Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Pada Sebuah Cermin

| No comment
Ada yang merambat sepanjang tengkuknya, kenangan. Menjalar begitu rupa bagaikan pakis-pakis kelabu yang begitu bersegera menempuyung. Ada yang tidak nyaman seketika. Dia bergerak ke sebelah kiri, sedikit saja. Di depannya terhampar cermin yang menceritakan wajahnya dengan seksama. Dia tak lagi mengenali wajah itu. Dia berdebar keras menemukan pipinya tak lagi tirus. Dia tak lagi menemukan tulang yang menonjol sepanjang hidungnya. Semua malih. 

Bukankah dulu kau bisa menyusu pada pesisirnya. Dan membenamkan wajahmu pada gurat-gurat pasirnya. Dan kau akan merasa hangat bahkan ketika matahari sudah lama surup. Kau akan melihatnya menghampar hijau bagai sawah. Waktu mengubahnya. 

Tidak bisakan segala sesuatu diam saja? Tinggal menetap pada sedia kala. Pada sebuah tempat yang kau sebut rumah? Ketika ibu masih menenun sarung untuk bapak. Ketika nenek masih menyangga pintu supaya angin tak mendapat jalan memeruak. Ketika cinta masih sama. Dan dia adalah poros dunia. Bukankah saat itu bahagia adalah sempurna? Dia akan tertawa dan menyanyi sepanjang sore. Bermain remi bersama anak-anak ibunya. Dan bersama dengan senja dia akan memiringkan kepala hingga menyentuh meja yang ada di sebelahnya. 

"Pertiwi!" ujar suara yang meregangkan bulu romanya. Dia mencari asal suara itu, tak didapatkannya. Hanya angin yang berlalu bersama sengau suara kepik yang berderit-derit. Hujan baru saja berlalu, seharusnya semuanya menjadi dingin. Tapi kali ini hujan sudah berlebihan, dia meluber tak keruan. Dulu hujan yang menjaganya semalaman, menimang supaya gelap tidak menyiksa, ibu keduanya. Kini hujan adalah macan yang menerkam. Lalu mengalirkan kisah-kisah pilu bersama segala jenis barang yang terendam, bahkan mengambang hilang. Bungkus pembalut, sandal berpasang-pasang, pagar bambu, televisi, seng-seng yang bergerombyang, termasuk kandang ayam. Semua terseret seolah rela-rela saja. Dia yang tak rela. 

Beberapa hari ini gegunungan bergerak saling beradu. Melontarkan batu belubu hingga abu. Cincin api, katanya. Dan sepanjang malam dia akan berlarian mencari tempat aman, sambil memanjatkan doa perlahan-lahan, "Semoga masih ada esok!" [Dia tahu dalam hatinya dia tak sepenuhnya yakin pada doanya]. Dia mendengar juga dari berita bahwa ratusan orang telah meninggal, dan mungkin setelah ini dirinya.

Ini kota yang sepi. Orang-orang berteriak-teriak, tapi suara mereka sunyi. Dan bayangan itu menyerbu lagi, kenangan. Terentang kisah lalu, tentang dia yang duduk di tepi sebuah danau. Sebuah balok kayu raksasa, dedaunan sebesar kembang pacar tertiup angin dan menggetarkan gelombang yang perlahan-lahan meluas seperti alunan musik. Kuning, hijau, kuning muda, coklat. Dan batang-batang itu putih dengan bercak coklat yang riang. Tapi sekarang tak ada lagi daun, hanya tumpukan kenangan yang bahalan. Tak ada seru "Sekali merdeka tetap merdeka! Selama hayat masih dikandung badan!" Kini dia hanya mendengar tangisan, lalu kepura-puraan. 

Benarkah kebaikan akan selalu kalah dengan kejahatan?

Tidak! Dia tidak akan menyerah. Dia menatap wajahnya di cermin. Semua berubah, tapi bukan berarti ini akhir. Dia mencoba tersenyum. Itu dia! Senyuman itu masih sama. Dia mengambil sisir, menata kembali rambutnya yang beberapa. Mengusap keringatnya yang lembab. Dan tanpa sadar bibirnya berucap, "Ada harapan, aku adalah harapan!" Dan ketika kewarasannya kembali, dia melambaikan tangan. Bayangan di cermin pun menjawab lambaiannya. Dia tersenyum, "Hai!" katanya.
Tags :

No comments:

Post a Comment