Whatever you want...

Wednesday, October 22, 2014

Taman Raya

| No comment
“Kita ini orang-orang yang jujur.”

“Dan rusak!”

Kita tidak bisa menahan tawa. Seorang gadis kecil yang menggamit lengan ibunya melihat kita. Aku menyempatkan tersenyum sebentar kepadanya. Siang itu tidak terlalu menyengat berkat rerimbunan di atas kita. Kita menyamankan diri di bawah pohon-pohon raksasa itu. Umurnya pasti jauh lebih tua dari orang tua kita. Kita berjalan saja, aku sesekali mencatatkan beberapa nama tumbuhan itu. Kamu sempat bertanya untuk apa, aku tidak tahu, aku rasa asyik saja melakukannya. Aku tidak menduga bahwa Purwodadi menyimpan kekayaan sedemikian luar biasa. Aku dulu pernah tinggal di Malang tiga tahun semasa SMA, lalu ke sana lagi untuk beberapa tujuan dinas belakangan sesudah masa kuliah yang menjemukan, tapi baru pertama kali ini menyempatkan datang kemari. Hampir sembilan tahun.

“Anak-anak pasti senang di sini.”

Aku mengangguk saja. Kamu dengan terusan birumu, dan aku dengan cardigan biruku. Kita jelas tidak janjian, kebetulan-kebetulan itu  mempertemukan kita sampai demikian cocok.

“Kamu tidak punya rencana menikah?” Kamu membuka ikat rambutmu dan mengibaskan rambutmu kanan kiri. Aku selalu merasa kamu mirip dengan Prisa Nasution. Hanya saja rambutmu ikal, tidak begitu ikal sebenarnya, hanya bergelombang di beberapa bagian.

“Kenapa menikah?”

Kamu menatapku dan mengikatkan lagi ikat rambutmu. “Aku rasa menikah itu menyenangkan. Aku suka dengan anak-anak. Aku kepingin punya anak dua belas. Menamai mereka dengan nama-nama Bulan.”

“Iya kalau kebetulan mereka lahir di bulan yang berbeda-beda.”

“Aku gak suka matchy-matchy. Kenapa Febrian selalu lahir bulan Februari, Meilan selalu bulan Mei, atau Agustaf dari Bulan Agustus? Aku membayangkan anak pertamaku akan bernama Januari dan anak terakhirku bernama Desember, entah bulan apa pun mereka lahir.”

“Dan anak pertamamu perempuan dan namanya Januari, anak kelimamu laki-laki dan namanya Mei.”

“Aku tidak masalah.”

“Dan anakmu bernama Lintang dan Jagad.”

“Suamiku yang menamakan mereka. Aku membayangkan suamiku orang yang lain.”

“Kakak kelasmu itu?”

Dan kamu segera tertawa. Aku membayangkan kamu bersama kakak kelas SMA-mu yang kerap kamu ceritakan. Tubuhnya kecil tidak seperti suamimu sekarang. Aku tidak menolak bahwa suamimu seorang yang menawan, semua yang didambakan para perempuan, atau laki-laki pecinta sesama, ada padanya. Tubuhnya tinggi dengan tulang dahi yang tegas, rahangnya kuat, matanya terang dengan sejumput tebal alis yang membuatnya semakin tajam. Pembuluh-pembuluh darah bertonjolan dari likat-likat otonya yang pejal. Dadanya bidang dari berenang, dan kakinya sekal dari kebiasaan berlari paginya. Pekerjaannya sebagai manager Event Organizer ternama di Malang jelas jaminan. Seorang yang terpandang juga di masyarakatnya. Tapi kamu selalu menyimpan ceritamu sendiri, tentang kisah-kisah yang kau pendam diam-diam. Dan hanya dirimu, atau, jika kamu sempat membagikannya, kita yang tahu.

“Boleh lah aku rasa kegilaan kami akan bertemu. Dan dia akan setuju saja dengan usulku perkara nama itu. Dia itu petualang. Suamiku itu terlalu teratur. Semuanya serba rapi, semuanya serba tertata dan nyaman. Aku rasa aku butuh keributan, kekacauan. Dan itu yang tidak kudapatkan darinya.”

“Tapi dia bisa memberikan apa pun yang diharapkan oleh perempuan.”

“Perempuan yang lain, yang percaya kepada dongeng pangeran berkuda putih. Tahu gak? Aku sekarang berhubungan lagi dengan teman S2-ku. Entah bagaimana kemarin dia mendapatkan nomorku.”

“Kamu membagikannya di facebook, skype, twitter, kan?”

“Baiklah!” Dan kita tertawa sekeras-kerasnya. Sorot matahari persis jatuh di pelupuk matamu. Kamu mengerjap dan beralih pindah beberapa langkah. “Aku tadi berpikir akan hujan.”

“Aku rasa ini akan hujan, panas ini keterlaluan. Kita saja beruntung di bawah pepohonan.”

“Dan begini orang-orang masih berpikir untuk menebangi pohon. Gila-gilaan!” Lalu kamu kembali berjalan, aku persis di sebelahmu. “Mungkin Hari Minggu lalu, dia menelponku, dia bertanya kabar basa-basi. Aku bukan orang yang senang basa-basi, aku tanyakan langsung bagaimana keluarganya, ehm, persisnya bagaimana istrinya. Dia menikah dengan teman satu angkatan kami. Dia bercerita dia tidak bahagia. Dan aku tahu arah pembicaraan kami ke mana. Dan jujur... aku menikmati diperhatikan dia. Aku rasa dia suka kepadaku.”

“Dia mengatakannya?”

“Enggak, tapi ...”

“Tapi benar! Aku rasa kita selalu terasa kok ya kalau ada orang suka sama kita.”

“Yah, walaupun kadang itu ke-GR-an juga.”

“Hahaha! Betul! Tapi aku rasa kita tahu lah. Gini, beberapa hari yang lalu ada orang yang selama ini kuperhatikan di facebook, dia punya anak satu.”

Kamu segera mengerling kepadaku, "Lakilaki? Perempuan?"

“Biasa lah, jelas, laki-laki.”

"Ternyata sudah dipaternkan"

"I am what I am!"

“Tahu gak sih? Aku itu selalu penasaran gimana kalian bercintanya ya? I know lah masalah just get inside from behind or ... Aku just curious, you know.”

“Ya biasa aja, as you said. Pasanganku ini, dia best blowjob I ever had."

Kamu tertawa, dan aku meluruskan, "Jujur, aku rasa ML sama laki-laki atau perempuan sama saja kok rasanya.”

“Gimana? Gimana emangnya? Cerita dong!”

“Ah kamu buka saja itu video-video bokep male to male. Kamu bisa tahu dari sana. Ya macam itu lah!”

“Tapi kan beda antara yang disetting, diskenario, dikoreo, sama yang alami, just flow like the river.”

“It’s just the same. Kami saja kadang dapat ilham dari video-video itu.”

“Ilham, aku sudah lama sekali tidak mendengar kata itu diucapkan langsung. Kata yang langka.”

“Si facebook itu dia seorang pelukis, dia punya galeri di Suhat. Tahu kan galeri belakangnya rumah sakit atau puskesmas yang ada BCA-nya di Suhat itu? Galerinya di belakang situ.”

“Itu kawasan keren, tahu! Aku itu baru tahu kalau di sana itu seperti kampung wisata, arsitektur rumah-rumahnya keren.”

“Jaman dulu sebelum banyak kos-kosan di sana lebih keren lagi. Yang sekarang tersisa paling cuma galeri dia sama ada beberapa tempat makan dan gedung budaya kecil di ujung gang.”

“Everything has changed, but nothing is different.”

“No, it’s really different, you know. You know what, the athmosphere, the vibe, feeling kalau kamu dulu pernah jalan di sana dan sekarang jalan lagi. Everything is just different.”

Kamu hanya mengangkat bahumu. Ah harusnya kamu malu sudah hidup bertahun-tahun di Malang dan tidak tahu kawasan itu. Itu adalah kawasan terbaik. Aku dulu menemukannya ketika ada tugas sekolah, lalu setiap kali ke Malang, aku menyempatkan datang ke sana, sekadar lewat. Lalu hari ini suasananya menjadi berbeda sama sekali. Aku ingat dulu, di pojok belakang rumah sakit atau puskesmas itu ada sebuah taman kecil yang sangat rimbun, ada rerimbunan sirih merah, di bawahnya ada dawet ayu. Aku ingat dulu banyak pekerja seni yang duduk-duduk di depannya. Penjual dawet itu menyedian beberapa lincak untuk para pembelinya. Sekarang sudah tidak ada, taman itu berganti menjadi KFC, masih ada bekas tetumbuhan itu tapi anak-anak muda adalah cerita utama di sana. Mereka yang menghabiskan uang kiriman orang tua mereka. Lalu galeri itu persis di sebelahnya. Lalu aku ingat sebuah lapangan tenis dengan ram-ram yang ditumbuhi alamanda. Sekarang lapangan itu berubah menjadi tempat futsal dan kering. Ah hanya dalam beberapa tahun saja.

“Orang ini,” aku melanjutkan ceritaku, “bertemu denganku pada waktu ada pementasan Teater Lawang di Balai Kota. Tidak banyak penontonnya, teater tidak pernah cukup laku di Malang. Seni topeng yang ada di Sumbersari itu saja, siapa yang pernah berkunjung ke sana. Parah sekali, kalian ini kota kecil tapi budayanya sok Barat sekali. Yang Barat saja melirik ke Timur sekarang. Identitas kita ini sudah semakin nanar, semakin bias ke sana sini. Penuh simulakrum dan eklektis. Tidak ada yang tunggal, andai kata masih ada ...”

Kamu mengatupkan jari-jarimu, “Aku tidak butuh kuliah etika, tata kota, atau sosiologi. Aku pingin dengar kelanjutan si geleri Suhat.” Dan aku pun tertawa menyambutnya, sejak dulu aku selalu merasa kamu selalu linear. Dan itu cerita lain darimu yang tidak pernah kumiliki. Aku adalah pohon yang tumbuh dengan cabang yang tidak ada habisnya, hendak menjuntai ke atas, alhasil hanya merimbun menjadi semak yang berjalaran.

“Kami bertemu di sana dulu. Temannya memperkenalkanku kepadanya. Tapi ya sudah hanya itu. Tidak ada yang lain. Jujur sih orangnya menarik. Keren. Rambutnya acak-acakan, macam yang selalu membuatku kemlepeken. Dekil, tapi terlihat cerdas. Aku memperhatikannya, aku pikir waktu itu dia melewatkanku begitu saja.”

“Ada fotonya?”

“Entar!" Aku mengambil handphoneku dan membuka internet. "Cakep loh!” Aku menunjukkan kepadamu. Kamu membelalakkan mata. Membuka mulutmu sekaligus.

“Aku tahu orang ini! Ini Sindu kan? Sindu Sinabung?”

“Hah? Kamu tahu?”

“Oh my! Oh my!”

“Kenapa?”

“Ya! Dia pernah bertanya kepadaku tentang kamu.”

“Oh ya? Masak?”

“Serius, aku gak persis ingat, bulan lalu atau Februari ya, pokoknya belum sangat lama lah. Kami ketemu waktu aku jemput Lintang pulang sekolah, dia jemput anaknya. Dia tanya temanku yang jurnalis di Kompas. Aku tanya apa itu kamu dan dia bilang iya.”

“Gimana? Gimana?”

“Aku waktu itu gak mikir apa pun, aku pikir kalian kan sama-sama orang limited edition, jadi aku gak berpikir macam-macam. Dia bertanya apakah aku punya kontakmu. Aku kasih kok kontakmu ke dia waktu itu.”

“Tapi dia gak pernah menghubungi.”

“Masak? Ow secret admirer!”

“Mutual admirer!”

“Ahhhh... Tapi dia punya istri lo, aku teman istrinya juga. Aku malah lebih dekat sama istrinya daripada sama dia.”

“I know, I mean aku tahu kalau dia sudah punya istri. Sialan! Kamu kenal ya?”

“Oh my! I’m shocked!” 

“So?”

“Aku gak tahu, no comment lah! What the ...! Jadi itu kenapa dia dulu menanyakan nomormu?”

“Di facebook dia sekarang naik menjadi salah satu friendlist yang paling sering saling mengamati.”

“Aku gak mikir ke situ loh. Masak sih dia?"

Aku mengangkat bahu. Kamu memesan tanpa tekanan, seperti hanya tambahan, "Hati-hati, ya!”

"He em!"

Kita lalu tenggelam dengan pikiran masing-masing. Kamu masih tersenyum-senyum dan tertawa-tawa. Aku tidak tahu harus berkata apa, atau sekadar bersikap bagaimana, rasanya seperti maling tertangkap peronda. Tiba-tiba ada yang aneh, rasanya tidak seperti tadi. Seperti geli, tapi nyeri, lalu kejang. Kalau ini warna, seolah ada warna ungu yang langsung memburat bersama kuning. Entahlah.

“Tapi aku rasa, aku gak akan punya cukup keberanian ke sana. Atau memang tidak berniat lebih.”

Kamu melihatku, menatap dengan seksama sambil terus menyimpan senyumanmu. Menahannya seolah takut dia lepas berderaian. Tapi kamu menata dirimu, aku melanjutkan “Iya. Mungkin rasanya aku senang saja diperhatikan orang, apalagi dia keren dan sesuai harapan.”

“Bukan kamu, kita!”

“Iya, kita!” Dan kita tertawa.

“Kita ini senang diperhatikan yang bukan pasangan kita.”

“Seperti membuktikan ternyata kita ini masih laku.”

Dan kamu tertawa sekeras-kerasnya. Aku rasa kamu setuju denganku. Kita begitu sama dalam terlalu banyak hal. Dan itu yang membuatku bisa nyaman dan bercerita apa pun kepadamu. Aku rasa hal yang sama juga demikian kamu rasakan.

Aku melanjutkan, “Jangan-jangan kita ini kurang perhatian.”

“Mungkin!” Dan kamu tertawa, “Sebenarnya aku dengan teman S2ku tadi sama sekali tidak ada keinginan bertemu. Kami nyaman BBM-an, telponan. Tapi aku tidak membayangkan bahwa suatu saat akan bertemu dengannya dan apalagi sampai berhubungan serius di belakang. Aku bahkan tidak mempertimbangkan ada kasur di antara kami. Aku hanya senang saja ada orang lain yang ternyata masih menginginkanku.”

“Menyedihkan!”

“Kita!”

“Iya, kita!”

“Tapi diperhatikan orang yang tidak kita sukai juga tetap saja menyebalkan.”

“Betul! Betul! Rasanya kepingin segera jauh-jauh menyingkirkan dia saja. Ada seorang gitaris band lokal di Surabaya. Dia usianya hampir empat puluhan, dan dia selalu menghubungiku. Awalnya aku OK saja, pikirku sekaligus mencari relasi. Tapi lama-lama aku merasa dia berlebihan. Aku terang-terangan mengatakan kepadanya. Dan tahu tanggapannya apa, ‘aku suka kamu yang alot begitu, bikin lebih bernapsu.’ Setelah itu aku gak pernah mengangkat telponnya, menjawab inbox, sms, BBM, WA dari dia. Dia awalnya terus-terusan mengontak seperti orang kesetanan. Tapi lama-lama dia menyerah juga.”

“Kita ini sudah gak laku, masih pilih-pilih ya!”

“Parah!”

“Ehm... Tapi sebenarnya kalau kamu sama Sindu aku setuju lo! Aku rasa kalian cocok!”

“Eh ... Gak ah! Kasihan istri sama anaknya.”

“Serius?”

“Ehm ... gak tahu juga ya!”

Kamu tertawa sekeras-kerasnya, sebelum kemudian diam. Kamu seperti memikirkan sesuatu, dan aku segera tahu sejak kamu menambahkan apa yang kamu pikirkan dalam kalimatmu berikutnya, "Aku rasa di balik semuanya, sebenarnya kita ini orang-orang yang setia."

Dan sepanjang siang panas dengan rerimbunan pohon Taman Raya Purwodadi itu adalah cerita jalan kaki dan tawa kita yang tak habis-habis. Kita sudah berpisah sekian lama, tapi selalu ada cerita yang mempertemukan kita. Kita mengenal satu sama lain, tidak perlu lagi ada yang disembunyi-sembunyikan. Aku selalu berpikir andai saja dunia berisi orang-orang seperti kita semua. Ah tapi mungkin tidak juga. Kekacauan dunia ini sudah cukup. Kita hanya akan membuat keruwetan yang tidak terurai.

“Thanks ya!” Aku menatapmu.

“Aku juga!”

Aku duduk persis di rumput yang melandai, kamu duduk di sebelahku. Aku mengancingkan cardiganku, dan menjumput beberapa rumput yang terserak di sepatuku. Basah di siang sepanas ini. Rumput dan pepohonan seperti hati, punya caranya sendiri untuk menyimpan segala sesuatunya. Orang hanya akan melihat permukaan, tapi rumput dan pepohonan, demikian juga hati, tahu bahwa di dalam-dalam sana ada yang tidak sekadar dimunculkan. Seperti kita. Dan mungkin kita beruntung karena kita bisa seterbuka ini, atau ini kutukan kita, kita tetap saja merasa sendirian, terlalu mengharapkan perhatian. 

“Aku nyaman bersamamu, bercerita denganmu rasanya membuatku tidak perlu menjadi siapapun selain diriku sendiri." Aku memotong kalimatku, ketika aku melihatmu mengangguk. Tapi aku lanjutkan saja biar semua tuntas, "Sudah kubilang kan? Kita ini orang-orang jujur.”

“Ya! Ya! Ya! Dan rusak!"

"Dan parah!"

Kamu menatapku, binar mata yang berbeda dari tadi. Binar yang lebih rumit, antara nakal, kesepian, dan menunggu sesuatu yang tak mungkin datang, atau harapan, atau mungkin saja kejutan yang tak disadari sebelumnya.

"Ehm, tahu gak?” Kau mengambil sebutir permen Gulas dan memasukkannya ke mulutmu. Kamu tidak menawariku, tidak perlu.

“Apa?”

“Aku membaca hampir setiap tulisan yang kamu postkan di Kompas online, apalagi kalau cetak.”

Aku melayangkan mataku ke pucuk-pucuk pepohonan, seperti jemari yang mencoba meraih matahari, “Aku tahu!”

“Kok tahu?”

“Ya tahu saja.”

“Aku mengagumimu dari dulu. Tulisan-tulisanmu, gayamu, dan tentu saja caramu menyampaikan sesuatu dengan hidup.”

“Ehm, oh ya? Aku rasa tidak segitunya" aku akan menyempatkan tertawa, "Aku juga...” Aku menatapmu, kamu mengernyit, dan aku meneruskan, "... kepadamu! Aku rasa kamu adalah perempuan paling jujur, cantik, dan let it go. Itu menggairahkan."

“Emang kamu doyan perempuan?”

“Beberapa. Aku gak fanatik sama jenis kelamin kok.”

Kita bertatapan. Tanpa basa-basi aku mendaratkan bibirku di bibirmu. Kamu menutup matamu. Bibirku berpadu satu dengan bibirmu. Aku merasakan Gulas di dalam mulutmu. Jariku menyisir rambutmu. Sebentar saja tidak berlebihan, aku merasa kamu membalasnya, aku merasakan hangat dan lembut itu. Hangat dan lembut yang sedemikian lama kita simpan untuk masing-masing satu sama lain. Lalu kita bersegera saling melepaskan. Kamu diam, aku bisa melihatmu bersemu. Aku rasa aku juga. Kita berpandangan sejenak, lalu saling membuang muka. Dan tertawa. Di sebelah taman yang lain suami dan anak-anakmu bersama dengan pasangan lelakiku. Dan di sebelah sini kita berdua.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment