"Miss, aku gak suka anak itu!" Irene menarik tangan Miss Oris. Miss Oris masih sibuk dengan tali dan tendanya.
"Kenapa sayang?"
"Baunya seperti kulkas!"
Kali ini Miss Oris memerhatikannya, matanya tampak lelah. Tangannya memegang sebuah palu dan pasak, sudah persis seperti pemburu kuntilanak. Rambutnya diikat ke atas awut-awutan. Cardigan hijau tua itu membuatnya justru serupa enam atau sepuluh tahun lebih tua. Lima tenda besar sudah selesai, masih tiga lagi. Sejenak dia melihat tiga orang perempuan lain yang duduk di sebelah minibus. Mereka tampak segar dan bahagia. Mereka berbincang tentang hal yang tampaknya menarik.
"Ingat tadi janjinya apa?"
"Aku gak nyakitin dia kok, kan aku bilangnya sama Miss Oris, gak sama dia!"
Miss Oris meletakkan palu dan pasaknya di rumput. Dia berlutut persis di depan gadis kecil itu. Membelai rambut gadis kecil itu. "Sayang, kalau kamu gak mau berteman dengan dia, dia gak akan punya teman."
"Sukurin! Habisnya jelek!"
"Kalau kamu gak punya teman, enak gak?"
"Kan aku gak jelek, temanku banyak!"
"Kamu belum jawab pertanyaan Miss Oris!"
"Miss Oris juga jelek, rambutnya kayak omaku kalau bangun tidur!"
"Irene..."
"Iya, iya, aku mau temenan sama dia! Tapi sebentar saja!"
Gadis kecil itu berlalu. Miss Oris tersenyum, lalu memandang ketiga perempuan yang lain itu. Dia menarik napas panjang. Dia tak akan mendekati mereka. Dia sudah tahu apa yang kira-kira menjadi jawaban mereka.
Langit mendung. Tidak mungkin anak-anak kecil ini akan tidur di tenda kalau memang hujan jadi turun. Mereka mungkin akan bersenang-senang, tapi tidak orang tua mereka. Beberapa orang tua bahkan memaksa untuk ikut ke tempat itu tadi sebelum Bu Sarem meminta kepada mereka untuk percaya kepada para guru. Bu Sarem berkali-kali menjelaskan bahwa di antara para fasilitator yang datang nanti malam, ada seorang dokter anak, Bu Sarem tidak perlu mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Lidia (salah satu dari tiga orang perempuan yang duduk-duduk saja sedari awal), mahasiswi kedokteran yang mampir selama liburan semesternya.
Dia melayangkan matanya pada pendopo yang ada di sebelah selatan gapura masuk. Pendopo itu pun tak akan aman kalau hujannya deras. Semoga saja mereka membawa cukup selimut. Semoga saja anak-anak itu mau saling berbagi selimut.
"Miss Oris!" Gadis kecil itu kembali datang kepadanya.
"Aduh Irene, apa lagi?"
"Aku kasihan sama Miss Oris!"
"Kenapa memangnya?"
"Miss Oris sama kayak Darli!"
Miss Oris mengangkat alisnya.
"Sama-sama jelek, sama-sama gak punya teman!"
Miss Oris hanya diam. Dia menahan dirinya untuk tidak kembali menatap ketiga gadis di sebelah minibus. Dia mencoba untuk tidak menarik napas panjang, anak-anak tahu bahwa ketika dia menarik napas panjang serupa itu artinya dia sedang menyerah, atau mendekati menyerah. Tapi nyatanya dia tidak pandai berbohong. Sejak pertama datang, ketiga teman fasilitator hanya duduk dan ngerumpi. Bahkan sejak hari-hari sebelumnya, bahkan setiap harinya. Ada segurat senyum yang sedang dicoba dipaksakannya. Senyum itu gagal total. Mukanya memerah, demikian juga matanya. Dia hampir menangis. Tanpa disangkanya gadis kecil yang ada di depannya memeluknya.
Gadis kecil itu membisikkan, "Kalau aku mau nangis pas dimarahin mama, aku menghitung sampai lima puluh, soalnya aku sering-sering lupa kalau habis lima puluh itu berapa. Kalau aku berhasil menghitung sampai lima puluh artinya aku gak akan nangis. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam ..."
Miss Oris memeluk anak itu. Dia merasakan ada air hangat yang menetes dari sudut matanya.
"... tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, ehhmmm, empat belas, enam belas, ... sebenarnya aku sering lupa kalau sudah habis sepuluh, Miss. Kalau aku ngitungnya salah gak apa-apa ya?"
"Kamu mau jadi teman Miss Oris?" Lidahnya mengecap asin yang perih ketika air dari pangkal matanya itu tersesap lidahnya.
Gadis itu memeluk Miss Oris lebih kencang, dia menepuk-nepuk punggungnya, "Tenang Miss, semua akan baik-baik saja!"
No comments:
Post a Comment