RABU ABU – BUKAN – SELASA ABU
Gereja itu remang, enam buah lampu dinding berwarna kuning menyala bersama sebuah lampu gantung dan dua buah lampu sorot yang menyimpan masing-masing tiga buah dop 40 wattan. Tidak sia-sia ruang itu diremangkan, karena suasana malam itu seketika menjadi sunyi. Sunyi yang seperti tak dibuat-buat. Sunyi yang tenang dan tidak dipaksakan. Hanya beberapa suara batuk menyeringai di tengah keremangan sore itu.
Sebuah video penciptaan diputar bersama iringan sebuah lagu riang dalam tempo yang terlalu lambat. Lagu itu kehilangan riangnya. Sebuah khotbah yang singkat dan masuklah kami pada suatu saat ketika musik lembut diputar dan satu persatu maju dan mengoleskan abu itu di dahi mereka. Tidak ada daun palem untuk dibakar, maka kertas bakar pun cukup menjadi lantaran. Mereka tidak diolesi, mereka mengoleskan sendiri. Sebuah kesediaan yang tidak dipaksakan, sebuah keinginan untuk hadir secara pribadi. Mereka berdoa di depan cermin dan mengolesi dahi mereka dengan abu yang diwadahi dalam sebuah mangkuk beling bening. Beberapa mengoleskan dengan cepat, beberapa lambat, beberapa menangis, beberapa tidak duduk – karena kaki yang sulit ditekuk karena osteoporosis, beberapa berlutut, beberapa lagi menangis, beberapa bernyanyi, beberapa menangis.
Kompromi yang diberikan bukan sebuahkebetulan. Bukan pula negosiasi alot, semuanya cinta. Dan cinta bahkan bisa mengubah sebuah aturan menjadi peristiwa manis, di tengah beberapa orang yang terbaring di rumah sakit. Aku ingat pemuda itu, dia melihatku dan mimisan. Dan dia mencoba tersenyum di tengah beberapa darah yang menetes dari hidungnya. Dan kami menjadi lebih dekat dari sebelumnya.
Setelah semuanya selesai, aku bahkan tak segera beranjak berangkat. Menunggu jam dinding menunjukkan angka yang terlalu larut. Semuanya terjadi di hari Selasa menjelang Rabu, bukan pada hari Rabu seperti biasanya.
KERTOSONO
Hujan tidak merintik. Jalanan gemerlapan dan terlalu ribut untuk selarut ini. Aku memacu sepeda motorku menuju tempat yang disarankan oleh seorang pria di sebelah selatan kantor polisi (menurutku itu di sebelah timurnya), “Di belakang Pos Polisi, Mas! Di warung pertama! Di sana dua puluh empat jam.” Aku mencari tapi tak melihat sebuah plang penitipan motor satu pun. Maka aku pun mendekatkan motorku ke seorang tukang becak yang masih bergairah semalam itu. Tangannya menunjuk ke balik bus yang sedang ngetem. Aku melihat arah itu dan berterimakasih. Dua orang waria berboncengan dengan motor. Yang depan melihatku, lalu menatapku dengan lekat sampai mengatakan “Mas!” dengan gaya merajuk dan melemparkan ciumannya di udara. Mereka lewat dan aku tersenyum sesudahnya. Kutemukan tempat itu! Penitipan motor dua puluh empat jam. Nomorku 41.
SOLO – PRAMEKS
Jam lima pagi. Dan mereka menurunkan penumpangnya di Solo, mereka tak melanjutkan ke Jogja. Aku tidak tahu arah. Tirtonadi sudah tidak seperti yang kudatangi terakhir kali. Aku memilih untuk mengunjungi toilet umum, aku mengunci pintunya, bukan untuk kencing atau buang air besar, tapi sekadar untuk menghilangkan kebingunganku sementara waktu, “Petualangan! Petualangan!” Aku merokok sebatang sebelum melanjutkan, “Oke Prameks!”
Stasiun sepi. Dan jam menunjukkan pukul 05.25. Dua orang berlarian ke loket. Di sebelah kanan loket itu terpasang sebuah tulisan “Prameks 05.30” Tinggal lima menit lagi. Aku membeli satu tiket, tak ingat betul berapa harganya. Dan berlari mengikuti kedua orang itu.
Apakah benar berada di dekat orang yang panik akan menularkan paniknya kepadamu? Untukku iya. Di atas kereta aku sempat membaca beberapa lembar Lalita, hingga pemuda itu naik di stasiun berikutnya. Dia tak bisa tenang, melihat terus ke jendela lalu jam tangannya, lalu handphonenya. Dia seperti tak hapal betul jalur Prameks dan hendak meyakinkan dirinya bahwa dia tidak akan turun di stasiun yang salah. Setidaknya demikian aku membaca kegelisahannya. Dan apa yang terjadi aku tidak hanya membaca ketegangannya, aku pun ikut tegang, Lalita tak terbaca, aku jadi ikut ribut memperhatikan keluar. Jangan-jangan aku nanti salah stasiun, temanku sudah menunggu di sana. Sial!
JOGJA – HARI I (PAGI)
Demikianlah Kosa tidak menjemputku di stasiun, aku akhirnya berjalan sampai ke bawah jembatan layang. Aku menerima SMS dari Jay, “Kosa salah jemput, dia ke Janti” Baiklah artinya aku harus menunggu lebih lama. Ketika Kosa datang dengan kaus merah ketatnya, penantianku terbayar, juga dengan gudeg pagi itu. Dan aku memakan singkong berbumbu gudeg yang paling aneh sedunia, mereka berdua memakannya dengan lahap seolah-olah itu makanan enak. Aku tidak tahu di mana enak itu terselip di makanan itu, aku bahkan tidak yakin bahwa itu makanan.
“Gak semua orang suka memang! Apalagi kalau masih baru!” Jay menjelaskan, tapi tak cukup jelas untuk lidahku. Kost Jay masih berasa seperti kosntya yang lama – tempat singgah para proletar terlantar.
JOGJA – HARI I (SELEPAS RAMINTEN DAN ESTER)
Kezia membagikan semua buku bagus yang dimilikinya. Apakah aku nyaman? Aku merasa aneh diberi sesuatu. Aku selama ini terbiasa memberi, sehingga diberi seperti menurunkan derajat sesuatu dalam diriku. Tapi dia begitu bersemangat memberi. Kuterima semuanya – dengan senang hati. Dua buah novel Bre Redana, Sebuah Novel Ayu Utami, dua buah fotokopi kumpulan puisi Romo Pius, dan sebuah novel Tarian Bumi. Juga tiga buah keeping DVD,salah satunya sudah kucari sejak lama.
Kami tiduran di kostnya sambil membagikan cerita-cerita absurd kami. Dan hujan yang mulai deras serta waktu yang cukup akhirnya mengantarkan kami kembali ke kos Jay. Kami akan menunggu tiga orang teman yang sudah kunantikan sebelum keberangkatanku. Tiga orang Olifant.
Kezhia sempat bertanya di Raminten siang itu, “Aku selalu bertanya mengapa orang yang dalam, seperti Mbak Ini, Itu, dan kamu, terlalu sulit menemukan orang untuk dikasihi?” Akut ak tahu jawabannya sampai menjelang kepulanganku dari Jogja nanti.
TERMINAL JOMBOR – HARI I
Aku marah kepada mereka bertiga, ketika mereka menajamkan pandangan mengasihani. Aku Enggan dikasihani. Pancung aku itu lebih baik!
Tidak usah mengantarkan aku ke mana-mana. Aku akan pergi sendiri, aku akan membeli pulsa, menelpon taksi, sampai di terminal Jombor, ke Semarang dan lalu melanjutkan ke Wonosobo, aku punya waktu lebih dari delapan jam, artinya aku punya waktu lebih dari cukup. Dan aku akan tersenyum karena ini petualangan, dan dalam petualangan tidak ada rasa kasihan, adanya adalah tantangan. Rasa kasihan hanya melembekkan semuanya. Seperti bubur yang kebanyakan air, hingga dimakan saja menjijikkan. Aku tidak suka tatapan mata mengasihani, itu merendahkan. Tidak bertemu dengan tiga orang Olifant itu memang menyakitkan, tapiitu tidak akan menjadi cukup alasan untuk mengasihaniku. Titik. Cukup!
Taksi mengantarku dari Bethesda ke Jombor, aku emoh berbicara dengan si tukang taksi. Aku sedang mencoba mendinginkan hatiku. Akhirnya aku mengambil handphone dan memasang headset. Kuputar beberapa nomor Les Miserables. Aku berharap bahwa perjalanan ini tidak akan menjadi Les Miserables untukku. Hari ini tak seperti yang diinginkan, tepatnya separuh hari ini sama sekali tak diharapkan.
Jombor malam itu kuburan. Tak ada yang tertinggal selain beberapa pria yang duduk-duduk di bawah salah satu shelter yang lebih gelap dari kulit mereka yang terbakar matahari. Sebuah tangan menepukku dan menawarkan aku, “Magelang, Mas!” Aku tersenyum, tak semuanya buruk hari ini. Aku berjalan menuju arah yang ditunjukkannya. Dan lagi-lagi aku kecewa.
Bukan sebuah bus, hanya sebuah mobil carry abu-abu dengan seorang bertampang seperti stereotip teroris di dalamnya. Seorang pria tiga puluhan tahun. Jenggotnya panjang, kulitnya putih, dan kaca mata melekat di matanya. Jaketnya tebal, cardigan biruku jelas tak ada sepertiga tebal jaketnya.
Tapi pria teroris itu tersenyum dan berbicara kepadaku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang Guru TIK di Magelang. Aku percaya. Dan pembicaraan hangat tiba-tiba meluncur dari mulut kami. Dia bukan teroris!
Kami bercerita tentang sistem pendidikan dan kurikulum 2013 yang belum sepenuhnya jelas itu. Dia sempat mengeluhkan bahwa mata pelajaran yang diampunya akan dihilangkan. Dan dia bahkan tidak tahu seperti apa nasibnya kemudian. Rasa sedih tiba-tiba terbit di benakku. Memandangnya yang tetap tersenyum memandang besok yang belum tentu sejelas hari ini. Dia yang tidak tahu nasibnya beberapa bulan lagi ketika sistem baru itu diberlakukan. Aku berubah dari awas menjadi kasih. Aku semakin menyimpan miris itu ketika dia justru menceritakan semuanya dengan tersenyum. Seolah dia mengatakan, “Besok saya mati, saya ingin bahagia sekarang, sebentar saja tidak masalah!”
Carry kami melaju. Pak sopir menawarkan aku membayar 70 ribu sampai di Secang, di mana aku akan bisa langsung dapat bis ke Wonosobo, dan pria ini membayar 30 ribu sampai sebuah jurusan, yang kudengar, “Turun di Casio, Pak!”
Terminal itu membekaskan sebuah kenangan, perjumpaan dengan seorang teman yang tak akan kujumpai lagi, Mas Wawan sang Guru TIK.
PERJALANAN JOMBOR – SECANG
Lampu jalan yang keemasan. Empty Chairs at Empty Table dinyanyikan Michael Ball berulang-ulang. Jalanan yang rusak di sisi sebelah kiri – yang kami lewati. Rasanya seperti penderitaan yang terlampau indah.
“Truk-truk itu mengangkut pasir, Mas! Setiap malam!” Pak sopir menjelaskan perihal rusaknya jalan itu.
No comments:
Post a Comment