Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Tentang Para Perempuan Itu (2)

| No comment
Setyowati
Wati adalah kuda.
Maka seketika dia kuda sembrani, terbang melintas langit dan mengikik samudera. Punggungnya besi, keras dilapis platina, lelah tak pernah menyergapnya, jika sesekali berderit-derit dia cukup mengolesinya minyak biji zaitun, tidak perlu yang mahal, karena Wati pintar memijat. Sayapnya awan kinton, tanduknya api gona. Kita mendengar kelebasnya dan seketika tahu bahwa dia yang menyelusup di balik barisan kumulus. Dan hujan pun sejenak itu pula berbanjar menyisih, melarung ke pesisir. Tubuhnya berlapis terang. Bukankah kita mendengar bahwa Wati meninggalkan abad pertengahan demi iluminasi pencerahan, tidak berhenti di sana karena dia mereguk romansa Barok dan menyelusuri posmodern. Maka Wati adalah terang itu sendiri.
Maka ketika terjun ke bumi Wati adalah Kuda Kori. Wati tidak liar hanya bengal. Dan siapa yang menyalahkan bengal? Di Jawa bengal dikenal dengan istilah ndablek, dan ndablek itu berbeda dengan nakal. Jika kamu nakal itu berarti kamu ingin semua yang di depanmu menjadi milikmu apa pun caranya, jika kamu ndablek kamu menginginkan sesuatu di depanmu apa pun caranya. Dan kau segera tahu bahwa Wati tidak meminta banyak hal.
Tapi sebagai Kuda Kori, Wati tidak beringas seperti kuda Mongol. Wati hanya ingin menunjukkan dirinya, toh dia memang cukup mampu, namun hanya karena bahasa yang tak sama, kamu dengan cepat menganggap Wati keliru. Wati tidak begitu. Wati memakai bahasa hati, kamu sebenarnya sama, namun sejak mitos cogito ergo sum bahsa itu memangtak cukup laku. Wati hanya mencoba jujur, apa adanya. Dia adalah Kuda Kori, ingat!
Maka dua saat kemudian kita melihat Wati terdiam dan terpekuk pekur, ketika itu Wati kuda poni. Lusuh dan lelah menggendong kuk di lehernya. Demi kamu, ini menjadi kisah-kisah yang haru. Tentang kisah pembuangan di sepanjang Asiria. Wati di sana. Kuda Wati menjulurkan lehernya namun yang ditemukannya hanya sekam yang menggunung. Kenangan-kenangan buruk bersama manusia yang menenggelamkannya dalam tangis. Teman-teman yang mengejek pakaiannya yang sederhana, yang mengejek potongan rambut dan gaya berjalannya. Wati hanya kuda poni yang yang salah tempat dan waktu, dan dia sadar akan hal itu. Sekalipun kuda poni, Wati masih kuda poni yang akan selalu menantangkan wajahnya ke depan, sekalipun peluh mengepuh dan air mata membanjir.
Dan benar kalau kau mengatakan Wati adalah kuda laut. Karena memang Wati tidak akan tinggal diam dalam waktu yang lambat. Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar, Wati bersetia, namun tidak berarti dia akan menunggu di jendela itu sepanjang masa. Jika dia melesat, itu takdirnya. Kalau dulu kamu mengekang kakinya, kini Wati berevolusi, dia menumpulkan kakinya sehingga kamu tak bisa lagi menangkapnya.
Wati memang bertubuh gempal seperti Percheron, tapi sebenarnya Wati adalah Thoroughbred. Dia Thoroughbred bersio kuda. Mengisi dayanya setiap dua belas tahun. Dia cerdas, mandiri, dan berjiwa merdeka. Memang sejatinya dia bukan kelas raksasa, tapi lihat saja ketika dia menjelmakan dirinya di ruang suwungnya, kamu akan tahu bahwa Wati sejatinya tahu lebih banyak darimu, hai Chydesdales.
Karena itu jangan sekadar melihat Wati dari yang tampak, karena Wati adalah kuda Troya. Dia menyimpan lebih dari yang mampu kamu mengerti darinya. Dia menyimpan jutaan manusia dalam dirinya, manusia dalam wajah-wajah yang beragam, tak seragam. Sebagian menangis, sebagian lagi tertawa, sebagian lagi mengigau, sebagian menantang, sebagian lesah, sebagian mengoda, sebagian lainnya tak kau tahu dengan bahasamu. Wati akan senantiasa berrahasia. Kamu pikir dia hanya akan diam saja? Kamu keliru, Sayang, sangat keliru! Karena itu jangan berani-berani dengan Wati.
Hesty
Hesty masih berlari menyusuri sepanjang lorong gelap di belakang toko-toko jeans di kota serba modern itu. Tapi terlampau gelap, sangat mungkin tanpa harus menunggu lebih malam lagi dia akan terjerembab ke selokan terdalam kota serba modern itu. Namun beberapa kacung membawa bedil panjang sedang membuntutinya hendak merobek mulut dan mengambil hatinya. Demi alasan yang sangat dapat diterima itu dia terus berlari tanpa mempedulikan jika nanti dia memang harus jatuh dan mati dalam usahanya itu. Setidaknya dia mati demi apa yang diperjuangkannya, tidak mati tertawa dan konyol seperti orang-orang bodoh. Kebenaran harus ditegakkan dan dan jika kebenaran itu yang memangsanya rela, tapi jika kacung-kacung itu yang menangkapnya akan lain ceritanya. Tak banyak orang yang masih menyimpan hati di ulunya. Dia merasa bersyukur karena Sang Dewa Hujan yang dikenalnya dengan sangat dekat masih melindunginya. Hujan tiba-tiba mengguyur kota yang serba modern itu ketika dia berlari dengan darah yang mengucur deras dari pelipisnya. Dia mampu melihat lebih jelas ketika hujan berkat mata saktinya ditajamkan Sang Dewa Hujan. Dan satu lagi, tanpa dia sadari rasa sakit melilit perut yang dideritanya di sepanjang masa mudanya membuatnya begitu akrab dengan hujan.
Seharusnya pada saat seperti ini dia bisa terbang dan berubah, tapi tenaganya telah habis setelah dicerca Dewa Tikus di perusahaan tempatnya sempat bekerja. Dia kalah dan belum sempat berubah. Sakit jiwa! Seharusnya beberapa tahun lagi kota yang serba modern ini bisa menjadi Firdaus, namun sejak Dewa Tikus mengajarkan semua orang untuk mengerikit hati mereka sendiri-sendiri, hampir seluruh perempuan cantik dan pria tampan serta mereka yang berkelas kehilangan hati di ulu mereka. Bolong melompong lubang kasat mata yang terus mengucurkan darah segar. Dan sejak itu kota itu menjadi begitu gelap, matahari hanya bersinar sampai jam tujuh pagi, setelah itu kabut tebal menyelimuti sepanjang sisa hari.
Tiba-tiba angin berdesir lebih keras, membaus sentakan-sentakan yang berkelebar. Geledek menggelegar. Tepat pada saat yang tepat. Sang Dewa Hujan datang, itulah tandanya. Dan suara serupa bengahan sapi segera menguasai udara. Hesty berbalik ke belakang dan kacung-kacung itu tiba-tiba hanya seperti titik yang terbang di sepanjang awan. Mereka tak mampu menahan suara bengahan sapi Sang Dewa Hujan.
Entah daya apa yang tiba-tiba menyusup padanya, seketika sakit di melukai pelipisnya perlahan menghilang. Darah itu berhenti dengan tanpa terpaksa. Dan peluh-peluhnya berubah menjadi wangi yang menyegarkan. Tenaga mengisi otot-otot, dan sel-sel keberanian menjalari sepanjang tulang belakangnya. Tanpa lebih lama lagi kakinya terangkat dari tanah. Sepatunya berubah menjadi awan bersayap dan pakaiannya yang basah berubah menjadi putih sebatas paha. Serpihan debu-debu bening menyelimuti sepanjang pergelangan tangannya, sekejap kemudian berubah menjadi sarung tangan yang berkilauan. Sebentuk kristal putih muncul di tengah dahinya dan menyerupai sasakan halus membungkus rambutnya dan mengarahkannya tepat ke belakang. Dan itulah tiwikrama Hesty menjadi Wondertiti.
Musik bertalu-talu seperti genderang perang mengiringi terbangnya ke perusahaan tempatnya sempat bekerja. Bukahkah seharusnya perusahaan farmasi mendatangkan sukacita, bukanya justru kemalangan bertubi-tubi. Tidak perlu waktu lama dia sudah di pintu gerbangnya. Sampai di sana dia dihadang oleh puluhan atau bahkan ratusan manusia tanpa hati di ulunya. Mereka membentuk barisan panjang hendak menenggelamkan dirinya dalam lautan minyak panas yang sedari tadi sudah dididihkan khusus untuknya. Wondertiti menghubuskan pedangnya, cahaya berkilat berwarna platina memancar dari tangannya. Dengan salto tiga kali ke udara dia melewai barisan manusia tanpa hati di ulunya itu. Dia mengangkat pedangnya dan melihat di dalam mata-mata manusia tanpa hati di ulunya sebongkah jiwa berteriak ingin keluar, namun seperti ada lapisan kaca tebal yang membuat mereka tak kuasa bersuara. Wondertiti mengangkat pedang kemalanya dan seketika beberapa terjerembab ke belakang. Untuk beberapa yang lain efeknya berbeda, mereka maju beberapa langkah dan sebentuk hati kecil tiba-tiba muncul di tengah ulu dada mereka. Sedang pada beberapa yang lain tak jelas karena saking banyaknya manusia. Wondertiti segera terbang ke arah manusia tanpa hati di ulunya itu dan menebaskan pedang kemala tepat ke arah dahi mereka. Satu demi satu ditancapkan pedangnya, maka manusia-manusia itu berubah cahaya dan terbang tersapu angin malam yang semakin lingsir. Cukuplah pertarungan dengan para manusia tanpa hati di ulunya, sebenarnya mereka bukan musuh sejatinya, sejatinya mereka tak lebih dari korban Dewa Tikus.
Dia terbang ke beberapa lantai di atas. Di lantai ketigabelas Dewa Tikus sudah mempersenjatai dirinya dengan AK-47 di bahu kirinya, Ruger Elsie P di sengkelitan kiri belakang pinggangnya, Baretta 92\96 dan Springfield XD di dada kirinya, Browning P-35 Hi Power di dada kanan, CZ-75 di bahu kanan, Glock-17 di sengkelitan belakang pinggang sebelah kanan, Colt Phyton 357 Magnum di tangan kiri, Desert Eagle 44 Magnumdi tangan kanan, Desert Eagle 50 AE di meja depannya, dan beberapa granat menggantung di bajunya. Dia sendirian karena para kacung tikus telah lebih dahulu diserambit Sang Dewa Hujan. Wondertiti mendaratkan awan terbangnya ke lantai. Seketika beberapa granat dilemparkan ke arahnya, namun djimat Mustika Tata membentuk selubung perisai di seputaran tubuhnya. Melindunginya dari serpihan-serpihan keramik yang meloncat dan bertebaran karena ledakan granat. Wondertiti mengembangkan kedua tangannya dan sebentuk bangau terbang tampak membusur dalam tubuhnya. Dia mengangkat kaki kananya dan menendangkannya ke arah Dewa Tikus. Namun Dewa Tikus menghardiknya dengan Aji Naik Jabatan. Wondertiti melangkah mundur menghindar dari Ajian yang mematikan itu. Pertarungan itu berlangsung selama beberapa bulan lamanya. Konon suaranya terdengar sampai ke Negeri Mandura. Bahkan Swargaloka menggempa karena imbas angin yang timbul dari pertemuan tenaga dalam mereka. Namun kita tahu bagaimana kisah ini berakhir. Bukan karena ini cerita amatir, namun karena walaupun harus menunggu terlalu lama kita akhirnya tahu bahwa Tuhan tak tinggal diam. Dia turun dan menggites Dewa Tikus seperti kutu di antara dua kuku ibu jari. Secara sederhana kita tahu Wondertiti memenangkan pertarungan itu.
Tita
Kalau saja pilihannya mudah, mungkin aku bisa seperti anak-anak SMA itu, menghitung kancing dari atas ke bawah, cukup. Pilihan yang kuhadapi tak ada yang pernah mudah. Tak pernah ada kancing. Otakku hampir meluruhkan kesadarannya, aku berharap hatiku masih cukup mampu bertahan untuk bertengger di tempatnya.
Ataukan benar apa yang mereka katakan, hidup ini trivial. Bagiku tidak! Pleaase, jangan terlampau cepat menghakimi. Kita tidak bangun di pagi hari, lalu sejenak minum kopi, berikut mandi, dan sejenak kemudian sudah di atas sepeda motor menuju kantor. Bahkan tak ada pagi yang pernah sama. Dan aku ingin mereguk kekayaan pagi. Ketika pagi yang kali itu aku bangun di sisi kekasihku, ketika pagi ini leherku terasa kaku, ketika pagi lain bercerita yang lain juga. Kalau aku bersama Mas Ricky, itu adalah pilihan karena dia tidak menganggap hidup ini trivial. Sebentar, jangan hanya memandang yang tampak. Dia terlampau dalam untuk kau sebut tidak jelas, dan terlalu cepat jika kau menyebutnya sederhana.
Ya aku mengerti bahwa ini memang tidak mudah dimengerti. Namun inilah bukti bahwa hidup tak seremeh temeh itu. Ada kalanya memang sepele. Namun tolong ketika menjadi rumit dan perlu diurai, urailah dulu. Tergesa hanya menjadikan sodoran pilihan itu sia-sia. Jangan mentang-mentang pilihanku Mas Ricky maka itu langsung berarti menikah. Coba pergilah ke Joga, di sana perempuan paruhan usia dua puluhan memiliki pilihan yang jauh lebih kaya daripada sekadar menikah. Tapi tolonglah, ini bukan sekadar masalah yang kalau begini pasti begini, kalau begitu pasti begitu. Begini pun bisa begitu.
Jika kali ini teater adalah pilihanku... OK aku tidak tahu masa depanku di sana nanti. Mungkin aku akan membuang-buang waktuku. Memang! Mungkin aku tidak akan terkenal. Iya! Mungkin aku hanyha akan terlupakan seperti Bimbi. Sangat mungkin! Mungkin bayaranku tak semahal psikolog yang bekerja sebagai personalia perusahaan mebel internasional. Tapi sebentar, mengapa aku jadi ikut-ikutan berada di alam pikir yang itu? Anggap saja ini upayaku memberikan jawab jika pertanyaannya tentang masa depan dan materi. Aku tidak menampik bahwa suatu hari nanti bisa punya rumah mungil berwarna putih atau kuning tulang di tengah taman yang hijau, sulur-sulur yang menjalari dinding, dan sebuah rangkaian bougenvil atau mawar yang merambati pagar besi. Tapi jika tidak pun tidak pernah masalah.
Teater ini tidak mudah. Aku tahu! Aku mungkin tidak bisa menggantungkan diri di sana. Mungkin aku akan frustasi dan mati muda, iya! Tapi itu mati yang lebih menyenangkan daripada mati tenang dalam pelukan hangat suami yang matang, mobil dengan sopir yang rajinmenyisir rambut dan dangdut yang mendendang, lalu mal-mal di sepanjang petang. Itu hidup yang terlampau ... aku tidak tahu, terlampau apa. Terlampau biasa? Entahlah! Aku merasa takdirku memang untuk menjadi tidak biasa. Aku tahu bahwa menjadi tidak biasa mungkin sekali menjadi sampah, atau menjadi uap. Begini saja, anggap aku punya sebuah kata kunci, aku ingin hidup yang di dalamnya aku selalu bisa punya harapan. Walaupun harapan itu trivial, aku ingin hidupku tidak trivial. Karena pada dasarnya hidup memang tak pernah ditakdirkan untuk demikian. Jelas, dan memang benar demikian!
Jangan pikir aku tak tertekan dengan pilihan ini. Aku merasa bersalah dan menabrak mana-mana. Ya... cukup katakan satu kalimat saja “Va’ Dove Ti Porta Il Cuore!” Aku tak punya bahasa yang tegas untuk menegaskan, jelas untuk menjelaskan. Kalau boleh memilih aku akan menari.
Diah
Mbak Diah masih sibuk bercerita kepadaku tentang anjing. Tampak sekali dia mencoba menghiburku karena Bebo meninggal, padahal aku tidak sebegitunya kehilangan. Kalau di Hongkong, anjing itu lebih aji daripada babu kayak kami ini, ujarnya. Perawatan buat anjing saja sampai ribuan dollar. Lalu dia tertawa, temanku ada yang malah, dia tertawa lagi, anjingnya itu dipenjara. Loh kok bisa? Iya padahal alasannya benar-benar gak masuk akal. Anjingnya kan dibawa ke restoran, eh tiba-tiba namaya anjing masuk ke dapur keluar-keluar sudah menggondol daging. Di belakangnya tukang masaknya berteriak-teriak. Ya sudah, langsung anjingnya dilaporkan ke polisi, ditangkap dipenjara. Kami tertawa. Kok bisa ya? Ya bisa lah, maksudnya kan supaya diambil oleh pemiliknya, nanti pemiliknya yang bayar. Persis Bebo begitu itu kemana-mana digendongi.
Gak kepingin balik Hongkong, mbak! Dia tertawa. Ngapain balik Hongkong, Om! Wis di rumah saja, wis siap nikah punya anak. Kalau malam begini biasanya ngapain. Woh kalau malam begini ini kan majikanku dapat kerja shift lagi, soalnya dia ngambil shiftnya dobel, pagi ngambil, malam ngambil. Jadi pokoke anake sing besar itu wis main komputer kayak sampean ngono iku, tapi dia bisa sampai berjam-jam. Paling-paling nanti makanannya tak bawakan ke kamar. Jam sepuluh begitu baru tak ambil. Orang sana itu makannya gak aneh-aneh kok. Kalau yang kecil nonton tivi sama aku. Dia tertawa. Padahal gak boleh sama orangtuanya. Tapi gak pernah ketahuan kok. Kalau misalnya orangtuanya telpon begitu suara tivinya dimatikan, orangnya tak omongin anaknya sudah tidur. Lah wong anaknya sendiri itu loh seneng kalah nonton tivi bareng aku.
Kalau begini ini bacanya gimana, Mbak! Aku menyodorkan DVD dari Hongkong yang dibawanya, koleksi DVD serial drama. Waduh aku gak bisa kalau membaca, aku ngerti ngomongnya, tapi gak ngerti tulisannya, kalau ngomongnya gampang. Sampean dulu di PT juga latihan ngomong gitu? Enggak dulu latiahnnya ngomong Bahasa Inggris, aku juga pakai Bahasa Inggris pada waktu sampai di sana, tapi lama-lama ya pakai bahasa sana. Orang Hongkong itu juga gak pintar Bahasa Inggris kok. Paling yang ngerti begitu ya standar.
Tapi paling enak itu kalau Hari Minggu. Hari Minggu itu kan libur, jadi kami jalan-jalan ke taman. Di sana ada taman khusus orang Indonesia, ada yang khusus orang Filipina, orang Filipina itu bayarannya lebih besar loh daripada yang dari Indonesia. Terus nanti baliknya sore jam lima. Enaknya di Hongkong dibandingkan dulu pas aku di Singapore itu ya itu ada hari liburnya. Kalau sudah libur begitu ke gereja, woh banyak arts Indonesia yang diundang ke sana. Nafa Urbach sama suaminya. Banyak wis pokoknya. Terus aku itu enaknya kalau belanja pagi-pagi begitu. Biasanya habis belanja kumpul-kumpul sama anak-anak, belanjanya sepuluh menit kumpul-kumpulnya satu jam sendiri, kalau ditanya jawab wae macet. Kami tertawa berdua sangat keras.
Kalau emak sama bapak wis gak boleh balik ya mbak? Ya kalau maunya mereka begitu. Halah orang aku sendiri sudah tiga puluh kok, ya waktunya tinggal di rumahlah. Ya bedanya kalau malam di sana ramai, dibandingkan Malang masih ramai sana. Kalau di Tempurrejo sini sepi.
Lalu sepi kami hanya memandang bintang-bintang yang dimiliki Tempurrejo. Sangat jelas. Inilah yang tidak kumiliki di tempat lain. Di desa ini aku merasa separuh rekreasi, setiap hari. Aku bersyukur induk semang yang aku tempati sangat menerima kehadiranku.
Iya, Om! Dia menghela napas.
Jujur! Sebenarnya kalau boleh balik, aku milih kepingin balik. Ya wis bertahan sik, demi emak sama bapak!
Tags : ,

No comments:

Post a Comment