Aku tidak menyangka bisa mengenalnya. Aku tidak menyangka juga bahwa dia adalah dia yang kukenal sekarang. Aku membaca sebuah tulisannya tentang persembahan di website GKJW, aku melihat betapa kajiannya luar biasa runtut dan jangkep. Pertemuan pertama kami, aku duduk berenam bersama temanku, dan dia duduk di meja di depan kami, bercerita tentang bagaimana seorang pendeta seharusnya. Sederhana saja, "Pendeta itu kalau sekadar mencari pujian atau ingin dikenal, dikenang, itu sangat gampang. Tapi pendeta bukan itu." Dan aku akhirnya mengenal anak-anak didiknya, seorang pria gleyam-gleyem yang anti mainstream di Gedangan, dan seorang yang sangat pandai nan bijak di Pare. Tidak mungkin, pikirku. Mereka yang adalah anak-anak didiknya adalah pribadi-pribadi yang sangat kuhormati. Mereka bukan orang-orang yang mengejar citra, dan mereka adalah yang kusebut sebagai demikianlah pendeta. Pasti sang guru punya cerita lain.
Setelah tiga bulan masa karantina, dia menuliskan sebuah buku. Sebuah petilan kecil draft awalnya dikirimkan kepadaku melalui pesan facebook. Aku tidak menangkap apa pun, bahwa itu cerita, itu saja waktu itu. Maka aku pun mengirimkan sebuah tulisanku kepadanya, sebuah bakal surat tepatnya. Dan tahulah bahasa yang kupakai di surat itu sebuah bahasa tingkat dewa yang tidak jelas, dijejali sedemikian padat oleh bahasa-bahasa tingkat dewa yang akut. Dan tanggapannya kepadaku sederhana, "Dasar anak muda!" Aku terjun bebas ke dasar bumi. Menyosop sambil terkapar-kapar.
Maka bersama dengan waktu dan terbitnya buku hasil perenungan tiga bulannya itu, aku pun mulai bertemu dengannya muka dengan muka. Tidak bisa tidak, aku semakin menyosop ke tanah, melihat betapa rendah hatinya orang ini. Kalau seorang pendeta adalah hamba Tuhan, aku melihat itu padanya. Dia mungkin S1, tapi pengetahuannya S99. Dan dia tidak membutuhkan S98 yang lain untuk menunjukkan dirinya. Dia pribadi yang sederhana dan rendah hati. Ketika orang lain sibuk memikirkan what next for my future, dia tetap berjalan perlahan di jalur what can i do to make a better future for this world. Berteman dengan sang resi Bale Wiyata, mereka adalah dua sosok yang membuatku percaya bahwa idealisme yang berjalan bersama konteks adalah hal yang masih bisa menjadi pilihan di tengah porak poranda kebingungan jagad ini.
Dia bercerita kepadaku tentang susahnya sang anak mencari pekerjaan. Bukan karena anaknya tidak kompeten, sama sekali tidak. Anaknya adalah benih cemerlang. Tapi karena sang bapak menanamkan nilai itu sedemikian kuat dalam dirinya, bahwa pekerjaan itu seharusnya adalah pekerjaan yang mendukung kehidupan, jika tidak sebenarnya ada bunuh diri massal dan perlahan yang dilakukan. Sang anak mendapatkan posisi yang sudah lumayan di sebuah perusahaan, dengan gaji yang sudah menjamin hidupnya. Tapi setelah sang anak tahu bahwa sistem di perusahaan itu tidak sehat untuk kelangsungan kehidupan, dia memutuskan keluar. Gila saja mungkin untuk sekian banyak orang. Pekerjaan layak dengan gaji besar adalah mimpi sekian banyak orang, tapi untuknya bukan itu tujuan bekerja, bekerja adalah untuk kehidupan.
Mereka adalah keluarga yang menjaga musik tetap mengalun dengan indah pada dirinya sendiri. Gitar dan piano bersanding bersama dengan keluarga itu, bukan sekadar bersanding dengan asal saja, tapi menyatu dalam gaya yang tidak instan. Bukan untuk dipamerkan (sepertiku yang sedikit-sedikit sudah direkam) mereka menikmati musik sebagai musik itu sendiri. Memainkannya demi sebuah cerita indah, bahwa musik yang indah memang benar-benar ada.
Terlalu banyak hal luar biasa yang bisa diceritakan tentang dia, dan keluarganya, dan anak didiknya. Tapi kesederhaan dan idealismenya adalah cerita utama. Dan aku bersyukur di tengah pragmatisme yang semakin dicari jalan pembenarannya, dia pribadi yang berani berkata tidak untuk sesuatu yang lebih besar dari itu. Kehidupan. Nggayemi adalah caranya memahami hidup, Nggayemi adalah hidupnya. Dan bertemu dengannya, mengenalnya adalah anugerah yang mampu mengubah arah hidup. Dan aku akan berkata kepadanya, "Terima kasih!" Dan aku yakin dia akan mengatakan, "Untuk apa?"
No comments:
Post a Comment