Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Sebuah Minggu Biasa

| No comment
"Gak jadi berangkat to?" Pria itu separuh kesal melihat si perempuan belum berdandan. Wajahnya tak begitu cantik, perut itu pun sudah menggelambir ke mana-mana. Rokok di mulutnya tinggal separuh ketika akhirnya dia bangkit dan tersenyum terlalu manis, "Ke mana mas?"
"Sembarang, pokok nggak di sini!"

"Manusia tidak hanya makan dari roti saja, tetapi dari semua yang keluar dari mulut Allah!"
Seorang pendeta muda dengan berapi menceritakan sebuah kisah di bagian tertentu Alkitab. Dasinya yang kotak-kotak biru putih jelas tidak pas dengan kemeja ungunya. Tangannya menggenggam mikrofon dengan tegas. Entah apa yang dilakukannya, hampir semua orang melihatnya dengan terpesona.
"Amen!" riuh suara orang-orang itu, sahut menyahut seperti paduan suara kanon. 
Beberapa kalimat lagi dan mereka bertepuk tangan dan menggeleng-gelengkan kepala dengan kagum, tersenyum, dan bersorak gembira. 
Suara instrumen piano di belakangnya menambah magis suasana pagi itu.

Mereka sudah berboncengan, perempuan itu merangkul si laki-laki di perut. Rumah ditinggal sepi. Dua orang anak dengan wajah tak terurus memandang saja dari balik jendela kamar. Hanya sebuah teralis berkarat dan kelambu tipis yang memisahkan mereka dari udara dingin di luar. 
"Mbak, ibu ninggali apa?"
"Ini dari Oom Wisnu" kakaknya menunjukkan selembar duapuluh ribuan di tangannya, "Kamu yang masak nasi ya!"
Yang lebih kecil hanya mengangguk. Dia sudah tahu takarannya sekarang. Satu gelas beras satu gelas nasi. Jangan lupa beras dicuci dulu sampai tidak ada sisa sekam. Lalu tinggal menancapkan ke listrik, menekan tombol ke bawah sampai lampunya berubah merah. 
Si kecil bangga karena sekarang sudah bisa menggoreng telur mata sapi. Ibunya kemarin mengajari. Tumben tidak dengan marah-marah.
"Dibalik bu?"
"Belum! tunggu sampai agak keras, itu kuningnya bagus."
Setiap beberapa detik dia bertanya hal yang sama. Akhirnya ibunya meninggalkan irisan kangkung dan melihat sebentar ke arah wajan, "Pintar! Belum, Nak! Sebentar lagi!"
Gadis kecil itu tidak akan melepaskan sutil dari tangannya, dia tidak mau sekali lagi sutil panas itu menempel di lengannya seperti terakhir kali. Dia tahu ibunya tidak senang kalau dia banyak bertanya. Tapi dia mengambil resiko terus bertanya. Kalau telur ini gosong, dia jelas akan mendapat masalah.
Tapi toh dia berhasil. Dia mendapatkan satu pujian lagi dari ibunya.
Dia merasa ibunya terlampau ramah hari itu. Dan untuk keramahan ibunya dia memberanikan diri untuk tersenyum lebih lebar.
"Satu lagi ya, buat Mbak Ninis!"
Dia mengangguk. Ibunya balas tersenyum. Bukankah ibunya sangat cantik.

"Mbak berapa gelas nasinya?"
"Satu saja!"
Beberapa detik kemudian mbaknya mendekat, "Dua gelas saja! Atau tiga tidak apa-apa, siapa tahu nanti ibu dan Oom Wisnu ikut makan di rumah."
"Lah gak makan di luar ta?"
"Siap siap saja, nanti kalau lebih kan bisa dibuat nasi goreng."
"Berarti airnya juga 3 gelas?"
"Iya lah!"
"Mbak mau ke mana?"
"Sebentar!"

"Kekudusan adalah hal yang terus menerus harus dijaga!"
Pendeta muda itu berteriak cukup keras. Orang-orang mengangguk-angguk, mereka tidak terhenyak kaget dengan teriakan itu, mereka sudah hapal gaya pendeta muda itu.
"Jangan sampai hanya karena secuil roti, sesuap nasi, kita melupakan Tuhan! Tuhan berfirman jangan khawatir akan hari esok. Tuhan kita kaya, dia akan mencukupkan apa pun yang menjadi kebutuhan kita."
Serempak kata "Amen!" menggema seisi ruangan. 

Jam sembilan lewat sepuluh. Si kecil masih bermain tanah di luar, belum juga mandi.
Kakaknya belum juga kembali.

"Percayalah! Iman! Itu kuncinya! Amin!"
Dan segera drum dipukul dengan nada yang penuh semangat, seorang worship leader berjalan tegas ke depan dan segera menyanyikan, "T'rimakasih Yesusku, T'rimakasih Yesusku! Puji Syukur hanya bagi Tuhanku! Puji Syukur hanya bagi Tuhanku!" 
Berikutnya ketika sebuah pujian lembut dilantunkan, pendeta muda itu berdoa.

Kakaknya kembali dengan dua potong tempe dan dua sachet pembalut. Si kecil geli melihatnya. 
"Ayo kita goreng tempenya!"
"Aku sudah bisa goreng telur!"
"Iya tapi hari ini kita makan tempe, kemarin kan sudah makan telur! Ya kan!"
Dia meninggalkan permainannya.
Menggandeng tangan kakaknya, dalam hati dia tertawa-tawa melihat pembalut itu.

Si kecil menyalakan dua buah lilin. Sudah beberapa hari ini pulsa listrik mereka habis. 
Baru saja dimatikan korek itu, suara permisi muncul di pintu. Dia tidak berani menjawab hanya diam di tempat. Namun tamu itu segera masuk dan duduk. 
"Loh, Sari kok gelap-gelapan sendirian? Mana Ibu?"
Si kecil hanya diam saja.
"Sudah makan?" Tanya perempuan yang bersama dengan pria itu. Mereka guru Sekolah Minggu dan Pendetanya.
"Nih, Tante Emi bawakan Ayam sama burger, mau kan?"
Si kecil tetap tidak bersuara hanya mengangguk.
"Eh kenapa ya tadi Sari gak ikut sekolah Minggu? Ditunggu teman-temannya lo?" Sahut Pak Pendeta dengan wajah ramah.
Sari hanya tertawa, tapi tidak menjawab. Dia tidak akan bercerita kalau ibunya sedang bersama Oom Wisnu tidur berdua di kamar belakang.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment