Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Sang Penari: Kadang Bahagia itu Menangis, Sedih itu Menari

| No comment
"Aku ora ngarti, aku mung joged!"Baru kali ini aku menuliskan review sebuah film di note. Bagiku karena film ini sangat istimewa. Inilah film Indonesia yang Indonesia, salah satu dari sekian film Indoneisa yang membuatku bergetar, terakhir aku  bergetar karena Opera Jawa yang sakit itu, dan keduanya ada kaitannya dengan menari. Terakhir aku mengguguk seperti malam ini adalah ketika menyaksikan The Reader, dan keduanya menunjukkan keluguan dalam sebuah genosida, The Reader untuk Nazi atas orang-orang Yahudi, dan Sang Penari untuk genosida terhadap orang-orang yang dituduhkan anggota PKI. Oh ya aku mengguguk juga ketika Salman mengibarkan bendera merah putih yang ditukar dengan sarung barunya dalam balutan nyanyian "Tanah Airku" tanpa instrumen di Tanah Surga Katanya. Ya filmnya sendiri memang sangat ambisius, tapi ada beberapa momen yang klik banget meremote kantung air mataku. Ternyata aku sering menangis untuk bangsa ini, hahaha!
Aku tadak sangat kesal dengan banyaknya film tai kucing dowo-dowo yang diproduksi Indonesia. Aku hanya membayangkan mereka yang menciptakan film-film seperti itu sedang kelaparan dan mereka kebetulan punya duit. Jadi mereka ingin menghabiskan uang untuk bersenang-senang dan meracuni penonton. Tenang saja yang kena racunnya kebanyakan groupisnya sendiri. Selera menonton memang berbeda, aku anggap itu kekayaan khazanah saja lah, daripada aku malah jadi orang sombong sok pintar dengan ngejudge mereka yang berbeda selera. Dan mereka yang kayak gitu pasti ada, tenang aja dasar dari sononya memang gitu. Kalau terlalu serius nanti malah gak suka sama Janji Joni, nah mulailah kebiasaan mblasar ke mana-mana terjadi dengan otakku. Ayo konsen, fokus! Gara-gara gak fokus skripsiku dulu gak selesai-selesai, dan kali ini lagi-lagi begitu! Nah itu kan masih nggedabrus.
Film ini bercerita tenang kisah cinta segi-segi, ada kisah cinta Rasus dan Srintil, Srintil dan Ronggeng, Rasus dan ketentaraannya. Semuanya begitu kuat, sampai aku cukup diyakinkan bahwa kisah cinta masing-masing itu bukan sekadar masalah I love you yang plastik, tapi masalah I feel you yang masuk akal dan sangat understandable. Dukuh Paruk menjadi dukuh yang biasa-biasa saja setelah tempe bonkrek memangsa sang ronggeng terdahulu. Happy Salma yang anjrit cantik banget, dan ketika dia bilang "Suwun, Yu!" aku gak percaya itu Happy Salma saking anggunnya, anjrit! Demikianlah maka sang pemberi tempe bongkrek pun membuktikan diri bnahwa tempe bongkrek hanya kambing hitam. Tapi ternyata memang setelah mereka memakan tempe itu, mereka pun berangkat ke rumah baka di sorga bersama sang ronggeng. Srintil anak sang maestro tempe bongkrek yang berhasil mengubah sejarah dukuh yang ramai menjadi dukuh laiknya yang lain itu kemudian sebagai darma bakti dan atas dasar berbagai macam pertimbangan estetis dan etis dari sebuah tradisi masyarakat, sepuluh tahun kemudian menjadi ronggeng dukuh itu, Dukuh Paruk. Ramai kembalilah dukuh itu.
Nmaun kekasihnya tidak rela, karena Ronggeng itu seperti pohon kelapa, bisa dipanjat siapa saja, karena mitos bahwa berbaring malam-malam bersama ronggeng, halah bilang aja bersetubuh, akan mendatangkan berkat. Jadi bukan sekadar masalah napsu si hidung belang. Walau toh uang, kerbau, kambing tetap menjadi sarana mendapatkan malam-malam yang hangat itu. Demi rasa kesalnya Rasus mengambil saja peluang masuk menjadi anggota tentara.
Bukan di situ pusat konfliknya. Pusat konfliknya terjadi ketika warga Dukuh Paruk termasuk si ronggeng jelita yang buta huruf itu, ditawari untuk menjadi orang-orang parta merah pro rakyat oleh seorang Bakar (maaf Lukman Sardi, menurutku kamu gak meyakinkan). Dan ketika peristiwa jenderal-jenderal itu, maka orang-orang yang diduga ada sangkut pautnya dengan Partai Merah diseret dan kita tahu cerita kelam sejarah kita yang berpuntir dan dipuintir-puntir kian kemari itu, termasuk Mbak Srintil. Maka dariu sejak itulah kisah sang penari bukan sekadar kisah cinta dalam balutan sinetografi yang meyakinkan kita bahwa itu tahun 60an, tapi kisahnya naik level menjadi kisah sejarah, bukan sekadar sejarah kronologis, tapi sejarah kemanusiaan. Bagaimana seorang manusia yang menari dalam kepedihan dan bahagia dalam aii matanya.
Seorang teman manyarankan aku menonton film ini tahun lalu. Aku marah-marah kepadanya, bukan karena dia memaksaku, tapi aku marah karena dia cerita yang sebenarnya tujuannya mengiming-imingku. Setelah aku rampung menonton film ini, dia yang pertama kali kuhubungi. Dia hanya komentar, "Nonton i tu jadi ingat desaku (di Lampuing)" Mak  Jleb! Gak tahu kenapa mak jleb tapi aku merasa harus mencari alasannya, sekarang kebetulan kutemukan. Segi penyutradaraan dan naskah aku rasa anjrit ini keren coy! Ifa betulan pemula yang jempolan, jempolku semua tak kasihkan, kalo kurang semua jariku! Detailnya ajaib, semuanya menakjubkan. Walaupun ada beberapa bagian yang terkesan terburu-buru (aku tidak tahu apakah ini karena egek sensor, atau memang begitu  -tapi demikianlah nasibn penonton film versi TVRip masih ada sedikit ekor SCTV nyempil di kanan atas) tapi termaafkan oleh keseluruhan bagian. Departemen lain yang jempolan adalah departemen direksi artistik dan  musik, ini film walaupun hanya kutonton dari TV Toshiba 21" tapi membawaku beneran ke Dukuh Paruk, seolah-olah dukuh itu ada (mengingatkanku ketika aku tinggal 3 hari di Slawi untuk workshop Sintren, dan klop bahasa mereka, dan ada lagu Tuirun Turun Sintren, walaupun versinya beda dari yang dahulu kupelajari). Sjuman-Sjuman itu memang manusia setengah dewa lah. Si Sugandi memang punya sentuhan malaikat di tangan dan matanya. Lansekap jalan tanah di tepi sawah dengan Srintil yang berdaandan merot dan Sakum menari, menjadi ending yang menggugukkan air mata yang sedari tadi seperti tersekat dalam bilik sakit di sepanjang dada. Make Up, kostum, no other word ... Amasing! Editing mungkin agak sedikit ehm ehm ya, tapi secara umum cakep banget.Departemen akting, nah ini yang menghidupkan gugukanku. Prisa Nasution anjrot Prisa kamu emang gak cuma cantik, kamu emang punya otak! Dan kamu punya kosagerak, kosakata, kosatutur, kosamimik, dan kosa-kosa yang lain yang walaupun belum seperti Meryl Streep (gak ada yang sepertinya, titik!) tapi semuanya terasa cukup. FTV-FTVmu akan kutonton setelah ini, cantikku! Oka dengan suaranya yang berubah dari paruhan awal dan paruhan akhir masa hidupnya juga keren abis dan believable. Keduanya ngapak dengan ngapak menurutku, secara aku bukan orang ngapak, jadi bagiku sama baen lah. Tapi  yang  lain yang berusahan menjawa-jawakan diri termasuk Lukman Sardi, maaf dalam hal ini agak kurang gimana gitu menurutku. Masalah kebanyakan aktor Indonesia mereka cuma mengandalkan rasa dan akting, dan sangat kurang riset. Mereka tidak seperti Meryl yang meluangkan waktu belajar biola untuk Music of the Heart, Brody yang belajar piano empat jam sehari untuk The Pianist, Portman yang belajar ballet untuk Black Swan, Anne Hathaway yang menguruskan badan sampai 20 pon untuk Les Mis, dan jutaan meter lagi daftarnya. Tapi okekah aku ngomong karena aku berharap merek agak berpuas dengan capaian sekarang.Akhirnya impresi atas film ini kembali mengingatkanku pada sebuah masa, ketika aku berkata kepada anak-anak belajarku, "Belajarlah! Supaya kamu tidak sekadar jadi orang yang ikut-ikutan!" Dan ungkapan itu ungkapan cinta buatku.  
Tags :

No comments:

Post a Comment