Sebuah titik hujan dari angkasa akan jatuh di sebuah kaleng cat berisi air atau di samudera raya maha luas. Olehnya sebuah riak tercipta.
Kejahatan mungkin beristirahat sejenak, tapi tidak untuk seterusnya. Adalah demikian alamnya bahwa kejahatan akan selalu ada. Orang berusaha berbuat sebaik-baiknya, tapi nyatanya mereka yang berminpi bahwa kejahatan akan hilang sama sekali, adalah seumpama khayalan mempertemukan Utara dengan Selatan. Atas sebuah pilihan apa pun, akan selalu ada dampaknya, dan yang buruk tak akan mungkin terhindarkan. Terimalah ini sebagai kenyataan, demikianlah hukumnya.
Beberapa orang memilih untuk menjadi nihilis: untuk apa lelah berjuang, jika toh akhirnya kejahatan tak akan tuntas, lebih baik berhenti sekarang daripada nanti. Untuk apa memperjuangkan kehidupan jika akhirnya akan mati juga. Bukankah lebih nyaman untuk tidur dan membiarkan semuanya lalu begitu saja. Peduli amat dengan dunia persilatan di luar sana. Lebih baik menikmati yang ada sekarang, daripada menyesal ketika hidup ini habis musnah. Peduli amat!
Yang lain memilih menjadi pejuang. Mereka bertarung mati-matian siang dan malam, membuat dunia menjadi lebih baik. Mereka berharap segala sesuatu segera tertata dalam tatanan kasih dan harapan. Berharap tindakan mereka meriak ke kanan dan ke kiri, dan berharap riak ini semakin besar dan besar. Dan pada suatu saat nanti akan ada cerita tentang kehidupan yang lebih baik dan sejahtera untuk semua. Namun ketika semuanya tidak serba beres, mereka menjadi marah: kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada keadaan, kepada bintang di langit. Dan mereka menjadi sedemikian pahit.
Namun bagi yang lain, dia cukup menikmati hari ini, bangun dengan jejari kaki yang kesemutan. Membuka jendela dan merasakan matahari masih seperti biasanya, hangat. Lalu dia melihat tempat tidur dan mengambil napas panjang,"Beres-beres lagi!" Dan dia bergerak menarik sprei itu ke ujung-ujung persegi panjang kasurnya. Menata bantal dan menyapukan penebah. Lalu dia keluar dari kamar dan menutup pintu. Ada yang menemukan istrinya sedang memasak sup wortel dan buncis, yang lain menemukan anaknya masih berbaring di kasur, yang lain menemukan anjing atau kucingnya sudah berputar-putar di depan pintu minta dipeluk, yang lain hanya menemukan laptopnya masih menyala, dia pasti lupa mematikan semalam. Lihat, dia tersenyum.
Dia akan keluar rumah. Melakukan pekerjaan sehari-hari dan masih saja terpesona bahwa setiap hari selalu ada cerita baru dari hidup yang begitu-begitu saja. Dia bertemu dengan tetangga dan menyapa mereka dengan senyum manis. Beberapa tetangganya membalas senyum, yang lain membuang muka. Tapi Dia tersenyum saja. Dalam hatinya berpikir, "Besok kalau aku berulang tahun, dia akan kukirimi kotakan atau rantangan."
Pada suatu saat, kejahatan besar terjadi. Dia ikut berjuang untuk memperbaikinya. Jujur dia sebenarnya ketakutan luar biasa, tapi dia berangkat juga ikut melawan. Dia tidak berhenti berharap yang terbaiklah yang terjadi. Ada kalanya perjuangan ini berhasil, kadang tidak. Tapi dia tersenyum. Tanpa disadarinya, bersama waktu perjuangan itu menjelma satu dengan dirinya. Kadang, dalam perjuangan ini, dia harus berhadapan dengan kematian, kadang dia harus memilih pulang sekalipun ingin berjuang, karena orang tua di rumah memintanya pulang, atau karena anak-anaknya sakit. Tentu saja dia sempat kecewa, karena perjuangan ini sudah menyatu dengan dirinya. Segera dia mengatakan kepada dirinya, "Ada perjuangan yang lain." Dan hal itu tidak membuatnya berhenti melakukan kebaikan yang mampu dilakukannya. Kadang terlalyu kecil, apa salahnya, inilah dia sekarang. Kekecewaan itu menguap bersama laju kereta.
Pada malam-malam ketika hujan kembali gerimis, dia duduk bersama istri dan anak-anaknya di depan televisi. Tiba-tiba istrinya mengatakan, "Tante sakit, kita besok ke rumahnya, ya?" Dia mengatakan kepada istrinya, "I love you!" Anak-anaknya cekikikan, istrinya tersenyum menjawab, "I love you, too!" Anak-anaknya kini berseloroh, "Adik baru! Adik baru!" Saat acara televisi itu selesai, mereka menuju kamar masing-masing. Sang istri akan mengatakan, "Tagihan listrik naik." Dan dia akan bernapas panjang menjawab, "Ya! Ya!". Sang istri tersenyum dan mengatakan, "Besok tak buatin perkedel." Dan dia pun tersenyum menjawab, "Ya! Ya!"
Kejahatan mungkin beristirahat sejenak, tapi tidak untuk seterusnya. Adalah demikian alamnya bahwa kejahatan akan selalu ada. Orang berusaha berbuat sebaik-baiknya, tapi nyatanya mereka yang berminpi bahwa kejahatan akan hilang sama sekali, adalah seumpama khayalan mempertemukan Utara dengan Selatan. Atas sebuah pilihan apa pun, akan selalu ada dampaknya, dan yang buruk tak akan mungkin terhindarkan. Terimalah ini sebagai kenyataan, demikianlah hukumnya.
Beberapa orang memilih untuk menjadi nihilis: untuk apa lelah berjuang, jika toh akhirnya kejahatan tak akan tuntas, lebih baik berhenti sekarang daripada nanti. Untuk apa memperjuangkan kehidupan jika akhirnya akan mati juga. Bukankah lebih nyaman untuk tidur dan membiarkan semuanya lalu begitu saja. Peduli amat dengan dunia persilatan di luar sana. Lebih baik menikmati yang ada sekarang, daripada menyesal ketika hidup ini habis musnah. Peduli amat!
Yang lain memilih menjadi pejuang. Mereka bertarung mati-matian siang dan malam, membuat dunia menjadi lebih baik. Mereka berharap segala sesuatu segera tertata dalam tatanan kasih dan harapan. Berharap tindakan mereka meriak ke kanan dan ke kiri, dan berharap riak ini semakin besar dan besar. Dan pada suatu saat nanti akan ada cerita tentang kehidupan yang lebih baik dan sejahtera untuk semua. Namun ketika semuanya tidak serba beres, mereka menjadi marah: kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada keadaan, kepada bintang di langit. Dan mereka menjadi sedemikian pahit.
Namun bagi yang lain, dia cukup menikmati hari ini, bangun dengan jejari kaki yang kesemutan. Membuka jendela dan merasakan matahari masih seperti biasanya, hangat. Lalu dia melihat tempat tidur dan mengambil napas panjang,"Beres-beres lagi!" Dan dia bergerak menarik sprei itu ke ujung-ujung persegi panjang kasurnya. Menata bantal dan menyapukan penebah. Lalu dia keluar dari kamar dan menutup pintu. Ada yang menemukan istrinya sedang memasak sup wortel dan buncis, yang lain menemukan anaknya masih berbaring di kasur, yang lain menemukan anjing atau kucingnya sudah berputar-putar di depan pintu minta dipeluk, yang lain hanya menemukan laptopnya masih menyala, dia pasti lupa mematikan semalam. Lihat, dia tersenyum.
Dia akan keluar rumah. Melakukan pekerjaan sehari-hari dan masih saja terpesona bahwa setiap hari selalu ada cerita baru dari hidup yang begitu-begitu saja. Dia bertemu dengan tetangga dan menyapa mereka dengan senyum manis. Beberapa tetangganya membalas senyum, yang lain membuang muka. Tapi Dia tersenyum saja. Dalam hatinya berpikir, "Besok kalau aku berulang tahun, dia akan kukirimi kotakan atau rantangan."
Pada suatu saat, kejahatan besar terjadi. Dia ikut berjuang untuk memperbaikinya. Jujur dia sebenarnya ketakutan luar biasa, tapi dia berangkat juga ikut melawan. Dia tidak berhenti berharap yang terbaiklah yang terjadi. Ada kalanya perjuangan ini berhasil, kadang tidak. Tapi dia tersenyum. Tanpa disadarinya, bersama waktu perjuangan itu menjelma satu dengan dirinya. Kadang, dalam perjuangan ini, dia harus berhadapan dengan kematian, kadang dia harus memilih pulang sekalipun ingin berjuang, karena orang tua di rumah memintanya pulang, atau karena anak-anaknya sakit. Tentu saja dia sempat kecewa, karena perjuangan ini sudah menyatu dengan dirinya. Segera dia mengatakan kepada dirinya, "Ada perjuangan yang lain." Dan hal itu tidak membuatnya berhenti melakukan kebaikan yang mampu dilakukannya. Kadang terlalyu kecil, apa salahnya, inilah dia sekarang. Kekecewaan itu menguap bersama laju kereta.
Pada malam-malam ketika hujan kembali gerimis, dia duduk bersama istri dan anak-anaknya di depan televisi. Tiba-tiba istrinya mengatakan, "Tante sakit, kita besok ke rumahnya, ya?" Dia mengatakan kepada istrinya, "I love you!" Anak-anaknya cekikikan, istrinya tersenyum menjawab, "I love you, too!" Anak-anaknya kini berseloroh, "Adik baru! Adik baru!" Saat acara televisi itu selesai, mereka menuju kamar masing-masing. Sang istri akan mengatakan, "Tagihan listrik naik." Dan dia akan bernapas panjang menjawab, "Ya! Ya!". Sang istri tersenyum dan mengatakan, "Besok tak buatin perkedel." Dan dia pun tersenyum menjawab, "Ya! Ya!"
No comments:
Post a Comment