Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Miss Oris: Rumah

| No comment
Sepotong kepala terputus dari lehernya. Kepala seorang pria yang mendelik lebar dengan lidah yang tercabik-cabik. Darah segar meluber dari seluruh penjuru liang kepala itu, mulut, mata, hidung, telinga, dan sebuah lubang peluru di ubun-ubun. Merah di sepanjang bantaran tanah. Ada sebuah pesan di dahi yang mengaga merah, tidak jelas apakah itu bekas siletan atau besi panas yang digoreskan dengan kasar. Rambutnya sudah acak-acakan bahkan dipotong paksa di beberapa bagian, menyingkap kulit yang merah muda di baliknya.

Leher itu meneruskan tarian yang dibawakan oleh tubuh yang tak lagi lengkap. Kakinya terpotong-potong, tapi masing-masing masih menari. Perutnya memberodolkan puluhan bayi-bayi yang tak lengkap, cacat semua, hanya tiga yang tampak lebih baik, itu pun dengan mata yang hitam seperti setan, nyalang seperti hendak memakan apa pun yang ada di depannya. Kedua tangannya masih menempel di badan, sebuah tangan memegang palu dan sebuah lain membuka dengan jari-jari yang gepeng seperti bekas terlindas slender. 

Seorang tampak seperti hantu berambut panjang dengan daster putih teronggok di sudut. Ada sebuah cahaya putih yang mengurungnya. Cahaya itu mengekangnya, tapi juga melindunginya. Atau itu seorang perempuan? Seorang perempuan yang bersujud dengan tangan yang menyembah. Di ujung jari-jarinya tumbuh sulur-sulur hijau yang hanya bisa dilihat dengan memerhatikan secara teliti. Selebihnya dari gambar itu, hitam. Hitam yang pekat, sehitam malam yang tak nyaman karena hujan yang tak kunjung reda. Malam yang dingin, dan tersapukan tak rata, begitu tergesa.

Miss Oris persis berada di depan hamparan kelam itu dengan wajah ngeri. Ada yang tidak mampu dijawabnya, atau terlalu banyak yang tak mampu dijawabnya. Seorang anak kecil duduk di depan mejanya dengan tangan yang mengepal. Matanya merah, bukan menangis tapi marah. Kakinya tegang menjejak tanah, seperti akar yang tak hendak mau tercerabut. Mendung berkilatan bergelayutan terasa melingkupi anak kecil itu. Tidak wajar untuk anak sekecil itu. Selama ini Trias dapat dijelaskan sebagai pendiam, dia tidak banyak bergaul dengan temannya. Baunya seperti angus wajan, dan tak pernah terurus. Rambutnya tak terpotong rapi, beberapa pethal terpaksa. Bu Sarem berkali-kali memintanya untuk ke tukang potong, tapi belum juga perintah itu dilaksanakan. 

"Siapa dia?" Miss Oris bahkan tak berani menyentuh kepala itu. Ada hawa panas yang terpancar dari gambar yang diam saja itu. Sepertinya darah di gambar itu akan melekati jarinya ketika dia menyentuhnya. 

Trias memandang gambar itu dengan dingin. Dia tak mau membuka mulut. 

"Trias?"

"Setan!"

Suaranya melengking, tetapi juga parau. Parau itu mungin lahir dari kemarahan yang dipendam dengan rapi dalam selimut hatinya. Tapi selimut itu sobek kali ini. Dan sobeknya parah. Pagi ini dia tidak jujur tentang lebam di lengan kirinya, dia membisikkan bahwa dia jatuh dari ranjang. Tapi tak mau membuka lagi mulutnya ketika ditanya yang lain lagi. Sampai jam istirahat dia masih tak mau membuka mulut. Bahkan ketika teman-temannya menyanyi Indonesia Raya. Miss Oris persis melihatnya, kepalanya menunduk dan mulutnya tak juga terbuka.  Sebelum istirahat Miss Oris sempat mendekatinya, "Miss Oris mau jadi sahabatmu. Dan sahabat akan menyimpan semua cerita sahabatnya dalam hati." Tapi toh Trias bergeming, dan aroma angus tercium semakin kental.

Miss Oris berusaha keras untuk tidak bereaksi berlebihan. Tapi tangannya mendadak berkeringat. Hawa panas itu tercium, dan hidungnya segera mendengus, mengusir segala pikiran yang berkecamuk. 

"Apa yang terjadi pada setan ini?"

"Semua setan pantas dihukum!"

Lagi-lagi aroma angus . Kelas sudah sepi sejak setengah jam yang lalu. Beberapa teman guru sempat lewat, tapi tidak ada satu pun yang menoleh. Anak-anak sudah berhambur. Suara ibu-ibu yang mengoceh memanggil-manggil nama-nama para anak kecil itu sudah sepi. Suara motor dan mobil yang meninggalkan sekolah sudah tak terdengar. Selama itu hanya dua kalimat itu yang diucapkan anak yang duduk di depannya itu.

Tidak seharusnya dia menyerah, tapi Miss Oris tahu bahwa dia tak punya kemampuan mengerti dan menganalisis sebuah gambar, terutama gambar yang segelap itu. Ada aroma kematian yang terpancar kuat dari gambar itu. Rasanya lebih tepat jika gambar itu dibakar, atau setidaknya disimpan saja di tumpukan terbawah koleksi gambar anak-anak, agar tak ada yang mengambilnya, atau bahkan mengingatnya. 

"Bapakku pantas mati!"

Miss Oris terperanjat dengan perkataan dari mulut kecil itu. Kali ini bukan hanya lidahnya yang kelu, sel-sel otaknya pun tak mampu diajak bekerja sama. Semua seperti tertinggal jauh di dalam kotak makanan yang tandas ketika jam istirahat siang. Dia berusaha untuk menggeleng, mengusir semua keterkejutannya, tapi justru keringat di telapak tangannya semakin mengucur deras, tangannya seperti dicelupkan pada air mendidih.

Tapi dia mencoba untuk kembali awas.

"Apa pekerjaan bapakmu?"

Mengapa justru pertanyaan bodoh itu yang keluar dari mulutnya. Seharusnya pertanyaan lain, 'Mengapa?' atau 'Apa yang terjadi dengan Bapak?' atau pertanyaan lain yang sejenis itu. Atau justru malah nyayian, supaya tegang siang yang menyore itu menjadi tenteram, dan pikiran yang ramai oleh senyap beralih damai dan genap. Tapi pertanyaan itu terlanjur terucap. Dan tak mungkin dia menariknya kembali. Ada masa ketika sebuah kesalahan terlanjur dilakukan, dan waktu rasanya ingin diputar saja. Tapi ada roda yang mati, atau roda itu gumpil dan porsnelengnya kaku. Dan tombol rewind menjelma menjadi fast forward. Dan jika itu adalah hukuman, maka itulah hukuman yang terberat dari yang mungkin ada. Penyesalan yang tak bisa ditarik, padahal hanya sebuah pertanyaan.

Namun wajah kecil itu justru mendongak. Kali ini matanya beradu dengan mata kecil di depannya. Dan Miss Oris persis mengenali mata itu. Mata itu adalah salah satu mata dari tiga bayi yang lebih sempurna dari yang lain di gambar itu. Segera benaknya menghitung, Trias adalah anak ketiga setelah Sap dan Dias, kedua kakak kembarnya yang hanya terpaut dua tahun darinya. Ibunya pernah membawa kedua kembar itu ketika menjemput Trias. Dua bocah yang agak lain daripada yang lain, wajah mereka lebih lebar dari anak lain, tapi mata, hidungnya yang lebih mendongak, dan mulutnya yang kecil mengumpul di tengah, membuat pipi dan dagunya tampak lebih lebar dan memenuhi wajah mereka berdua. Ibunya tampak ingin menyembunyikan kedua anak itu di balik sepeda motornya, tapi mereka berdua malah berlarian dengan jenaka, dengan mulut yang selalu terbuka dan lidah yang sedikit terjulur seperti kain merah muda pucat yang terhenti oleh bibir bawahnya. Gerak tubuh mereka lebih kikuk dari anak lain. Tentu saja teman-teman Trias ketakutan melihat dua kakak kembarnya itu. Kali itu Trias tampak sangat terpukul oleh rasa malu, sedemikian juga ibunya. Beberapa orang tua memicingkan mata sambil berbisik-bisik, "Idiot!" Miss Oris ingat sekali, rasanya ingin menampar semua orang tua itu, menekuk-nekuk mereka dan memasukkan semuanya dalam sebuah kardus bersama-sama, lalu dilakban dan dikilokan. 

Sepasang mata kelam itu hendak beradu pandang dengannya. Dia mencoba untuk menahan diri dari pertarungan itu. Andaikata bola mata bisa dilepas dan diganti-ganti seperti lensa kontak, dia ingin mencungkil matanya dan menggantinya dengan mata sendu dan penuh rasa sayang. Tapi sayangnya, dan dia tahu persis itu, matanya kali ini terbaca ngeri dan tidak siap. Dan mungkin sekali anak yang ada di depannya, yang seperti menumbuhkan taringnya dari bibirnya bisa mencium aroma kengeriannya itu. Dan dia bisa merasakan dracula kecil itu merasakan darah segarnya. Tapi mata kelam itu melunak.

"Bapakku! Kerjanya kawin! Hobinya beranak pinak dengan semua perempuan. Seperti kodok!"

Kisah itu pun terlantun seperti nyanyian kekalahan. Sebuah cerita tentang rumah yang kering. Halaman yang tandus. Bangkai-bangkai binatang. Tentang kekecewaan kepada istri, kepada anak. Tentang rasa tidak aman yang dilarikan kepada para penjaja tubuh. Tentang uang yang hanya lewat saja di rumahnya. Tentang makanan yang tak enak, tanpa rasa, bahkan tidak jarang basi, itu pun jika ada. Tentang alkohol dan pukulan di perut sang istri. Tentang kemarahan yang tidak jelas arah dan asal muasalnya dan tendangan di kepala sang istri. Tentang kepala yang dibenturkan. Tentang anak kecil yang dilemparkan ke pintu hingga daun pintu itu membanting dan mengenai kepala sang anak yang meraung-raung seperti mesin pembuat tangisan. Tentang lengan atas yang pagi ini dicetol oleh sepasang jari besar dan kasar karena tak segera mandi. Tentang kisah keluarga yang tak tuntas. Pendeta yang hanya bisa diam dan menasihati. Tentang Ketua RT yang abai. Tentang masyarakat yang acuh. Tentang semua kealpaan yang mungkin dilakukan. Dan jiwa kecil yang menangis merangkul sang ibu yang demam. 

"Kalau ibu masih sakit, besok Miss Oris akan menjemput dan mengantarkan kamu sampai di rumah."

Kepala kecil yang kini tampak tanpa harapan itu menggeleng lembut, "Sampai depan gang saja."

Miss Oris ingin mengatakan sesuatu, tapi ada yang tercekat di lehernya. Dia hanya mengangguk. Dia mencoba lebih rasional, tapi akhirnya dia tahu bahwa rasional tak bisa sepenuhnya berjalan kali ini. Jika tidak ada bapaknya mereka tidak akan makan, sang ibu tak bekerja. Kedua kakaknya masih terlalu kecil, kondisi mereka pun tak bisa dimengerti semua orang. 

Bukankah pada saat seperti ini Tuhan menjadi sangat dibutuhkan. Miss Oris berharap ada sepasang sayap malaikat yang memeluk bocah di depannya. Dia menguatkan kakinya untuk beranjak dari tempat duduknya. Diraihnya gambar yang ada di depannya. Kali ini gambar itu tidak tampak sangar lagi, namun justru terlalu lemah. Gambar itu seperti sebuah cerita bisu tentang terlalu banyak hal yang ingin dikatakan. 

Namun kengerian itu muncul kembali ketika dilihatnya leher yang terputus dari badan yang menari-nari itu. Tak ayal dia melipat gambar itu menjadi dua sama lebar, ketika ditekuknya kini kepala setan itu tampak mencium sang perempuan di sudut lain gambar itu. Segera saja bulu kuduknya merinding. Ada yang tidak nyaman, ada yang terasa salah, tapi tak bisa dijelaskannya. Ditinggalkan saja gambar itu di atas meja, dan kini dia menghadapkan dirinya pada sang bocah yang masih memerah matanya. Dendam dan kemarahan masih ada di dalamnya, tapi ada sebuah sudut lain dari mata itu yang berteriak menangis dalam sunyi dan meraung meminta pertolongan. 

Miss Oris hendak memeluknya, ketika Trias memilih untuk mundur dan menggeleng. 

"Miss Oris antar pulang ya!"

Kali itu kepala kecil itu hanya mengangguk pasrah. Seperti memilih sebuah pilihan paling menyakitkan, karena tak ada pilihan lain. Seperti menusukkan belati yang baru diasah ke dalam ulu hati. 

***


Anak itu sudah masuk ke pagar rumahnya. Miss Oris hanya melihatnya dari balik sebuah gapura besar bertuliskan 68 tahun Indonesia merdeka. Ada perasaan tidak rela dan ingin mengejar anak itu. Memanggilnya untuk ikut pulang bersamanya. Namun rumah putih dengan pohon mangga besar dan pagar anyaman kawat itu dipilih sang anak sebagai rumahnya. Dan perasaan yang lebih menyakitkan dari melihat seseorang yang kesakitan adalah perasaan kalah karena tak bisa berbuat apa pun menyaksikan kesakitan itu. Air mata yang sedari tadi dicoba untuk ditahannya terjatuh juga di pipinya yang kemerahan. Tidak ada polesan bedak atau maskara yang melarut bersama air mata itu. Miss Oris sadar bahwa dia terlalu sederhana dalam apapun, dalam merias dirinya, dalam mengerti sesuatu. 

Dia menarik napas panjang sebelum mengeluarkan handphone itu dari tasnya. Sebuah nama ditekan, sebuah panggilan menggetarkan handphone lain di sudut lain sebuah kota. Handphone perempuan lain yang sedang tidur siang bersama seorang pria, bukan juga suaminya. Seorang perempuan yang tiba-tiba menarik napas yang tak kalah panjang dari napas perempuan pertama. Seorang perempuan paruh baya yang segera menyisir rambutnya dengan jarinya, dan seolah-olah seperti mengikatkan tali kepada rambutnya. Perempuan lain yang mendadak jantungnya beradu cepat dengan keberanian dan ketakutannya. 

Suara perempuan lain itu berat, "Oris?"

"Ma, aku memaafkanmu!"
Tags : ,

No comments:

Post a Comment