Di sebuah desa kecil yang tenang di tengah hutan, hiduplah seorang pemuda bersama ibunya yang sudah renta. Sang pemuda sangat rajin bekerja, setiap hari dia membantu ibunya memetik pakis di dalam hutan. Ketika matahari terbit di sebelah timur hutan, dia sudah menggelar pakis itu di pasar.Tidak perlu menunggu siang, biasanya pakis-pakis itu sudah habis. Sore hari dia akan membantu para tetangganya, memerah susu, menanam pohon buah-buahan, mencari rumput. Orang-orang sepenjuru desa menyukainya.
Pada suatu hari, dia tidur lebih lama daripada biasanya. Ketika terjaga dia sudah menemukan sang ibu sudah tidak di tempatnya. “Ibu pasti sudah berangkat.” Katanya pada diri sendiri. Dia pun dengan tergesa berangkat ke hutan. Ketika sampai di tengah perjalanan dia baru sadar bahwa dia belum mengunci pintu rumahnya. Tapi dia tidak memutuskan kembali, dia harus menemukan sang ibu.
Ketika sampai di hutan tempat mereka biasa mencari pakis, ternyata sang ibu tidak ada di sana. Si pemuda semakin panik. Dikitarinya tempat itu beberapa kali. Ada pakis-pakis yang bekas baru saja dipetik, tapi tidak ada ibunya. Maka dia masuk semakin dalam ke hutan.
Di pusat hutan, dia melihat dari kejauhan sesosok perempuanterbaring di tanah. Itu ibunya. Maka sang pemuda segera bergegas lari ke arah perempuan itu. Tapi begitu dekat, dia melihat sosok hitam kelam yang menakutkan membayang semakin jelas tampak seperti sedang mengendus-endus ibunya. Pemuda itu berhenti. Sosok hitam itu berjari duri-duri hitam yang panjang, tajamnya seperti pisau-pisau yang baru diasah. Jemari sosok hitam itu mengelus pipi sang ibu. Sang pemuda pun menggigil ketakutan.
“Siapa kamu?” Teriaknya dengan suara yang bergetar. Sosok hitam itu seperti terbang dan begitu cepat sudah berada di depan mukanya. Pemuda itu mencium aroma hangus yang begitu pekat dari mata hitamnya yang kosong.
“Aku Kematian!” Sosok hitam itu memiringkan kepalanya, dan segera bergerak mengelilingi pemuda itu seperti elang hendak menyergap mangsa. Seketika pemuda itu bergidik. Rambut-rambut di tengkuknya meremang berdiri.
“Apa yang kau lakukan kepada ibuku?”
“Aku? Aku tidak melakukan apa-apa.”
“Bohong!”
“Dia hanya tertidur.” Lalu sosok hitam itu tertawa sekeras-kerasnya. Saking takutnya pemuda itu merasa seperti ada duri-duri sebesar jarum yang menusuk-nusuk leher hingga lengannya.
“Apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya?”
“Menyelamatkan?” Sosok hitam itu berhenti sejenak. Lalu dia tertawa sekeras-kerasnya lagi. Kali ini burung-burung sampai beterbangan oleh derai tawanya. “Kau harus memberikan orang lain sebagai gantinya.”
“Tapi …”
Dan sosok hitam itu melilit tubuhnya. Dia semakin merasakan dingin yang teramat sangat. Bau hangus itu merebak semakin tajam, ditambah anyir luka bernanah dan aroma lain seperti petai yang dikunyah, telur busuk, dan kotoran manusia.
“Baiklah kamu tunggu di sini!”
Pemuda itu berlari menuju desanya. Dia berlari sekencang-kencangnya hingga lututnya panas. Napasnya tersengal luar biasa. Mukanya merah dan matanya mengeluarkan air perih. Dia berlari menuju rumahnya. Dia begitu terkejut ketika menemukan Kematian sudah duduk di ruang tamunya.
“Kamu lupa mengunci pintu. Duduklah dulu, mungkin kita bisa minum teh bersama-sama. Tapi aku lebih suka darah.” Kata Kematian kepadanya. Pemuda itu tidak berani melihatnya. Dia berlari menerobos sosok hitam itu. Dia mengambil pisau dan parang. Dengan dua benda itu di tangannya, dia berusaha menebas Kematian. Tapi kematian justru menguap seperti asap. “Kamu tidak bisa membunuh Kematian, Nak!”
Akhirnya dengan ketakutan dia berlari keluar. Seorang tetangga yang baru bangun dan menyapu rumah melihatnya. Sang tetangga melambaikan tangan kepadanya. Pemuda itu berlari mendekatinya, tanpa basa-basi dan pikir panjang ditebasnya leher tetangganya. Darah mengucur deras dari leher yang terpenggal itu. Matanya mendelik menatapnya. Ditendangnya kepala itu jauh-jauh. Tiba-tiba Kematian sudah berada di sana, tangannya yang tajam berubah seperti mangkuk. Ditadahnya darah dari badan tanpa kepala itu, dan ditenggaknya darah itu. Ketika darah itu surut, Kematian tertawa lagi sekeras-kerasnya seraya berteriak, “Lagi!”
Sang pemuda merasa mual. Dia muntah, hanya air dan lendir yang keluar. Tenggorokannya sakit seperti dikeruk dengan garpu. Perutnya seperti ditusuk-tusuk beling. Dalam kondisi yang demikian, dia berlari gontai ke arah pasar. Ketika dilihatnya banyak orang itu, ditebasnya leher semua orang itu. Beberapa langsung mati, beberapa yang lain sempat berkejat-kejat seperti ayam disembelih. Satu pasar habis dipenggalnya. Entah bagaimana Kematian tiba-tiba sudah di sana. Dia mengeruk darah dari leher-leher itu dengan tangannya yang serupa mangkuk. Ketika darah orang-orang itu kering, dia tertawa sekeras-kerasnya, “Lagi! Lagi!”
Akhirnya pemuda itu berlari ke segala penjuru, ditebasnya semua leher orang yang dia temui. Hingga semua orang pun mati. Dan Kematian pun masih berteriak terus lagi-lagi. “Lagi! Lagi!” Pemuda itu memandang berkeliling dan tak ada seorang pun yang tersisa. Akhirnya dia pun menebas sendiri lehernya. Kematian tertawa sekeras-kerasnya.
Ketika itulah sang ibu di dalam hutan terbangun dari tidurnya. Dia pulang membawa pakis-pakis di tangannya. Dia terkejut ketika didapati desanya begitu sepi, mayat-mayat bergelimpangan di jalan. Darah dan merah di mana-mana. Dan dia melihat Kematian sedang mengeruk darah mereka dan meminumnya.
“Kematian, apa yang kau lakukan di sini?” Kematian menoleh kepadanya, beranjak terbang mendekat, “Hai, perempuan! Kau mengenalku, hebat sekali!”
Perempuan itu menatap sosok hitam itu dengan kesal menuju marah. “Apa yang terjadi di sini?”
“Anakmu tidak mau mendengarkan, dia termakan pikirnya, dipikir aku akan memakanmu. Dan kau tertidur tak segera bangun. Dia menawarkan segalanya sebagai gantinya. Bukankah anakmu itu sedemikian lucu, ketakutan dan kekhawatirannya kepadaku membuatnya melakukan semua ini.”
“Seberapa lama aku tidur?”
“Secukupnya waktu yang aku butuhkan untuk membuat tempat ini serupa kuburan. Hai mengapa kau mengenalku? Bagaimana mungkin kau tidak takut kepadaku?” Kematian terbang menyelubungi perempuan renta itu. Tapi dia tidak bergeming. Bahkan tidak tercium aroma ketakutan dari napasnya.
“Kematian, apa alasanku untuk takut kepadamu? Aku sudah melakukan perjalanan cukup bahkan berlebih bersama Kehidupan.”
“Sial sekali Si Kehidupan itu!”
“Aku rasa kau berlebihan bermain-main kali ini. Anakku itu hanya seorang pemuda. Dia bahkah belum menjadi seorang lelaki.”
Kematian tertawa sekeras-kerasnya, “Baiklah! Baiklah! Apa yang kau inginkan untuk kulakukan sekarang.”
Perempuan itu diam. Dia memandag berkeliling. Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu menatap kematian persis di matanya, “Akulah yang sudah waktunya bersamamu. Bukan mereka ini. Ambil aku dan kembalikan mereka.”
“Aku tidak bisa!”
“Kamu bisa!”
Kematian tertawa sekeras-kerasnya. Dia menjentikkan jarinya. Waktu berpuing. Kepala-kepala yang terpenggal itu kembali menyatu, dan darah kembali mengisi mereka. Kematian pun menggendong perempuan itu bersamanya. Tapi di dalam dekapannya perempuan itu mengatakan kepada kematian, “Katakan kepada anakku, semua ada waktunya. Tidak perlu takut!” Kematian tersenyum dan mengangguk, “Kau bisa percaya kepadaku, kawan!”
No comments:
Post a Comment