Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Seimbang

| No comment
Jack Sully terkubur dalam doanya kepada Eywa, sang pohon kehidupan, ketika Neytiri mengendap berjalan di belakangnya. Malam itu tenang, namun genderang hati para Na’vi berdentum dalam degup yang tidak beraturan. Ada ketakutan di sana, marah, kesedihan yang memekakkan, dan entahlah bersama dengan rasa kalut dan kegamangan yang mengisi setiap hati mereka, ada harapan yang walaupun hanya bernyala pelita namun masih berkerlip. Itulah doa Jack, dia berharap untuk bisa memenangkan pertarungan ini, manusia langit itu datang, melihat, dan siap menang. Dia adalah mereka juga. Tapi waktu mengubahnya.

Manusia langit itu siap merenggut semua kesempatan yang ditawarkan Pandora, terlebih sejak ditemukannya mineral sorga di Satelit itu. Jack berbalik menentang hasrat itu, kelahirannya dari bangsa manusia langit tidak menghentikan keinginannya untuk menyelamatkan kesempatan hidup para Na’vi. Dan Neytiri, bakal saman para Na’vi yang telah kehilangan ayahnya, tempat tinggalnya, bahkan mungkin masa depan tak tergambar dengan cukup jelas lagi baginya perlahan menyentuh pundak si pria. Dengan lembut dia mengatakan, “Eywa tidak memihak, Jack, dia hanya menjaga keseimbangan.”

Bukankah setiap orang punya harapan akan sebuah dunia di mana dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan/butuhkan, entah dengan konsep yang bagaimana. Namun sepanjang kesempatan hidupnya, manusia bertemu dengan – entah secara terpaksa atau rela – kesadaran akan ketidakmungkinan hal tersebut. Seiring dinamika pertumbuhan seorang manusia, ternyata manusia-manusia lain juga bertumbuh dalam dinamika masing-masing, bahkan bumi tempat yang didiami milyaran manusia ini juga selalu bergerak. Artinya jika awalnya pilihan hanya dua, dalam dua saat kemudian pilihan ini bisa menjadi hasil kuadrat dari jumlah pilihan yang sebelumnya, mungkin lebih! Maka mengejar keinginan itu seperti proyek menuju sebuah tidak terbatas.

Maka dalam latar yang demikian, apakah seimbang? Bukankah seimbang sering berarti tak memihak. Seimbang berarti tanpa pretensi, seimbang berarti titik tengah bandul yang tenang dan tenteram. Seimbang adalah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Seimbang berarti Salomo membelah bayi menjadi dua.

Namun sesungguhnya adakah yang demikian? Aku berani berkata tak ada yang begitu. Nyatanya dunia yang mengejar keinginan selalu menggerakkan dunia pada titik-titik yang tidak pernah berhenti sungguh-sungguh di tengah.  Selalu terlalu ke kiri, sedikit ke kiri, atau sebaliknya. Dan seimbang adalah ketika orang-orang tak lagi terantai di Goa Plato. Seimbang adalah idea yang mustahil untuk manusia yang terantai dan hanya mampu menangkap bayang-bayang.

Perang Salib, sebuah masa muram hubungan Islam dan Kristen. Revolusi Industri Inggris. Masa Barok yang romantis. Neil Amstrong dan sapaan kepada Mr. Gorsky. Teror 11 September. Perang Irak yang dikecam habis-habisan oleh dunia. Globalisasi dan Neoliberalisme. Tidakkah semua cerita raksasa itu cukup menunjukkan bahwa titik seimbang mungkin tak pernah ada.

Dan Neytiri masih duduk di sana dengan harapan akan seimbangnya. Pertarungan Na’vi dengan manusia langit jelas menunjukkan ketidakseimbangan. Mereka memegang panah, sedangkan para manusia langit itu bersenjatakan teknologi. Mungkin Neytiri tidak sadar bahwa sebuah rudal yang dimiliki manusia langit itu mampu menghancurkan separuh Omaticaya, sekalipun suku itu dianggap memiliki hubungan terdekat dengan Eywa dibandingkan suku lain di Pandora. Berbicara keseimbangan sebenarnya adalah berbicara bagaimana Na’vi dan para manusia langit itu bisa duduk dan makan bersama dengan tawa. Namun mungkinkah pertemuan itu terjadi. Hanya film-film romantis tentang Natal, atau film-film anak muda gaul yang berakhir indah, karena nyatanya dunia tak pernah menggantung manis di posisi tengah. Manusia goa itu tetap manusia goa. Dan mungkinkah Hobes dengan teorinya bahwa manusia memang dasarnya bangsat itu benar, kebaikan nyatanya akan kalah.

Mari berjalan di sebuah TK ketika mereka pulang sekolah, tawarkan sebuah gulali kepada salah satu anak, tawarkan dia antaran pulang jika kamu justru tak dianggap penculik anak. Cobalah datang ke bank dengan pakaian compang-camping dan mintalah orang-orang itu membagikan uang mereka kepadamu yang menderita, jika tidak diusir sebelum bahkan sebelum masuk oleh para sekuriti. Ketika kamu adalah HRD McD dan tiba-tiba kamu menanam seribu pohon, yakinlah lebih banyak yang akan curiga daripada memujimu.

Maka dengan segala gejala ini, kita masih ingin mengatakan seimbang? “Halo!”

Mari mengulik satu demi satu. Apolo 11 naik ke bulan setelah kegagahan Rusia di keantariksaan, setelahnya pun teori konsprasi adalah isu yang berhembus keras menyelimuti pendaratannya. Setelah kekuatan ekonomi yang begitu luar biasa mencengangkan dengan investasi mereka yang berhembus dalam angin keras globalisasi, nyatanya kita bertemu kerusuhan di Seattle, pun sesudahnya kerusuhan itu gagal sekalipun berpotensi berhasil. Katanya para demonstran itu lebih tertarik untuk disorot media. Dalam kedigdayaan Bakrie Group ada Lapindo yang enggan berhenti. Setelah masa kejayaan para rabi, muncullah Yesus yang kontroversial, dalam masa keemasannya, Yesus justru dijatuhkan oleh seorang muridnya, dan sesudahnya justru kekristenan muncul dan menyebar seperti spora di bawah tanah. Mesir yang digdaya pada masa awal peradaban dunia akhirnya hilang. Alexander sang penakluk pun mati muda, dan Yunani hanya menyisakan bahasa yang abadi bersama para filosofnya. Persia, Romawi, satu per satu hancur. NAZI berakhir. Majapahit hanya menyisakan beberapa candi di Trowulan. Masa penjajahan itu hanya cerita manis tentang kejahatan penjajah dan keelokan para pahlawan.

Dan apa yang kemudian? Banal! Banal! Para posmodernis itu bergerak makin ke tengah. Uang tetap berkuasa. Amerika tetap negara terbesar. Orang Yahudi masih pintar-pintar.

Namun mari bernapas sejenak. Ambillah secangkir kopi dan sebatang Sampoerna. Mari duduk dan melihat. Bukankah jika kita sadari sesungguhnya ini pun pergerakan dari yang ada sebelumnya. Bandul itu tidak hendak berhenti pada masa sebelumnya, namun bergandul ke arah sebaliknya. Maka tak salah Jack Sully berdoa, karena para manusia langit sudah terlampau berkuasa. Saatnya memikirkan titik seimbang adalah saatnya untuk menggerakkan bandul itu ke arah yang sebaliknya. Ketika para pahlawan Na’vi tak mampu membendung serangan manusia langit, tiba-tiba alam yang  menggerakkan dirinya. Para leonopteryx menyerang pesawat-pesawat, para titanothere kepala martil menyerang bagian darat.

Bukankah itu justru cara Eywa untuk menjaga keseimbang Pandora. Eywa justru memihak dalam keseimbangan yang dijaganya. Ini bukan cerita tentang kemenangan para Na’vi melawan manusia langit, ini alah cerita tentang keseimbangan yang mati-matian dipertahankan Eywa. Jika Eywa benar-benar dewa, pasti Eywa tahu tentang kedatangan  manusia langit ke Pandora. Eywa toh membiarkannya, karena ada yang lain yang ingin diseimbangkan di Pandora, kepada manusia atau kepada para Na’vi, atau kepada Pandora sendiri.

Maka mari melihat ke sekeliling kita, mari melihat mereka yang menderita, yang kecil, yang miskin itu dengan seksama. Kita melihat apa yang jadi ujar Sang Qohelet:

"Tak ada kesenangan di dalamnya!",  matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap, dan awan-awan datang kembali sesudah hujan, penjaga-penjaga rumah gemetar, dan orang-orang kuat membungkuk, dan perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya, dan yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur, dan pintu-pintu di tepi jalan tertutup, dan bunyi penggilingan menjadi lemah, dan suara menjadi seperti kicauan burung, dan semua penyanyi perempuan tunduk, orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan, pohon badam berbunga, belalang menyeret dirinya dengan susah payah dan nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi karena manusia pergi ke rumahnya yang kekal dan peratap-peratap berkeliaran di jalan, rantai perak diputuskan dan pelita emas dipecahkan, tempayan dihancurkan dekat mata air dan roda timba dirusakkan di atas sumur, dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.  Kesia-siaan atas kesia-siaan.

Jangan-jangan itulah mengapa kita hidup di dunia ini. Kita sebenarnya adalah para penjaga keseimbangan dunia bersama dewa-dewa kita. Dan kita tidak punya cara lain dalam menjaga keseimbangan ini selain dengan memilih pihak. Dan sayangnya pilihan kita adalah pihak yang lemah bukan pihak yang berkuasa. Memilih hidup artinya memilih resiko. Demikianlah konon isi surat panjang sang ayah di The Orange Girl milik Jostein Gaarder. Memilih hidup artinya  memilih keseimbangan yang berpihak.

Mungkin untuk tugas inilah agama tercipta, pemerintahan terbentuk. Agar mereka menjaga keseimbangan. Bukan agar Salomo membelah bayi itu menjadi dua, tetapi justru supaya bayi itu bertemu ibu aslinya. Bahkan para penegak hukum itu. Tidakkah kau ingat kepada Atticus yang akhirnya tak mempermasalahkan pembunuhan Boo Radley kepada Bob Ewel. Andai saja itu Jem, tentu Atticus –walau menangis– tetap akan membawa anaknya ke penjara. Bahkan seorang seperti Atticus pun tahu terlalu jahat membunuh para mockingbird itu. Dan itulah yang akhirnya dipahami Scout kecil. Entah dengan apa pun kita menyebut keseimbangan itu, Kebenaran, Keadilan, Kejahatan, Idealisme, Modern, Posmodern, Cinta, Jazz, Kontemporer, Makrifat, Barok, Romatis, Kemerdekaan, Kasih, Pemberontakan, Pelanggaran, Ekeltika, Punk, atau entah apa.

Keseimbangan yang memihak itulah, menurutku, yang membuat Neytiri, Jack Sully, Galileo, Leonardo da Vinci, Sidharta Gautama, Socrates, Ayub, Nietzche, Robert Langdon, Saladin, Gandhi, Yesus, Kierkergaard, Harper Lee, Jostein Gaarder, Juno, bahkan Kick Ass kompak berkata “I see you!”

“But for me is waking up beside you
To watch the sunrise on your face
To know that I can say I love you
In any given time or place
...
You’re the place my life begin
And you’ll be where it ends
I’m flying without wings”
(versi Rubben Studdard, bukan Westlife)

Tags :

No comments:

Post a Comment