Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Pekan Kondom Nasional dan Klise

| No comment
Sudah banyak yang komentar perkara Pekan Kondom Nasional, sudah banyak yang menghujat, dan menganiaya pelakunya [yang tiba-tiba langsung lempar sana lempar sini]. Jadi daripada aku menambahi daftar panjang penderitaan mereka, ah kenapa aku ini gak tegaan sama orang yang dihujat mati-matian begitu, tapi sebelum nulis ini aku mau komen sedikit kepada para pelaksana: dasar geblek! mikir pendek! gak edukatif banget! kalian orang-orang yang jujur dan berniat membantu mungkin tapi kalian gak mikirin banyak hal lain di sekitaran, dan satu lagi ingat bahwa di luar sana banyak orang yang suci dan sok suci, bermoral dan pura-pura bermoral, yang baik dan baik apus-apus. Jadi tindakan kalian kesimpulannya: kayak kondom itu sendiri, karet!

Sudah cukup! Aku tadi berjanji tidak menghujat mereka. 

Apa sih masalahnya? Masalahnya adalah meningkatnya HIV-AIDS di Indonesia, atau bahwa kasus ini mulai merebak dan mulai banyak yang terbuka tentangnya. Jaman dulu, para pekerja seks komersial yang kena HIV-AIDS dan meninggal hampir selalu mengatakan bahwa mereka kena TBC, makanya orang berpikiran bahwa TBC itu sangat mematikan. Dan orang jadi parno terkait TBC, mereka langsung membangun sanatorium dan sebangsanya. Beruntunglah TBC yang dikenali dini bisa disembuhkan. Tapi tidak begitu halnya dengan HIV-AIDS sampai saat ini, kalau ada yang bilang bisa menyembuhkannya mereka pasti paranormal uka-uka. Belum lagi tekanan sosial, mereka sudah tertekan karena sakit masih ditekan secara sosial, jadilah sudah jatuh kerubuhan tembok. Kejam sekali yang merubuhi tembok! Mereka benar-benar patut dikelompokkan dengan bangsa kutu anjing, kalau anjing saja sudah parah, mereka kutunya, lebih parah!

Dan di negeri terncinta antah berantah ini, salah satu tindakan anti HIV-AIDS adalah pekan kondom nasional. Taraaaa!!!! Jreng jreng jreng! Yang awalnya diniatkan produktif menjadi kontraproduktif. Gak ditampik bahwa penularan terbesar HIV-AIDS terjadi karena kawin mengawin yang tidak sehat, dan langsung saja tidak melihat perkara kawin-mengawin dan pertemuannya dengan ke-Indonesia-an mereka langsung tancap gas, "OK bro, pekan kondom nasional! Biar aman! Ngeseksnya pakai kondom!" Yang mereka lupa adalah seks yang mereka omongkan itu adalah seks antara laki-laki perempuan, laki-laki laki-laki, perempuan-perempuan yang sesama manusia yang rata-rata terjadi sebelum ada perkawinan. Memang cuma masalah imbuhan per-an, kawin dan perkawinan, tapi jaraknya, sodarah-sodarah, jauh banget! Dan di negeri antah berantah tercinta ini, orang-orangnya lebih suka dilihat dengan yang panjang-panjang dan rumit-rumit, karangan 5 halaman biasanya nilainya lebih tinggi daripada tulisan 5 kata. Coba saja kamu buat paper kuliah cuma 5 kata, apa gak dipikir sama dosenmu kamu lagi nggodain dia. Dan dalam hal ini perkawinan yang lebih panjang tulisan dan pengucapannya lebih diterima daripada kawin itu sendiri. [Wei kacung! Serius! OK sori!] Perkawinan itu ikatan yang diandaikan akan melibatkan semuanya, termasuk tanggung jawab dan bangsanya, sedangkan kawin saja itu belum mengikatkan tanggung jawab di dalamnya. Demikianlah! 

Inilah masalah yang akan kuangkat di sini terkait Pekan Kondom Nasional: masalah paradigma klise. Orang Indonesia itu terbiasa sama yang klise-klise. Contoh! OK! Bilanglah masalah akhlak yang rendah, mereka mengacunya langsung ke mana? Ngacunya langsung ke pendidikan agama di sekolah. Halo apa kabar teman! Akhlak itu bukan sekadar masalah pendidikan agama di sekolah, itu lapisan paling abal-abal. Apalagi kalau di sekolah asal kamu bisa menghapal kamu sudah dapat nilai 10. Akhlak itu masalah laku, bukan masalah kemasan. Substansinya malah gak keserempet. Jadi kalau orang ngomongin HIV-AIDS mereka lansung ke premarital intercourse itu. Emang gak begitu? Ya begitu juga, tapi ingat bahwa pondasinya gak disana, pondasinya itu jauh mengakar dalam budaya dan laku hidup sesehari. Bukan pada yang kacang-kacang kayak gitu. Demikianlah kondom itu lalu muncul seolah-olah sebagai pahlawan, pahlawan apa? Apalagi kalau sudah kena mengena masalah yang ngerempet agama, orang Indonesia itu langsung jadi super klise, mereka langsung berubah jadi makhluk mulia yang ukurannya serba-serbi normatif. Ngaco banget lah! Orang Indonesia itu gak berani berasyik-asyik dengan hal yang serius, mikirnya kalau sesuatu itu serius pasti kudu berat, kudu gelap, kudu hitam putih selebriti. Sadarilah bahwa beratnya itu dalam substansi bukan dalam performance dalam kemasan. Tuhan yang dimengerti itu Tuhan yang Maha Menghukum Gantung sih! Sukanya gantung hubungan. Lah Gusti sendiri kan tan kena kinaya ngapa, mereka sudah memasukkannya dalam kotak pandora. Jadi ya sudahlah!

Kenapa paradigma klise ini menyerbu seperti wabah tikus? Nah ini serius! 
Indonesia ini seandainya dia penyakitan, penyakitnya sudah akut, sudah menjalar ke seluruh tubuh. Sudah bingung harus menyelesekan masalahnya dari mana lagi. Semua jalan serba buntu. Jadi seolah-olah tampaknya yang bisa dilakukan hanyalah menjalani saja. Itu benar dan baik, tapi ketika kepingin sehat orang harusnya mau olahraga dan minum obat. Dan namanya olahraga dan minum obat itu pahit dan menyiksa. Itu butuh waktu dan butuh ketekunan, bahkan butuh disiplin. Hari gini siapa sih yang kuat disiplin? Disiplin dan tekun itu sudah gak jaman. Yang jaman adalah Coboy Junior dan Noah [yang aku gak ngerti itu musiknya termasuk jenis apa, penggemar mereka eat my shit!]. Dalam segala kerumitan demikian semuanya serba tidak cetha, sama sekali tidak cetha. Dan mereka melangkah dalam ketidakcethaan ini, pokoknya harus ada yang dilakukan [tapi kalau bisa jangan yang menyakitkan! geblek!]. Akhirnya tanpa riset dan evaluasi yang matang, melangkah saja sekenanya, siapa tahu terkenal. Apa? Tujuan kamu apa sih sebenarnya? Terkenal apa menyelesaikan masalah dunia. Dasar kolor ijo! Klise muncul ketika tidak ada riset dan evaluasi yang cukup sudah asal njeplak, asal nyaplok, supaya kelihatan seolah-olah pintar. 

Di Jawa, ceh Jawa lagi, suka-suka gua mamen, orang kalau mau belajar ndhalang mereka harus nyantrik kepada dhalang. Mereka harus rela melakukan pekerjaan kotor, nyuci sapi, ngarit, nyabut rumput, nyawah, baru pada malam harinya ki dhalang akan tiba-tiba saja separuh mengantuk membagikan ilmunya sedikit-sedikit. Dan itu terjadi begitu saja sebagai sebuah proses hidup. Gak ada kursus kayak kursus piano, apalagi yang 3 bulan langsung lancar. Di Jawa [yah Jawa jaman semono kuwi, mbuh nek jaman saiki] segalanya adalah perkara laku. Hari gini mana ada yang mau repot seperti itu. Apalagi ada facebook dan twitter yag penting membuat orang eksis. Akunya menjadi sangat menonjol sampai ke ubun-ubun. Dan mereka melawatkan sebuah tahapan proses penting, bahwa jagad gedhe ini adalah proses yang juga terjadi dalam jagad cilik. Ketika kedua jagad ini tidak sinkron yang terjadi ya klise nasional tadi. 

Kecenderungannya orang lalu suka sama yang pokoke ketok gebyare. Sekelebat byar, mbuh setelahnya pet atau tetap byar ra urus. Pokoke pernah nampang. Dan mereka akhirnya suka pada obat-obat anastesi, mereka suka obat-obat yang menekan rasa sakit tapi tidak mengobati. Karena orag sudah takut duluan dengan rasa sakit itu. Ini kan masalah? Masalah banget, yo, Ndul! Gak berani menghadapi realita, hidup hanya dalam dunia matrix. Dunia Matrix itu hanya untuk meringankan penderitaan mereka yang butuh euthanasia bukan untuk ditinggali orang sehat. Orang sehat ya harusnya berjalan di bumi yang panas dan korat-karit ini dengan tetap berjuang. Itu artinya sehat. Jadi ini bukan sekadar masalah kondom, atau hari ina inu, ini adalah perkara hidup dan mencintai hidup ini dengan seluruh yang ada di dalamnya, tanpa menampik yang sakit, tanpa melebaykan yang menyenangkan. Ya inilah hidup, jalani! Kalau memang perlu riset, riset dulu, walaupun waktu itu dianggap tolol, dianggal geblek, dianggap rendahan, dianggap kacung, so what! Kita gak mati kok dengan cuma dianggap goblok! Itu kebanggaan! Kalau perlu evaluasi jujurlah! Biar jagad gedhe sinkron sama jagad cilik. Biar yang muncul bukan klise tapi laku. Melangkah satu-satu gitu lo, senengane kok gradakan. Nek wani ayo tarung siji lawan siji, ojo main keroyokan. 

Kesimpulannya adalah: simpulne dewe! Otakmu itu buat apa, po arep dijadikan sarang laba-laba!
Tags :

No comments:

Post a Comment