"Sudah beres!"
"Miss Oris gak curiga?" Si bocah pria melemparkan sebuah kerikil seukuran jempolnya ke sungai. Si gadis menggeleng.
"Berarti aman!" Si bocah pria mengalihkan matanya kepada si gadis cilik, gadis itu mengangguk dengan sangat bersemangat. Tanpa diperintahkan, sang gadis duduk di sebelah sang bocah pria. Semu merah di wajah sang gadis yang berpadu dengan napasnya yang ngos-ngosan setelah berlarian dari bumi perkemahan, tak ayal membuat sang bocah pria tertawa-tawa kecil.
"Kenapa?"
"Napasmu kayak orang mompa ban bocor!"
"Tidak tahu diri!"
Sang bocah pria terkikik. Ada debar lucu di dadanya. Dia tak mendengarnya, namun angin mampu membawanya pada sang gadis mungil. Semu sang gadis semakin memerah, memanaskan pipinya di tengah udara dingin pengunungan pinus yang memangkas cakrawala dengan terlalu rapi, serupa rambut yang dipotong spike dan disisir terlalu rapi dengan jeli yang beraroma tanah.
Sungai jernih itu menggambarkan wader-wader kali yang berhilliran serupa motor yang dikejar polisi lalu lintas dengan benderangnya. Pemandangan yang tak biasa untuk sang gadis tapi menjadi cerita sehari-hari sang bocah pria, sejak rumahnya tak jauh dari kali di sebelah Jembatan Kondi. Hanya saja kali di sebelah rumahnya coklat seperti kopi susu, tidak bening kali di depannya. Anggang-anggang dan sesekali ikan centung tampak bersembulan. Mereka berdua duduk di bebatuan yang diikat dengan kawat-kawat sebesar kabel telpon, seperti jaring laba-laba yang merangkai bendungan batu kasar dan sederhana, namun aman untuk diduduki. Beberapa batang kayu sebesar lengan kecil mereka tersampir di sepanjang kawat-kawat itu, menghadirkan rumah yang nyaman untuk ikan-ikan kecil itu.
Di seberang sungai rimbunan alang-alang tumbuh subur setinggi orang dewasa. Di sana-sini bunganya yang putih kekuningan semakin menguatkan gradasi hangat yang dibawa matahari yang malu-malu oleh awan kelabu yang dingin seperti besi teralis di sekitaran hamparan langit. Hujan mungkin turun malam ini, tapi matahari yang enggan dikalahkan awan-awan kelabu itu tampaknya membuka harapan yang lain. Entah hujan atau tidak, semoga saja tidak, atau mereka terpaksa tak akan tidur di dalam tenda. Dan itu akan mengecewakan banyak orang, terutama Miss Oris yang sudah bersusah payah membangunkan tenda bagi anak-anak mungil itu.
Langit jam tiga sore itu bertarung seperti perasaan kedua anak kecil yang sedang duduk bersebelahan itu.
"Aku pernah menangkap lele sebesar pahamu!"
"Aku gak suka lele!"
"Kenapa?"
"Rasanya seperti lumpur, seperti makan tanah!"
"Tukang bohong! Emang kamu pernah makan tanah?"
"Kenapa kamu tanya-tanya? Perhatian banget! Naksir ya!"
Si bocah pria kembali cekakakan. Celana terusannya bergerak naik turun di dadanya yang tipis seiring tawanya. Tifus yang baru menderanya memakan sebagian besar daginya, tulangnya bertonjolan seperti batang kayu yang akan patah sekali tekuk. Tapi dia lebih kuat dari yang kelihatan. Darli selalu menang lomba lari dibandingkan teman-temannya. Mungkin karena kakinya yang sangat panjang. Melihatnya dari jauh membuatmu mengingat seseorang yang memainkan egrang, hampir separuh tubuhnya adalah kaki. Kaus Spongebob putih kusut itu membuat kulitnya kelihatan lebih cerah, manis walaupun terlampau ceking.
Sedang si gadis kecil masih mengikatkan syal kotak-kotak merah hijau putih serupa serbet di lehernya. Tak dikencangkan atau dilonggarkan sedari tadi. Ikal rambutnya membuatnya seperti putri-putri kecil kerajaan Victoria, hanya saja matanya tak biru. Darah Batak Menado yang mengalirinya dari sang papa cukup untuk membuat setiap orang yang bertemu dengannya mengatakan, "Cantik sekali, Irene!" Dan dia yang sudah terlalu biasa dengan pujian itu pun masih selalu tersenyum malu-malu setiap kali disebut cantik. Dan kamu akan setuju bahwa dia memang cantik.
"Miss Oris gak punya teman! Kasihan dia!" Ujar sang gadis sambil memegang tangan sang bocah pria, "Tanganmu kayak pengungsi Vietnam!"
"Apa itu Vietnam?"
"Itu negeri yang sangat jauh!"
"Jauh mana sama Lampung?"
"Sama jauhnya, sama-sama naik pesawat!"
Si pria mengangguk-angguk sekalipun tak benar-benar mengerti. Dia tak ingin keliatan bodoh di depan sang gadis.
Sejak kecil pria cilik itu terpesona dengan Lampung, tepatnya Gajah Lampung. Dia suka gajah, dia bermimpi rumahnya bisa dipenuhi gajah. Dia membayangkan jika di rumahnya banyak gajah, pasti rumahnya adalah ruma yang sangat besar, tidak seperti rumahnya sekarang. Dia harus berbagi kamar dengan kakaknya yang kelas tiga, dan kakanya lain yang kelas lima. Papa mamanya memang cukup teratur membuat anak.
Daril bisa menceritakan gajah dari bel masuk sampai bel pulang. Dan semua ceritanya tentang gajah setiap hari semakin kaya, karena setiap kali ke perpustakaan dia akan mencari segala hal tentang gajah di deretan buku-buku bergambar di sana. Dan tidak ada di kelasnya yang bisa menyamai pengetahuannya tentang gajah, mulai gajah yang besarnya sebesar Watu Ageng di taman kota sampai gajah yang terbang dengan telinganya. Banyak temannya yang iri dengan pengetahuannya tentang gajah. Dia menikmati ketika teman-temannya memandangnya dengan iri, memberikan rasa pongah tersendiri. Dan sang gadis kecil itu pun jatuh hati kepada bocah kurus itu karena semua ceritanya tentang gajah. Bagi gadis kecil itu, seorang pria yang suka dengan gajah artinya mempunyai cita-cita yang besar.
"Kita jadi menikah kan?" Tiba-tiba si bocah pria tampak gusar. Entah dari mana pikiran itu muncul, mungkin dari wajah sang gadis yang kali ini tertimpa mentari sore. Wajahnya pucat keemasan. Sejenis takut kehilangan mungkin. Setiap orang takut kehilangan hal terbaik dalam hidup mereka, tak terkecuali sang bocal pria itu. Sembulan matahari sore itu sekarang meyakinkan hujan tak jadi turun. Awan kelabu perlahan menyingkir dan matahari memenangkan pertandingan.
Sejak dua hari yang lalu, kedua anak kecil itu membuat perjanjian rahasia mereka, mereka saling memadu janji untuk tidak menceritakan hubungan mereka kepada orang lain sebelum mereka menikah. Ketika sang gadis ditanya kenapa mereka harus merahasiakan hal itu, sang gadis kecil hanya akan menjawab, "Perempuan semakin memesona dengan semua rahasianya." Dan Darli akan berpura-pura mengerti apa yang dimaksudkan Irene, dia tak tahu bahwa Irene mengambil saja kalimat itu dari film yang ditontonnya sembunyi-sembunyi bersama kakak perempuannya ketika tengah malam.
"Jadi dong! Kenapa memangnya?"
"Aku takut kamu suka anak yang lain! Kamu kan nanti mau sekolah di Surabaya kalau sudah SD!"
"Tenang, Darli! Cintaku itu sejati! Kamu mau menungguku kan?"
"Tentu saja! Nanti kalau sudah lulus SMA aku mau melamar kamu!"
"Tapi aku kan mau kuliah kedokteran habis SMA."
"Terus kalau kamu jadi dokter, aku jadi apa?"
"Kamu jadi pacarnya dokter!"
Darli mengangguk-angguk tampak puas, "Aku boleh menciummu?"
Irene tampak terkejut, "Kalau kamu berani menciumku, aku laporkan sama Miss Oris!"
"Aku gak takut sama Miss Oris!"
"Siapa juga yang takut sama dia! Kamu gak takut sama papamu?"
"Ya ampun! Jangan lapor sama Miss Oris ya! Miss Oris itu mulutnya seperti ember plastik! Ditekan sedikit langsung amber ke mana-mana"
Giliran Irene menampakkan wajah kemenangan. Matanya mengerling. Antingnya yang bergambar hati berwarna merah bersalut putih di sepanjang sisi luarnya bergoyang seiring gerakan kepalanya. Tapi dua atau tiga detik kemudian dia tertawa geli, "Kamu boleh menciumku, tapi di pipi saja!"
Sang bocah pria tersenyum.
"Tapi kamu harus berdoa dulu!"
"Kenapa begitu!"
"Aku gak mau Tuhan marah! Anak kecil kan gak boleh ciuman."
"Oke, ayo kita berdoa."
Desau angin sore seperti melantunkan puisi senyap. Ada hening yang lembut berpadu dengan gemericik air sungai di hadapan mereka. Beberapa pasang burung pipit terbang di sela-sela reranting pinus. Udara di sekeliling mereka semakin mendingin bersama sapuan angin. Namun demikian, wajah sang gadis memerah semakin hangat, tak berjalan seturut hawa alam sekitar. Ketika sang pria kecil itu mengelumitkan doa dalam bibir kecilnya, gadis kecil itu justru menghitung dalam hatinya, sekarang usianya lima tahun, dia sudah tidak sabar berusia dua puluh lima.
No comments:
Post a Comment