Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Pulang

| No comment
Melewati lagi jalan ini. Entah sudah berapa tahun. Adikku berdiri saja di belakangku, diam, tersenyum. 
Entah berapa lama aku memandang mobil-mobil yang berhiliran itu, sampai adikku menepukku, "Ayo baksonya keburu dingin!"
Tidak ada yang istimewa di jalan ini, tidak ada kenangan yang sangat luar biasa, hanya sebuah perasaan aneh yang tiba-tiba meresap seperti air hangat di kantong teh, demikian basah demikianlah warna coklat keemasan itu meleburi airnya. Seperti perasaan demikian: aku tahu bahwa itu akan terjadi, tapi ketika itu terjadi ternyata ada kenikmatan lain lagi dari yang semula kuduga.
Di jalan ini aku naik angkutan desa dulu ketika berangkat sekolah. Mobil Zebra bercat merah dengan kernet-kernet yang suka menggoda anak SMA, dan anak SMA itu pun senang digoda. Aku hanya akan duduk di ujung sambil menekan perutku, supaya gombalan sang kernat tidak membuatku terkencing saking lucunya. Aku ingat ada anak SMA Negeri 1 dulu, cantik, dan entah mengapa kami sering naik angkutan desa bersama. Bukan, bukan! Ini bukan cerita tentang kami, apalagi cerita cinta. Aku masih SMP dia sudah SMA. Aku hanya ingat bahwa dialah dulu yang sangat sering digoda oleh para kernet. Rambutnya pendek sebahu, di duduk persis di depanku, dia melatakkan buku-buku paket di pangkuannya, tangan kirinya dibiarkan bebas, sedang tangan kanannya memangku dagunya. Aku ingat seorang kernet berkata, "Mbak, lungguhe mbok aja kaya ngono, ketok kaya wong sedih! (Mbak, duduknya jangan seperti itu, seperti orang bersedih!)" Di sebuah kali lain dia naik dan seorang kernet berkata, "Waduh calon bojoku, rek! (Waduh calon istriku!)" Kadang para kernet itu menggratisinya saja. Memang jadi orang cantik itu banyak enaknya, demikian pikirku waktu itu. 

"Tukang baksonya betulan oneng!"
"Eh gak boleh ngomong gitu, rek!" Aku memotong kalimat adikku.
"Bukan gitu! Masak tadi aku pesan enam dikasih delapan, ya sudah aku terima saja. Pas aku kasih uangnya, aku bilang 56 ribu ya mas, tujuh kali delapan. Eh dia malah kayak bingung bilang, bukan mbak delapan kali tujuh. Gimana coba! terus dia ngotot bilang 58 ribu."
"Terus sampeyan juga ngotot dua ribu doang gitu?"
"Iya lah!" Dan dia tertawa nyekakak.
Dia mendahuluiku masuk ke rumah. Tapi aku menyempatkan diriku melihat berkeliling dahulu. 
"Sudah berbeda ya dengan dahulu?"
Iya, berbeda sekali. Pohon kemuning yang tumbuh di depan Mbah Gisah sudah tidak ada. Kami dulu bermain benteng-bentengan di bawahnya. Anak laki-laki akan memotong pelepah pisang dan menekuk-nekuknya, lalu membaginya tiga, mengepang dan menjadikannya pecut. Kami akan bersaing pecut siapa yang berbunyi paling keras, sedangkan anak perempuan akan membuat boneka-bonekaan dari pelepah pisang. #Ternyata sejak kecil kami sudah belajar tentang perbedaan gender.
Dulu jalan-jalan di depan rumah ini ditumbuhi kenikir. Ketika musimnya berbunga, sepanjang jalan akan terlihat hijau dengan sembul-sembul oranye. Dan kami sering menangkap kupu-kupu di sana. Kami bermain jumpritan (petak umpet) di tengah rumpun kenikir itu. Dan ibu biasa marah-marah ketika aku pulang dan bajuku bersemu-semu hijau karena daun kenikir. Tapi toh aku tak juga kapok.

"Sudah berapa tahun, Mas?"
"Tujuh!"
"Bagaimana Jepang?" 
Aku duduk bersama adikku, menyeruput teh hangat. 
"Jepang..." aku tertawa, "Yang jelas tehnya gak pakai gula!"
Dia tertawa.
"Kemarin aku mengafdrukkan foto-foto bapak dan ibu, aku buat gandakan jadi dua, kita masing-masing satu. Nanti sore diambil sama Mas Danang."
"Kalian tidak mengambil momongan?"
"Belum, masih mau dicoba lagi dulu beberapa tahun ini."
Aku mengangguk saja. 
Aku memandang wajah adikku, rasanya terlalu tua. 
Dia dulu gadis yang sangat cantik. Tapi tanggungjawab keluarga tampaknya mengguratkan kerutan lebih banyak dari biasanya. Aku sering mendengar suaranya di telepon, rasanya masih begitu muda. Aku masih membayangkan dia yang dulu berkuliah di IKIP dan begitu ceria dan cekatan, berlari-lari ke sana-sini mengurusi makalah, hingga banner pertunjukan musik kampus. Melihatnya sekarang, seperti membuatku merasakan nyeri, seperti ada jeli yang bergoyang-goyang di dalam dadaku, di dalam jeli itu ada pisau kecil yang tajam dan ngilu. 
Dia membacaku, dia bertanya, "Mikir apa, Mas?"
Aku menggeleng.
"Pulang itu ... seperti asing ya?"
Dia diam saja memandangku.
"Kita selalu romantis dengan apa-apa yang sudah lalu, seolah-olah semua yang di masa lalu itu sempurna. Dan kita pulang berharap menemukan kesempurnaan-kesempurnaan lama itu. Sampai kemudian kita sadar, ketika bertemu lagi dengannya, cerita itu tidak lagi sama. Ada kebahagiaan yang tertahan di sana, seolah-olah bahkan kita masih di sana. Seolah-olah waktu tidak berjalan, seolah-olah kita tidak bertambah tua. Tapi ada kesedihan juga, kesedihan mengenang. Kesedihan atas yang tidak ada."
Adikku meneteskan air mata. 
Aku mendengar isakannya. Aku membuang wajahku ke kiri, dan menenggelamkan diriku dalam bayangan-bayangan di benakku sendiri, bayangan yang entahlah membuatku semakin terpuruk dalam ngilu yang sangat dalam di benakku.
"Kenapa Mas gak pulang waktu ibu gak ada?"
Aku tak mengalihkan pandanganku. 
Adikku mengusap air matanya, lalu menarik napas panjang. Aku menatap matanya. Aku merasa mataku berkaca-kaca. 
"Maaf!" Ada yang tercekat di tenggorokan, dan demikian saja demi menebus rasa salah, aku berkata, "Aku akan berusaha lebih sering pulang setelah ini."
Adikku tersenyum, "Ah sudahlah, Mas, yang terpenting sekarang kita ketemu."
Dia berdiri, dan segera kembali cekatan seperti sebelumnya. Lalu mengomel-ngomel sendiri di meja makan, "Ke mana ini orang-orang ini kok belum pada datang, keburu dingin baksonya! Nanti kalau dimakan duluan, bilangnya apa! Wis repot-repot!"
Aku beranjak dari tempat dudukku membantu mengambilkan beberapa mangkuk. 
"Lea!"
Adikku menoleh.
"Gimana kabarmu?"
Adikku tersenyum meletakkan bungkusan bakso di salah satu mangkuk. 
"Aku bahagia, Mas! Dan aku juga kepingin Mas bahagia!"
Tags :

No comments:

Post a Comment