Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Tua

| No comment
Mereka berdua berdiri bersebelahan, persis seperti dua tahun lalu. Keduanya berkaus putih tanpa kerah, hanya gambarnya yang berbeda. Masih seperti dua tahun lalu. Keduanya masih indah, lengkap dengan senyuman yang masih sama. Demikian juga ketika sang pria mendekap sang perempuan. Tidak ada yang berubah. Sang pria mengenakan celana Madura hitam, beberapa sudah belang kecoklatan, luntur oleh detergen. Sang perempuan dalam tahun yang demikian, mengenakan jarik parang warna Solo. Rambutnya diurai saja seperti kering habis keramas. 

Yang berbeda adalah mata mereka. Mata mereka sendu, tapi tidak terlalu. Semakin dewasa mereka semakin tahu bahwa hidup berjalan tidak berlebihan. Mereka tidak perlu berhati-hati atau menahan diri. Mereka tahu saja. Mereka tidak lagi berlompat jumpalitan seperti ketika masih kekanak. Masa-masa setelah remaja, hidup tak lagi hingar. Tapi mereka tahu bahwa keceriaan itu tak pernah pudar. "Selama kita memilihnya" ujar sang perempuan. Dan sang pria akan mengiyakan. Demikian pula hukumnya dengan sakit, mereka bertemu dengan rangkaian sesak, beberapa menyisakan puing. Tapi mereka berdua akan menemukan cara menyusun puingan itu menjadi tetiangan. Tidak meremah, rekah, dan tersapu kelabu. "Kita berdua!" kali ini sang pria yang menyertakan kalimat pelengkap, dan sang perempuan tidak akan menatapnya terpesona. Namun pun demikin, mereka merasakan yang sama. 

"Akan badai! Lihat pasir sudah memusar." Ujar sang pria memapah sang perempuan. "Kamu takut?" Tanyanya. "Tidak lagi!" Sang pria tersenyum. Diam-diam dia masih menyimpan ketakutan pada angin. Tapi wajah teduh perempuan itu menenangkannya. "Aku tidak ke mana-mana." Sang perempuan menegaskan. "Aku tahu!" Jawab sang pria. 

Halaman mereka pasir dan tanah kering yang ditumbuhi koro laut dan kelor wana. Ketika musim kering, dedaunan kelor wana itu akan luruh dan terbit bebungaan merah jambu seperti pipi gadis yang malu-malu. Bunganya berumpun-rumpun serupa sakura. Ketika musim kering, angin akan menyerbu dan membawa bilangan-bilangan pasir itu menerpa muka, mata, dan dinding rumah mereka. Kadang mengubur. Jalan-jalan di sana tak pernah sama selalu berpindah-pindah, ke mana kaki melangkah, di sanalah mereka menyemat jalan. Kadang jalan itu menapak jelas tukas di sebelah bebunggan kelor laut yang merindang, kadang menyurut dan mengisut serupa kabut menjelang mentari menyapa embun-embun yang menyemut pada rerumput. 

Sang perempuan duduk di kursinya merapikan jariknya, setelah betul dia melanjutkan menatap angin di balik jendela dengan percaya. Sang pria pun terbawa. Kini mereka mampu menatap angin dengan yakin. Angin tak lagi kasat, namun tampak padat seperti serat-serat cahaya. Semuanya tidak terjadi begitu saja. Hal itu terjadi ketika anak pertama mereka menyiut bersama angin. Setelah genap sembilan bulan dan waktunya bagi sang perempuan untuk melahirkan, tak selayak perempuan lain yang melahirkan bayi-bayi yang lucu, dan bertahan lucu hingga tahun-tahun belasan, perempuan itu melahirkan cahaya. Ketika itu badai pasir sedang memusing di puncak atap rumah sakit. Dan ketika cahaya itu terlahir, mereka berdua bersama suster dan bidan yang membantu mereka melahirkan, melihat cahaya itu mengambang perlahan. Sang perempuan terisak bahagia olehnya. Nabi, anak ini akan menjadi nabi, demikian pikirnya. Dan isak bahagianya menjelma senyum yang kita tahu akan bertahan selamanya. 

"Ibu rela?" Tanya sang dokter. Dan perempuan itu mengangguk. Ini bukan kepasrahan karena sakit, ini kepasrahan karena cinta. Demikianlah angin di bubungan atap itu mendekap cahaya terang bayi itu dan menyatukan sang terang dengan dirinya. Perempuan itu membisikkan lembut kepada sang dokter. "Banyak orang mencintai hujan, banyak orang mencintai matahari, tapi tidak dengan angin." Dokter itu mendengarkan dengan seksama, khawatir akan tertinggal kalimat-kalimat sang perempuan. "Anakku, sang cahaya itu, akan membuat orang mencintai angin. Angin tak akan lagi dibenci. Angin tidak akan lagi menakutkan. Karena ada cahaya di dalamnya." 

"Tidak khawatir?"

"Mana ada ibu yang tidak khawatir dengan anaknya? Semua ibu mengkhawatirkan anaknya, Dokter. Tapi tidak usah berlebihan. Kita sudah cukup tua untuk berlebih-lebihan khawatir lagi." Perempuan itu mengelus perutnya. Rasa sakit itu masih ada, tapi kepasrahan itu membuat sakitnya tidak terasa. "Kadang kita tidak memilih, karena hidup memilihkan untuk kita sendiri. Tentu untuk Dokter yang demikian agak tidak masuk akal. Karena jalan seorang ibu tidak lagi akal. Ibu memilih kalbu."

"Saya juga seorang ibu."

"Jadi Dokter pasti mengerti." Dan dokter itu pun mengangguk.

Mereka berdua, sang pria dan perempuan itu, persis seperti pasangan pengantin, dua tahun yang lalu. Sang pria akan menuntun sang perempuan, dan sang perempuan akan turut ke mana suaminya membawa. Dulu waktu masih muda sang perempuan mati-matian berjuang untuk hak perempuan, sekarang pun masih demikian. Tapi yang berbeda, keberadaan suaminya membuatnya seimbang. Suaminya bukan pria kurang ajar yang kawin mengawin seperti anjing kudisan atau remaja yang baru tahu gaya bercinta. Sejak semula ketika mereka saling mengatakan cinta, mereka tahu bahwa ini bukan perihal menang kalah. Pernihakan membuat mereka lebur dan satu. Kuno, seperti kata banyak orang, "Kau adalah aku, aku adalah kau!" Demikian janji mereka di depan pendeta pada dua tahun lalu itu. Perempuan itu memilih pada akhirnya, dan dia memilih menjadi seorang istri, serupa itu, sang pria memilih menjadi suami. 

"Lihat anak kita!" Teriak sang suami ketika melihat kilauan terang yang menyilaukan mata di balik angin yang tak hendak surut. Sang istri beranjak dari kursinya dan menatap angin yang bergulung dan berkilauan. Warnanya serupa benderang laut ketika matahari menyulanya dengan berkas-berkas cahayanya. "Dia akan menjadi nabi." Sang istri menggenggam linggiran jendela. Sang suami menatap dari atas rambut istrinya, rambutnya masih harum, selalu begitu sejak mereka berjumpa dan jatuh hati pertama kali.

"Kau masih takut?" Tanya sang istri perlahan. Sang suami menggeleng, kali ini dia bersungguh-sungguh meyakinkan dirinya. Dan sang istri yang merasakannya segera menyimpan senyuman dalan genggaman tangannya di linggiran jendela. Sang pria menerbitkan kalimat-kalimatnya serupa raga puisi, "Dunia berputar, memusar. Selayak angin. Menyusup hujan dan mentari. Demikian pula hidup. Ketika usia ini bertambah, kita semakin berani. Kita tahu, perubahan ini tidak sedang ke mana-mana, selain mendukung tatanan agung semesta. Dan hidup, demikianlah, adalah upaya mendukung berjalan sama. Seperti aku dan kamu." Kali ini barulah sang istri menatap sang suami. Mata mereka bertemu. Sang suami  melanjutkan ucapannya, "Mengapa orang takut kehilangan, jika sag agung menata? Bagi orang percaya, toh tidak ada kebetulan."

Perempuan itu kembali menatap angin, "Angin sekalipun gegas, tak pernah tergesa. Dia hanya melakukan panggilannya. Mengisi dan mengosongi tekanan di udara. Meneduhkan panas, meriuhkan senyap. Dan kita percaya pada akhirnya, sekalipun bukan pada masa kita, semuanya akan baik-baik saja. Ah! Kadang orang hanya tak mampu bersabar lebih lama menanti yang baik-baik saja. Seolah mereka mengusahakan sendiri semuanya."

"Dan baik-baik saja adalah baik." Tambah sang suami melihat pasir-pasir yang memercik dalam desiran sepanjang angin membawanya. Ada ngilu yang nikmat mendengar suaranya. Ada girang riang yang tak kentara, lamat-lamat melaten bersama gundukan-gundukan baru yang tersusun di sepanjang deretan kelor wana yang mulai berbunga lebat. Sore turun perlahan. Dan sang istri meminta suaminya memapahnya ke kursi lagi.

"Suami, semakin tua, kita tidak semakin bijaksana. Kita hanya semakin percaya."

"Iya!"

Dan angin berpendar terang anak mereka itu melingkar-lingar menggambar jalan baru di tanah pasir. 
Tags : ,

No comments:

Post a Comment