Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Peter

| No comment
Tersebutlah seorang anak yang bersekolah di SMA dengan SMK di kompleks sekolah yang sama. SMA itu berada di Kota Malang, beberapa kilometer di sebelah utara alun-alun kota. Sang anak mempunyai seorang teman bernama Priyatno, teman SMP-nya. Anak itu mengambil SMA, Priyatno mengambil SMK. Karena hanya mereka berdua yang berasal dari daerah yang sama, akhirnya mereka menjadi dekat, padahal di SMP dulu tidak begitunya. Dan si anak diperkenalkan Priyatno kepada teman-temannya, si anak merasa nyaman dengan teman-teman Priyatno. 

Suatu hari Priyatno memperkenalkan si anak kepada seorang anak lain, Peter. Peter berasal dari daerah Timur Indonesia, mungkin Kupang atau Flores. Priyatno menceritakan bahwa Peter adalah anak yang sejak kecil kurang kasih sayang. Orang tuanya entah di mana, akhirnya dia tinggal bersama neneknya. Tapi neneknya bukan seorang yang cukup baik juga di mata Peter. Peter sering dihajar, bahkan walaupun dia bersekolah di Malang, tidak selalu kiriman datang setiap bulan. Maka terbitlah iba hati si anak kepada Peter. Dan mereka menjadi kawan.

Peter sering memperhatikan si anak. Dan sering membuat si anak tertawa-tawa karena sebenarnya dia orang yang menyenangkan. Namun kadang di balik semua itu tiba-tiba Peter menjadi termenung sendiri. Di benak si anak, pasti Peter mencoba menutupi lara hatinya dengan guyonan-guyonannya. Dan hal seperti itu menyakitkan, karena si anak pun menyimpan banyak lara hati yang coba ditutupinya dengan tertawa. Maka dia berjanji dalam hatinya akan menjadikan Peter kawannya, memberikan kasih sayang yang selama ini tidak diberikan oleh keluarga. 

Pada suatu sore sepulang sekolah, si anak bermain ke tempat Priyatno. Peter ada di sana. Peter terlihat sangat senang. Peter pun menunjukkan sebuah majalah, isinya semua tentang Westlife, sebuah boyband dari Irlandia. Anak itu sebenarnya tidak tahu menahu banyak tentang Westlife, selain bahwa boyband itu punya lagu "Season in the Sun" yang menurut dia luar biasa. Peter bertanya kepada si anak, siapa personil Westlife yang dia sukai, dan si anak asal menunjuk saja, dan ternyata dia menujuk Shane. Peter pun mengatakan bahwa Shane adalah personil yang dia favoritkan, suaranya paling bagus katanya. Peter bertanya kepada si anak apakah dia ingin meminjam majalah itu, si anak menjawab tidak usah. Tapi Peter tampak mendesaknya. Akhirnya demi mengingat semua cerita tentang Peter dan keluarganya si anak mengiyakan saja tawaran Peter. Dibawanya majalah itu pulang. 

Semingguan kemudian anak itu bertemu lagi dengan Peter. Si anak senang karena Peter tampak nyaman dengan si anak, Peter selalu tampak bahagia ketika bertemu dengannya. Peter menanyakan apakah majalah Westlifenya sudah selesai, dan si anak mengatakan sudah, besok akan dibawakan ke sekolah. Tapi Peter mengatakan tidak perlu, Peter saja yang mengambil ke kos si anak, sekalian supaya tahu di mana si anak tinggal. Si anak mempersilakan saja. 

Pulang sekolah, Peter sudah menunggu. Mereka berjalan bersama ke kos si anak. Peter menceritakan banyak hal tentang Westlife, si anak sebenarnya tak benar-benar paham, tapi diiya-iyakan saja. Apa salahnya menyenangkan teman, pikirnya. Sampai di kos si anak, dikembalikanlah majalah Westlife itu. Peter juga tampaknya nyaman karena kos itu sepi. Jam-jam segitu memang rata-rata teman-teman kos si anak yang rata-rata sudah pekerja belum pulang.

Peter mengajak si anak bermain tembak-tembakan. Si anak bingung juga maksudnya bagaimana. Di benaknya selalu terngiang, "Peter kurang kasih sayang." Maka walaupun tidak mengerti yang dimaksudkan, disetujuinya saja permainan itu. Peter mematikan lampu kamar itu, si anak merasa tidak nyaman. Maka dihidupkan bohlam. Peter tidak keberatan. Lalu Peter membentuk telunjuk dan ibu jarinya seperti pistol. Dan tanpa ancang-ancang ditembakkannya pistolnya kepada si anak. 

"Kamu mati!" ujar Peter. 

"OK aku mati!" balas si anak kebingungan. 

"Kalau mati kamu tidur" 

Maka Peter mendekati si anak dan membimbingnya tidur di kasurnya. Si anak merasakan bingung bercampur hal yang aneh di perutnya. Seperti ada sendok kayu besar yang diadukkan ke dalam perutnya. Rasanya ada bagian masa lalu yang diangkat kembali, sesuatu yang dibenam dengan dalam seperti digali lagi dengan paksa dan seenaknya. Apalagi ketika Peter mulai naik ke atas tubuhnya dan menghembuskan napasnya di leher si anak sambil membenamkan bibirnya. Tak berapa lama Peter mengungkapkan dengan suaranya yang berat, "Gid, I love you!"

Si anak sadar. Dan segera entah tenaga dari mana dilemparkannya Peter ke belakang. Peter terjengkang. Si anak menghidupkan kembali lampu kamarnya. Tangannya gemetaran. Dicarinya di antara tumpukan bukunya. Dua buku, satu hijau bergambar hutan bertuliskan "Andar Ismail, Selamat Berdoa" dan buku lain "Alkitab Bergambar untuk Anak-anak" Pikirannya tidak menentu, tapi disodorkannya buku itu kepada Peter.

"Kamu baca ini."

Si anak memberikannya tanpa berani melihat Peter yang mulai sadar akan ketertolakannya. Peter menerima buku itu dan pergi tanpa permisi. Si anak begitu marah. Entah marah kepada siapa, mungkin Peter. Mungkin juga bukan. Betapa dia begitu lugu dan bodoh, namun juga entah pikiran apa yang tidak bisa dijelaskannya kecuali dengan warna. Rasanya seperti hitam, merah darah, dan abu-abu, beberapa bercak biru di sana.

Dan sampailah cerita kita pada bagian jahatnya. Esok harinya si anak menceritakan kepada semua teman Peter mengenai apa yang terjadi kemarin harinya. Teman-teman Peter tentu saja memandang dengan heran. Dan demikianlah niat si anak bahwa dia akan menemani Peter ternyata bertemu dengan ujung yang tidak disangkakannya. Dan dia semakin merusak semuanya dengan mengibarkan bendera yang bertuliskan Peter dan tanda silang.

Entah apa yang terjadi. Mungkin karena tidak ada biaya. Mungkin alasan yang lain lagi. Atau mungkin karena tekanan yang didapatkan Peter karena cerita si anak lugu yang bermulut iblis setelah peristiwa sore itu. Yang jelas ketika kenaikan kelas dua dan si anak bangga dengan hasil gemilangnya sebagai juara paralel di SMA-nya, si anak mulai mendengarkan dari Priyatno, "Peter keluar sekolah! Tidak permisi, tanpa surat atau pemberitahuan, keluar saja." Dan setelah itu tidak pernah ada lagi Peter di mata mereka baik di SMA maupun SMK. "Sukurin! Itu buah dari perbuatannya! Dia pantas menerimanya!" Rasanya kemenangannya utuh. Si anak merasa begitu senangnya. Peter mungkin orang yang menarik, tapi dia sungguh tercela. Demikian pikiran si anak. 

Sekarang peristiwa itu sudah berlalu dua belas tahun. Dua belas adalah angka yang genap. Genap satu lusin. Genap bagi kedua belas anak Israel. Genap bagi sebuah masa seseorang menjadi cukup matang dan mulai bisa menimbang-nimbang dengan lebih seimbang. Si anak sudah menjadi tua, dan dia kembali ingat peristiwa itu. Dan kali ini dia merasa bersalah dengan apa yang telah diperbuatnya. Mungkin benar Peter melakukan hal yang tak diduganya, tapi dia telah membunuh Peter. Mulut jahatnya telah merebut masa muda pemuda lainnya itu. Sebuah kejahatan sempurna yang mungkin tak bisa mendapatkan tebusannya kembali dengan kurban apa pun. Karena setelah itu bahkan mungkin sampai kapan pun, tidak ada lagi kesempatan baginya bertemu dengan Peter untuk sekadar mengulurkan tangan mengatakan, "Maaf!"

Dan sambil menuliskan catatan ini, si anak mengucapkan sepatah doa, "Peter, semoga kamu baik-baik saja!"
Tags : ,

No comments:

Post a Comment