berbicara hangat mengenai Wonosobo. Dia bercerita tentang hujan dan cuaca. Selalu seperti itu. Hingga dia menurunkan harga menjadi 100 ribu, aku sebenarnya OK saja dnegan harga itu, tapi itu akan menyakiti jiwa petualanganku malam itu. Aku tidak membayangkan bahwa aku akan sampai di Wonosobo diantar sebuah mobil dan turun di sana, lalu ditinggalkan. Rasanya seperti anak orang kaya, aku tidak suka membayangkannya. Dia mengajakku berbicara lain-lain lagi tentang Jogja. Sampai dia menyerah dan akhirnya pergi dengan Avanzanya.
Aku kembali kepada Lalita, dan kencing di gang sempit di sebelahku. Gang itu tidak pesing. Maka aku pasti sudah melakukan sebuah dosa dengan mengencinginya. Tak ada tanda-tanda bis. Lalita dan Michael Ball membuatku tak meninggalkan kenikmatanku walaupun udara mendadak mendingin.
Sopan sekali dua anak muda yang lewat di depanku, mereka mengangguk sambil mengatakan, “Mas!” aku menjawab “Mari!” Tidak ada seorang perempuan pun di malam sebuta ini. Hanya sebuah lampu jalan keemasan.
SECANG – WONOSOBO
Jam 2 dini hari. Tepat jam 2 dini hari. Bis itu lewat. Sepi, seperti bis siluman. Tak ada yang hidup di dalam bis itu, mereka bergeming saja ketika aku masuk. Hanya supir dan kernet yang tampak masih bergairah di kegelapan bis itu. Aku duduk di bangku kedua, kosong. Dan persis di bawah lampu, aku mungkin bisa membaca sedikit. Tapi ketika bis itu berjalan, lampu neon itu mati dan digantikan lampu kuning keemasan. Banyak sekali warna keemasan dalam perjalanan ini.
Sopir muda dalam sweater putih lusuh. Sebatang rokok mungil menyempil di antara jari tengah dan telunjuk kanannya. Di sebelahnya seorang pria yang pantas menjadi bapaknya, bertopi hitam dan berpakaian garis-garis hijau hitam, aku bisa melihatnya jelas walau di tengah remang. Mereka berdua berbicara, sesekali tertawa. Membicarakan perempuan, seperti hanya obrolan ringan. Aku memangku Lalita. Tiga orang di sebelahku lelap. Di sudut sendiri seorang gadis muda ayu, rambutnya lurus panjang, aku tak tahu persis seberapa panjang, tapi lebih panjang dari bahunya, kulitnya putih, jaketnya merah, wajahnya desa. Dia tidur saja seperti dua orang di sebelahnya. Dua buah tas besar dan beberapa kardus yang dibebat dengan rafia bertumpuk di depan mereka, botol-botol Aqua tanggung menyeruak dari saku-saku kecil tas itu. Beberapa botol, mungkin empat, atau lima. Terasa ganjil.
Sebuah tasbih besar menggantung di belakang kaca depan bis ini. Biji-bijinya seperti mata, sebesar buah luh. Atau langsep besar. Beberapa coklat tua dan beberapa lebih muda, warnanya tak rata. Tasbih itu menari seiring geronjal dan belokan jalan. Tasbih itu menyihirku. Aku mengantuk beberapa jenak kemudian.
Aku dibangunkan oleh hawa dingin yang menusuk-nusuk. Cardiganku tidak berhasil bertarung dengan dingin itu. Aku menatap sekitar mencoba mencari petunjuk, mungkin papan nama toko atau sebuah BRI untuk menjelaskan posisiku. Kali itu aku sama sekali enggan kebablasan. Tapi hanya pegunungan sepi dan berkelok-kelok di depan. Lampu depan bis itu tak terlalu terang. Supir ini separuh gila, di jalan serupa itu dia mengebut. Tidak sekadar cepat, tapi sangat ngebut. Dan wajahnya dingin dan tidak tegang. Aku membayangkan seorang psikopat yang mengiris tipis-tipis para korbannya, dagingnya diseset setipis salmon di sushi. Dan dia melakukannya tanpa berair muka. Aku merinding, tiba-tiba menjadi takut mati. Aku mencoba memejamkan mata menghindari rasa takutku sendiri. Tidak berhasil. Hingga sejenak saja, jajaran rumah-rumah sepi serupa kosong terparkir di kanan kiri jalan. Jalan berubah menanjak. Sebuah Indomaret. Dan remang gelap berubah menjadi terang. Wonosobo.
WONOSOBO – JAM 3
Perjalanan bisku jelas tak memakan waktu hingga satu jam. Dan itu kegilaan lain. Aku sempat mengontak Agus sebelumnya, aku tak akan merepotkannya. Aku ingat ketika aku akan tahbisan, rumahku penuh sesak dengan orang, keluarga dan mereka yang seperti keluarga. Aku akan mencari penginapan di sekitar sini dan besok berangkat ke gereja jam delapan pagi. Aku ingin menuntaskan Lalita malam itu.
Sudah lebih dari tujuh penginapan, tak ada yang buka. Bukankah seharusnya hotel buka jam-jam sekian. Bahkan buka tanpa kenal jam. Ini kota dingin yang bersih. Aku senang berjalan di sebuah kota yang bersih di pagi buta, mengingatkanku pertama kali ke Salatiga. Tapi aku kesal dengan kota yang tak membuka diri hingga subuh.
Kakiku sudah hampir mencapai ambang ketika kutemukan Indomaret. Aku membeli sekotak kecil susu dan meminumnya seketika itu, dingin yang segar, mengambil lagi sebuah Aqua dan dua jenis panganan. Aku bertanya kepada kasirnya di mana penginapan buka. Dia menyarankanku mendodok saja. Seorang pria berambut panjang berkuncir dengan jenggot di bawah bibirnya yang tak tercukur cukup rapi berdiri di sebelahku, seperti hendak menukar sesuatu. Dia begitu enteng menawarkan menumpangkanku di rumahnya. Aku mencoba menolak dengan halus, tapi rasanya tak terlalu halus. Aku melihat dia sedikit kecewa. Dia mengiming-imingiku nonton bola bersamanya, tawaran yang kalau dia mengenalku pasti memang tidak akan kuterima. Dia memandangku, aku berusaha tersenyum tanpa rasa bersalah, tapi aku rasa aku gagal menunjukkan ketidakbersalahanku. Tatapan matanya sudah menghukumku. Tapi aku butuh tempat membaca dan berbaring bukan tempat berteriak-teriak bersama orang asing. Aku butuh privasi.
Ternyata aku bukan benar-benar petualang sejati, mungkin begitu.
WONOSOBO – JAM SETENGAH 4
Mobil carry itu berhenti di sebelahku. Pengemudinya menyapakan namaku. Aku mengenal suara itu, suara dari tahun-tahun yang sudah cukup lalu. Argo. Ayo langsung ke Mas Agus, katanya. Akhirnya aku akan menyesaki rumahnya. Tidak sesuai rencana, tapi aku tak keberatan. Aku berkenalan dengan pemuda di sebalahnya, Bayu namanya.
Aku senang? Mungkin iya. Tapi entah mengapa aku merasa perjalanan ini tak akan terlalu istimewa.
No comments:
Post a Comment