Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Teh Kayu Manis

| No comment
Dia berhenti. Pintu itu terbuka menunggunya. Pada malam yang lain dia akan melangkahkan kakinya ke dalam. Dan sebuah bibir yang lembut akan mengusap bibirnya. Aroma kayu dan batu bara, lalu lili, mawar, dan cendana. Cahaya temaram sebuah lampu meja keemasan menyapu sepanjang dinding, bayang-bayang mereka terekam lamat-lamat dinding yang tegar, kadang bergegas kadang melangsam, hingga diam. Mata bertemu mata, jemari, tulang hidung yang lanjung. Lalu tangan yang mencengkeram, punggung yang mengasam, hati yang menggerunyam, berpadu dengan iringan gitar dari sebuah cakram hitam yang tak habis-habis melanggam. Howl's Moving Castle. Betapa sering lagu itu diputar dan diulang.

Ketika siang kamar itu bisu, matahari akan menyinarinya dengan terik lembut yang bungkam. Gorden yang menari bersama dengan siut angin yang lisut, membekaskan gerakan-gerakan lembut pada permadani krem dan biru muda. Serupa langit, serupa laut. Sedang pada gilirannya malam akan menceritakan degup desah dan tarikan-tarikan napas mereka yang berpacu bersama aliran keringat yang tak habis-habis. Lalu mereka akan membujurkan tubuh mereka berselonjor. Berdua menata bicara. Bersama dengan itu titik keringat yang terakhir diteteskan. Dan sesaat sesudahnya mereka menjelma muram.

Pria itu sudah menunggunya di dalam. Dia bisa mendengarkan alunan gitar yang sayup-sayup berpadu dengan suara oboe yang halus. Pria itu memainkan sebuah lagu dari Starlit Carousel, deretan nada yang menceritakan sepasang kekasih yang bercinta di luar angkasa. Dia sudah membayangkan sang pria akan berdiri di sebelah jendela, bibirnya akan meniupkan udara lembut dan jarinya akan menari di sepanjang katup-katup instrumen itu. Begitu anggun seperti penari Waltz atau Foxtrot. Dia yakin pria itu tahu kedatangannya. Mereka bertemu pada hari yang sama, setiap jam yang sama. Tidak ada kali yang lain. Karena kali yang lain adalah kesempatannya bersama pria yang berbeda.

Dia meraih daun pintu dan mendorongnya. Pria itu menghentikan permainannya. Dan mereka saling menatap. Bibir pria itu tersenyum, kecil saja. Tidak dengan bibirnya. Telapaknya masih melekat pada daun pintu, ketika suara ombak di luar menyapa telinganya. Malam itu ombak bergemuruh, sepertinya badai laut hendak meriuh. Tirai-tirai sepanjang jendela itu berayun kuat. Ada yang tidak melegakan hatinya. Perasaan-perasaan yang biasanya tidak menghinggapinya. Mencuar seperti tonggak yang kekar. Menusuknya hingga ke ulu-ulu.

Pria itu tidak melanjutkan senyumannya, "Is there something wrong?" Tapi dia bergeming. Tidak juga berhasrat untuk sekedar memberi jawab. Pria itu masih menggenggam oboe di dengan kedua belah tangannya. Menatapnya saja. Mata mereka bertemu sekian lama. Betapa indah paras pria itu, guratan yang terukir dengan pahat yang landap terancung. Rahangnya yang berkelas, delik mata yang tukas, pipi yang cerkas. Rambutnya menyadik lurus digoyang angin yang berlomba menyeka helai demi helainya. Kemejanya biru terang, celana jeans hitam. 

"Come in!" Pria itu menyeru dalam biru. Tapi hatinya gegap, sejajar ombak yang tak berhenti memecah senyap di luaran. Ada yang terserempak membayang di bahunya. Gambar-gambar tentang pertengkaran, tentang hari-hari yang membosankan. Meja makan yang dingin. Lilin yang habis di sudut ruang tamu. Dan lampu yang berkedip-kedip tak hendak mati tak niat bernyala. Dia pulang ketika sore hari, dan seorang yang menatapnya dengan biasa saja. Orang yang dikenal setengah usianya. Kadang pertengkaran. Pintu yang dibanting dengan terpaksa. Lalu luka-luka yang diiriskan dengan rela di jiwanya. Mereka berdua yang meributkan masalah kecil mulai dari sikat gigi hingga pintu yang lupa dikunci.

"Tired? I have campagne in the fridge." Pria di hadapannya melanjutkan bertanya sambil mengulas lagi senyumnya yang memesona. Tapi mengapa pria sehebat dan seindah itu tak membacanya dengan seksama. Apakah karena dia tak mengenalnya seperti dia yang menandai separuh umurnya? Tentu saja dia lelah, tapi bukan lelah yang dimengerti oleh sang pria. Bukan lelah yang bisa dihapus oleh segelas sampanye. "What happened?" Pria itu tak beranjak, demikian juga dengannya. Mungkin sang pria sudah mulai sadar bahwa ada yang lebih akut dari sekadar lelah dan sampanye.

Dia melepaskan perlahan telapaknya dari daun pintu. Merogoh sesuatu di balik sakunya. Dikeluarkannya handphone putih. Setelah mengusap layar beberapa kali, diketuk-ketukkan jarinya pada huruf-huruf yang berjajaran di layarnya.

Bisakah kita memulai lagi, sebuah awal yang baru?

Kalimat itu dituliskannya begitu saja. Hatinya meriuh. Jam putih di dinding putih itu bergerak sangat lambat, detakannya terdengar sangat keras, mengalahkan deru ombak di luaran. Dingin angin meremas-remas tengkuknya. Keringatnya terperas, bukah oleh lenguhan yang menderas layaknya Selasa-Selasa yang lain, tapi sebuah penantian yang mengadas.

Pria di depannya masih menatapnya. Dan dia harus menuntaskan pertanyaan sang pria. Dia menunduk. "Sorry! Since the first time, we'd known where it will go." Pria itu melepaskan sebelah tangannya dari oboe. Kaki sang pria tetap tidak bergerak. Oboe itu merosot dari dadanya. Pria itu menekuk bibirnya lalu mengusap dengan telunjuknya, seperti mengelap bekas yang tak hilang.

"Somewhere only we know?" tanya sang pria, dan dia menggeleng, "Everyone knows where this road ends!"  

 Tentu saja ini menyakitkan. Dia akan kehilangan kenyamanannya, tempatnya berlari dari deras hujan. Demikian juga untuk sang pria. Tapi mereka adalah kematian sekalipun nikmat. Mereka tahu akan ada waktu ini, hanya tidak disangkakan sekaranglah waktunya.

Pikirin itu membuat pria di hadapannya terhisap dalam sebuah lubang hitam. Pria itu bersama semuanya, alunan gitar, oboe, deru ombak, embusan angin, ranjang dan aroma kayu, batu bara, lili, mawar, serta cendana. Temaram itu menjelma setitik kedipan lembut di handphone putihnya. Jawaban.

Pulanglah, ada teh kayu manis di rumah!

Pesan pendek itu mengurai senyum di bibirnya. Dan seketika ada yang menghangat dalam relungnya, seperti suluh yang berpijar tersara bara. Dia sudah serasa mengecap kayu manis itu di lidahnya. Bukankah dari segala rasa dan aroma, kayu manis adalah dirinya. Sepintas saja ada terang yang semakin benderang di hadapannya. Cahaya yang menyapu matanya. Dia melihat jalan itu. Jalan pulang kepada kekasihnya, kali ini yang sejati.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment