Petite
Kami memanggilnya Dessy, namun lebih sering dia menyebut dirinya Petite, dari la petite, si kecil. Dia memang tidak terlalu besar untuk orang seumurannya. Tingginya tak mungkin lebih dari 160 centimeter. Tentu saja dia tidak semenarik Angelina Jolie, tapi jika kau mengenalnya, dia akan memberangus dayamu dalam air matanya.
Dessy tidak lahir dan besar dalam keluarga yang berlimpah susu dan madu. Keluarganya begitu sederhana di kota semewah Magelang. Mungkin karena itu dia tak pernah neko-neko. Rambutnya selalu lurus murus sepunggung, jika tak diikat ekor kuda, akan diburainya begitu saja. Kacamata menempel erat di atas hidungnya. Kau pasti akan mengingat burung pipit ketika melihat dan mendengar suaranya, begitu petite. Untuknya tren dan mode berhenti pada tahun sembilan puluhan, mungkin karena setelah itu tahun-tahun membangun menara gading yang tak pernah mampu diraih kami yang kelas teri.
Pada masa itu aku sering menangis kepadanya, dia tidak pernah bertanya mengapa aku menangis. Dia duduk menemaniku, aku ingin memeluk tubuhnya yang serapuh jiwaku. Ketika dia ikut menangis bersamaku, aku tahu bahwa sakit hati bukan hanya milikku. Aku tahu bahwa dia lebih sering menderita dan menangis daripadaku, dan aku segera terhibur karena aku tidak pernah sendirian bersamanya. Kadang kau bersama seseorang dan kau tetap sendirian, tapi bersama Petite kau akan selalu sedang bersama ribuan malaikat yang menggendongmu. Malaikat-malaikat itu begitu dekat hingga kau bisa mencium wangi rambutnya yang serupa kue-kue yang baru diangkat dari dalam oven selalu hangat dan segar. Perasaan yang begitu tenang tetapi begitu ringan seperti kapuk, jika tidak seperti arum manis di alun-alun yang begitu lembut dan begitu cepat hilang jika kau tak cepat-cepat melahapnya.
Tapi tentang hidup dan pilihan-pilihan, dia tidak pernah berhenti bertanya, bahkan yang paling sederhana bagi orang lain. Mereka menyebutnya melankolis, tapi aku lebih senang menyebutnya landung. Semarah apa pun dirimu, bersamanya kau akan bisa menangis. Sekuat apa pun dirimu, dalam keramahannya kau akan menemukan jari-jarimu tak berdaya dan sendi tubuhmu seperti seketika menderita chikungunya menghadapi helaan napasnya yang begitu dalam. Dia tertawa landung, menangis landung, merasa dengan landung.
Kami terlampau sering membagikan kisah kami. Tentang kami yang terperangkap dalam pilihan yang salah. Tentang Fakultas Teologi yang tidak mampu kami pahami. Selalu menjadi wadah yang terlalu besar untuk kami. Tentang rasa-rasa minder kami. Tentang keliaran-keliaran pikiran kami, kami tidak pernah mampu lebih liar melampaui sekadar pikiran. Kami selalu masih saling bertanya, tepatkah jalan pendeta ini untuk kami. Bukan karena pendeta tidak menghasilkan emas batangan, tapi karena jiwa kami yang belum bisa mencintai dunia yang kami tinggali ini sepenuhnya. Kami ingin terbang, tapi kami tak punya sayap, bahkan tak tahu caranya.
Sulastri
Dia tidak ingin menunjukkan ketakutannya. Dalam kegelapan dia meraba sekali lagi. Dan sekali lagi menemukannya, masih di sana, di tempat yang sama. Ketika dia menemukannya sakit itu segera menyerang dirinya, bertumpuk-tumpuk seperti demam yang tak bisa sembuh. Bukan sakit di tubuhnya yang menggulung hatinya. Tapi justru karena pilihannya untuk membiarkan rasa sakit itu bersamanya tanpa seorang pun yang perlu tahu. Semua bisa kacau jika dia membeberkannya. Dia melihat suaminya, mengingatkan masa muda yang tidak pernah mereka habiskan untuk tertawa. Masa muda mereka hanya untuk berkeringat, demi tiga anak mereka. Mereka yang berjanji menjaga tiga itu setelah dua sulung kembar yang dilahirkannya direnggut Tuhan tanpa mereka pernah merayakan ulang tahun pertama si kembar.
Kalau dia menceritakan perihal sakitnya kepada sang suami, apa lacur sang suami sendiri sakit-sakitan. Sekarang bisnis tidak selancar dulu, kini sejuta sebulan saja harus benar-benar diawet-awet, jika tidak anak-anak mereka makan apa. Dua yang terakhir masih kuliah, yang satu menjadi vikar di desa walaupun dia tahu pilihan itu tak pernah sepenuhnya disukai oleh anaknya. Jika tidak siapa yang membelikan anak-anak pulsa supaya tiga itu bisa menyapa mereka setidaknya lewat sms. Mereka hanya mencoba menyayangi tiga itu dengan cara mereka mengenal kasih sayang melalui cara-cara sederhana di lingkaran desa mereka yang sempit. Mereka tidak pernah melihat Jakarta, sedang anak-anaknya bermimpi menghambur seperti burung. Mengatakan kepada suami berarti lagi-lagi uang. Uang yang mungkin akan terbuang sia-sia karena mungkin saja ini tidak bisa sembuh. Dia ingat beberapa tahun lalu ketika sakit jantung menyerangnya. Berjuta-juta habis untuknya, dan hanya menyisakan rasa berdosa karena pada waktu itu uang terkuras hanya untuknya. Suaminya yang biasanya makan dengan dadar telur, kembali mengirit dengan hanya makan sayur bening dan ikan asin, alasannya sepele, agar masih ada tabungan untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Berkata kepada anaknya hanya akan menambah sakit hatinya. Dia ingin menjadi berkat bukan beban berat. Sejak tidak ada lagi pertambangan batu yang dibuka untuk umum, truk mereka macet. Mungkin sehari hanya dua kali angkut, maksimal, padahal dulu mereka bisa sampai enam atau tujuh kali angkut. Belum lagi sopir dan kuli mereka sering menghilang, hingga kadang truk itu harus ngandang menunggu ada orang baru yang mau menjadi sopir dan kuli.
Tapi malam itu ketika semua anak pulang, menonton tivi dan makan bakso. Hanya suami dan ketiga anaknya yang makan bakso, karena dia memilih makan tempe gorengan tadi pagi. Dia membuka pembicaraan, “Aku kanker payudara!” Tiba-tiba sepi “Maaf selama ini tidak pernah bicara.” Semua memandangnya. Masih sepi. Waktu berhenti sore itu. Begitu jam kembali berdetak sekeluarga bertangis-tangisan bersama sampai sang bapak mengusap air mata dan berkata, “Ayo sekarang kita berdoa.”
Joenida
Sudah satu lagi. Yang di Plaza Araya sudah bisa tidak terlalu dipikirkan. Anak buahnya yang gemuk dan senang tertawa itu bisa diserahi tanggungjawab. Sekarang yang perlu mendapat perhatian tinggal yang di Malam Olympic Garden, MOG. Batik-batik itu harus ditata menarik, walaupun tempatnya tidak strategis untuk pembeli. Tepat menghadap pintu keluar. Tapi itu satu-satunya daripada tidak, dia harus mengambil kesempatan itu. Maka tumpukan batik aneka warna berbau klerek itu segera diudalnya. Dia melepas label-label batik itu dan menyematkan label baru berwarna merah marun, bermotif parang. Ira Batik. Dia tersenyum sesaat. Bukankah nama itu sangat kekal. Ira dari nama tengahnya. Nama tengah biasanya hanya untuk keluarga, hanya untuk orang-orang yang tersayang, siapa yang tahu bahwa Julia Roberts sebenarnya punya nama Fiona di antara nama depan dan nama keluarganya. Tapi dia memutuskan untuk membagi nama tengah itu, kesediaan yang luar biasa untuk membuka dirinya yang terdalam bagi dunia. Kodrat perempuan bukan sebuah halangan untuk terus melangkah di dunia laki-laki, karena perempuan sebenarnya bisa menyelusup begitu rupa, memposisikan diri mereka di dunia dengan sempurna.
Dia menempelkan harga, tidak perlu dinaikkan terlalu tinggi, yang penting bisa untuk membayar sewa tempat dan diperkirakan sebulan cukup untuk membiayai cicilan rumah mereka. Tentu dia dan suami harus menabung, karena kalau jujur mau berhitung, berapa gaji seorang pendeta. Anak-anaknya harus mendapatkan yang terbaik, karena itu SMA 3 Malang dan SDK Marsudi Wiyata menjadi pilihan. Sebelas tahun lagi suaminya emeritus, maka perhitungan harus matang, dan harus dimulai sekarang. Belum lagi cicilan mobil yang masih satu setengah tahun lagi.
Banyak jemaat yang memandangnya sebelah mata karena keberaniannya itu, mereka berkata ibu pendeta kok ngurusnya batik terus, tidak seperti ibu pendeta yang ini dan itu. Tapi biarkan mereka berbicara, dia harus menebalkan telinga. Biarkan juga istri-istri pendeta itu memilih cara mereka, dia punya cara sendiri. Dia masih kuat dan dia mampu, mengapa tidak. Dia lulusan Universitas Brawijaya, mana mungkin ilmu yang didapatnya harus disia-siakan. Toh masih ada warga yang berpikir terbuka, entah itu hanya pura-pura atau memang begitu adanya. Para generasi tua boleh punya cerita mereka, tapi dia adalah perempuan dari generasinya. Siapa juga yang menyuruh orang-orang itu memanggilnya ibu pendeta, dia tidak pernah sekolah pendeta. Dia hanya ingin dipanggil Bu Ira, atau demi sopan santun dan rasa hormat, Bu Adi. Orang-orang bilang bahwa kehidupan keluarga mereka termasuk mewah untuk ukuran keluarga pendeta, tapi mereka yang berkata begitu hanya tahu luarnya.
Aku mengetuk pintu rumahnya, Pak Adi memintaku mengambil surat di rumah, di atas buku berwarna kuning. Aku memanggil namanya. Dia tahu, “Sebentar, Mas Gideon!” Dia menggapaikan tangannya jauh-jauh, mengambil tongkat berjalannya. Kecelakaan yang dialaminya pada umurnya yang kesembilan merenggut pertumbuhan kakinya, sebelah kakinya tidak tumbuh sempurna, lebih kecil dari yang satunya, pun tidak bergerak hanya menggantung begitu saja. Dengan tongkat berjalan itu dia menghampiri pintu dan membukakan.
“Saya mau mengambil surat, Bu. Di sebelah komputer di atas buku kuning”
“Oh ya wis cari sendiri,” sambil tersenyum, “aku masih ngurus duniawi.”
Kami tertawa.
Yessy
Dari namanya kau langsung tahu bahwa dia Kristen, Yessy Maria. Orangtuanya mengambilkan nama itu dari kata Yesus dan Maria. Usianya waktu itu dua puluh lima, jelas dia menjadi pergunjingan. Mana mungkin dia yang begitu sering berhubungan dengan laki-laki sampai setua itu belum menikah. Warugunung bukan desa besar di Mojokerto, orang-orang desa selalu menganggap perempuan yang tak menikah hingga melampaui dua puluh tiga adalah aib. Seenaknya saja!
Dia memang punya banyak teman pria, banyak juga yang dikenalnya dekat, dasar dia memang super supel. Tapi tak ada yang dicintainya. Mana mungkin dia mencintai mereka. Mereka hanya teman-teman kerjanya, buruh pabrik gitar Rira, perusahaan Korea yang menanamkan modalnya di desa kecilnya. Sudah empat tahun dia bekerja sebagai buruh harian di sana. Dia beruntung karena bosnya, yang tidak berbahasa Indonesia dengan lancar itu, beragama Kristen sepertinya. Karena itu walaupun dia bukan pekerja tetap, tapi dia bisa bertahan empat tahun, yang lain biasanya hanya bisa setahun dan kontraknya tak berlanjut. Agama ini menyelamatkan dia dengan cara yang aneh. Gajinya sudah satu setengah juta sebulan. Cukup untuk membiayai keluarga sejak ibunya meninggal dunia. Dia juga bisa mengkredit sepeda motor, walaupun memang hanya motor China. Bapaknya tidak becus, seringkali dia justru merasa bahwa dia yang paling tua di rumah itu. Orang sedesa tahu kemalasan bapaknya, ke sawah tak mau, jangankan ke sawah bekerja berat hanya mendatangkan sambat. Karena itu setiap hari bapaknya hanya mangkal di pasar, terima ojekan. Tapi kemana uangnya, mana pernah cukup untuk dibawa pulang. Paling-paling habis di meja kartu, main hingga berhutang-hutang. Maka dialah dengan satu setengah juta itu membiayai keluarganya, membayar listrik, untuk makan setiap hari, membayar sekolah adiknya yang SMP lengkap dengan uang sakunya, bahkan berkat tabungan beberapa bulan lalu mereka sekarang tidak usah menonton tivi di tetangga.
Kalau mau memilih pacar yang beragama Islam, teman-temannya sebenarnya banyak yang mau. Tapi dia berpegang kuat pada prinsipnya, harus seiman. Dia tidak mau mengorbankan Tuhan Yesus hanya untuk sekadar urusan menikah. Menikah itu tentang masalah prinsip, dan agama itu prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsip yang lain. Di desa ini, bahkan di kecamatan ini, atau malah di kabupaten Mojokerto sedikit sekali pemuda Kristen yang berkualitas, apalagi pemuda Kristen yang mau dengannya yang buruh pabrik harian, yang urusannya dengan yang kasar-kasar. Kalau ada itulah anugerah. Pernah dia berpacaran dengan anak seorang Haji, pemuda itu sudah mengatakan bahwa dia bersedia memeluk Kristen. Tapi apa buktinya, ternyata dia berselingkuh dengan teman kerjanya, yang setiap hari satu ruangan dengannya di pabrik. Memang lebih cantik, tapi alasan pemuda itu, “Bapakku tidak mau aku jdi orang kafir.” Jelas hanya alasan untuk melepaskannya.
Lalu saudara ibunya yang di Surabaya mengenalkannya pada seorang pemuda gereja. Buka pemuda biasa, karena dia anak Bu Gembala, Bu Pendeta. Lebih tua darinya tiga tahun, pintar main musik danmenciptakan lagu, sangat tekun beribadat, walaupun kerjanya ikut ibunya di gereja sebagai tenaga kerja di gereja. Tapi tidak apa. Mereka menjalin hubungan lewat telepon dan sms, hanya butuh tiga minggu sampai mereka menjadi pacar. Seperti lagu natal yang menggema di balik salju, orang-orang begitu gembira, menaruh harapan luar biasa besar. Ibu si pria juga sangat senang, “Terimakasih ya Mbak, Mbak Yessy mau menerima anak saya, terimakasih, terimakasih!” Beberapa waktu kisah mereka berjalan begitu sempurna, saling memuji dan memuja. Hingga dia menemukan bahwa pacarnya begitu aneh, setiap telepon pasti ajakannya untuk berdoa dan menyanyi, awalnya itu indah, tapi jika terus-terusan begitu lain ceritanya. Lalu ketika pacarnya mengunjungi di rumah, pacarnya tak pulang-pulang walaupun dia sudah menyarankan dari jam 9, tapi hingga menjelang jam 10 malam pacarnya masih bertahan, bercerita Alkitab seperti guru katekisasi. Padalah Surabaya tidak dekat. Dia tidak mau pacarnya menginap, mau dibicarakan selebar dan sedalam apa lagi oleh para tetangga. Akhirnya ketika pacarnya pulang, berselang setengah jam kembali lagi, padahal itu tengah malam. “Aku kangen!” Dia sudah sampai Mojosari dan memutuskan kembali, karena kangen. Pria ini waras tidak sih? Maka sejarah pun ditelusuri, dan tahulah dia bahwa pacarnya itu memang pernah stress dan belum sembuh betul. Mungkin karena itu pada waktu itu ibunya begitu girang mendengar kabar anaknya berpacaran. Edan, ini tidak bisa diteruskan. Maka bubarlah mereka.
Sejak saat itu hingga hampir satu tahun dia tak berhubungan lagi dengan pemuda mana pun secara serius, siapa tahu sambil jalan dia bisa menemukan yang tepat. Tapi suara tetangga semakin berdengung, semakin keras dan nyelekit. Di mana lagi dia mendapatkan pria Kristen yang baik? Belum lagi ternyata tahun ini kontraknya tak diperpanjang. Tak ada lagi pemasukan. Mereka sekeluarga hanya makan uang tabungannya yang tak seberapa.
Sampai dua bulan lalu dia mengambil keputusan berani. Ketika seorang teman pria datang melamarnya, teman kerjanya dulu di pabrik, dia langsung menerimanya. Mereka menikah Islam dan memutuskan keluar dari desa itu ikut suami di desa suaminya. Dia menelponku sambil menangis, “Maaf ya Dik, Mbak sudah nggak setia! Padahal Mbak dulu pernah janji sama sampean akan setia sama Tuhan. Tapi di hati, Mbak tetap Kristen kok!” Aku menjawabnya, “Sampean sudah memutuskan yang terbaik, Mbak! Tuhan mengerti, kalau tidak Tuhan kalah sama aku!”
Kini suara tetangga tentang mbak Yessy yang tak menikah-menikah sudah sama sekali hilang, yang terdengar tinggal, “Bodone si Yessy itu, kalau mau dari dulu-dulu kan gak usah nunggu sampai perawan tua begitu!”
No comments:
Post a Comment