Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Percakapan

| No comment
Perempuan:
Mengingatmu meluluskan sesalku, karena kala itu tak terdengar lagi gema suaramu yang merdu. Mataku mungkin bisa melepasmu, tapi sejak aku mengguratkan wajahmu dengan pena yang kusimpan di balik rusukku, kau menyelusur di pesisirku, kau tidak akan melihatnya karena tintanya mengalir dalam denyutku. Pertemuan denganmu adalah hal paling menyesakkan dalam hidupku, kau menyesatkanku dari kendaliku. Dan berpisah denganmu adalah yang paling kutungu, karena aku mulai bisa meronce sebuah bilik tak bersekatan, ruang kosong yang kunamai rindu. Ruang diamku, bahkan tanpa tahu apa yang kutunggu.
Andaikata perempuan, kau adalah Uma, yang membangkitkan hasrat membuncah. Tapi kau selalu Laksmana, tak pernah menjelma tua, mengoyak tangisku bersama harapan yang memecah. Kini aku tahu rasanya sakit, sejak kau tidak pernah melepaskan panah. Kau menahan dirimu dalam senyum dan tatapan yang indah tertatah. Tahukah kamu bahwa saat itu aku meluruh menjadi sekadar sepah penuh gairah.
Hari ini ketika kau lagi-lagi muncul, ada gelisah yang seketika menyembul. Mungkin kau tak tahu betul, tapi untukku kita adalah cerita matahari yang tenggelam dan timbul. Dan matahari ini tak pernah jenak, karena dia tak berhenti memantul.
Tapi aku tetap bahagia, karena sejak kau mengada, sekalipun bayangan saja, aku menemukan sebuah kosakata: cinta.

Pria:
Please! Ngomong yang jelas. Kalau tidak aku tutup teleponnya. Aku sudah dekat.

Perempuan:
Sejak kapan kau pernah menyimpan nomorku, ketika kau tak pernah bahkan mengingat namaku.
Yang aku tahu aku merpati dan kau elang. Kau adalah bintang, binatang, kau jalang, dan kau akan sekali lagi terbang.

Pria:
Aku cinta kamu!

Perempuan:
Bukan itu jawaban yang kutunggu. Lebih baik aku memasak rebungku. Dan kamu akan hadir di meja makan itu, dengan wajahmu yang lucu, seperti seorang anak cupu yang merengek-rengek mencari ibu. Mungkin benar katamu kala itu, aku tinggal dalam benakku, aku hidup dalam mimpi masa lalu. Karena sekarang ketika bertemu denganmu, maaf, entahlah, kamu tak lagi sesuatu.
Aku akan mengukir sendiri sebuah cerita, di mana kita adalah pangeran dan putri raja. Kau menciumiku dengan air mata, karena aku yang terbelenggu kotak kaca. Kotak yang perkasa dan aku yang rapuh di dalamnya. Tapi apa yang bisa diharapkan dari putri dalam kaca, selain penyihir yang akan murka. Dan aku tak akan rela kau hilang selamanya.
Aku sudah terlanjur menuliskan sebuah buku tebal. Cerita tentang pertarunganmu dengan penyihir bengal. Pertarungan pedang yang janggal. Napasmu yang tersengal, dada yang sekal, lenganmu yang pejal. Biarkan cerita ini berhenti kekal, ketika kau menciumku dalam lantunan amsal.
Mungkin aku keliru, aku hanya tak ingin kehilanganmu.
Karena kamu orangnya, yang menambah kosakataku dengan sebuah bahasa sorga: cinta.

Pria:
Menikahlah denganku. Aku tahu aku salah, selama ini aku tak pernah menabung. Aku akan bekerja keras, agar kita bisa membangun rumah walau sederhana saja. Rumah dengan anak-anak kecil dan taman bungamu yang mungil.

(telepon ditutup, mereka bertatapan)

Perempuan dan pria:
Mari kita berciuman!

Tags :

No comments:

Post a Comment