Whatever you want...

Wednesday, October 22, 2014

Miss Oris: Kelas

| No comment
"Enak mana papa mamamu selingkuh apa bercerai?"
Siang itu ruang kelas berwarna oranye. Matahari menerobos kain oranye tipis serupa saringan tahu yang dipasang di jendela-jendela. Miss Oris memang punya selera yang aneh untuk kelasnya.
Kelas itu penuh meja warna-warni, begitu juga tembok dan lantainya, puluhan gambar menghiasi tembok, mulai dari gambar berjudul upacara (kamu akan setuju denganku, kalau tidak ada bendera merah putih di sana, gambar itu lebih mirip korek api yang berjejer-jejer). Di sebelahnya gambar gunung, ada satu gunung, dua gunung, dan ada yang bergunung-gungng. Lalu gunung dan pohon kelapa, gunung dan sawah, gunung dan air terjun, gunung dan naga, dan banyak gunung yang lain.
Sebuah pohon mozaik dari kertas lipat hitam, coklat, hijau, oranye, biru, dan merah membentuk rerimbunan serupa semak belukar. Semak belukar yang berbuah apel, jeruk, dan anggur yang hitam pekat. Di atasnya angka-angka berjajaran, demikian juga huruf-huruf dari plastik. Sebuah poster bergambar pakaian daerah berdampingan dengan poster lain yang berjudul rumah adat (Lisa pernah bilang, "Hanya nenekku yang memakai baju seperti di gambar itu!" Ketika Miss Oris mengatakan, "Kamu harus menghargai nenekmu, dia melestarikan budaya Indonesia, lo!" Lisa hanya menjawab, "Dia sudah mati!"). Pernak-pernik lain membuat ruang itu lebih seperti toko kelontong daripada sebuah kelas.
Tiga anak bermain gasing di ujung ruangan, persis di belakang meja guru. Miss Oris akan duduk di sana dengan wajahnya yang merah dan rambutnya yang kusut. Semua anak menyukainya. 
Seorang anak perempuan, Citra, duduk di mejanya, persis sebelah mereka, melihat-lihat sebuah buku berjudul Kamatantra. Tentu saja Miss Oris tidak tahu tentang buku itu, Citra menyimpan buku-buku anehnya di saku rahasia tas raksasanya (Percayalah tas itu memang raksasa, seperti koper kalau kamu mau liburan ke Bali, dan isinya seperti kantong Doraemon, mulai dari sepatu high heels sampai kunci Inggris ada di dalamnya). Sebelum jam istirahat temannya yang duduk di sebelahnya bertanya itu  buku apa, dia mengangkat bahu. Dia hanya mengatakan kalau buku-buku itu memberikannya inspirasi untuk menggambar. Dia senang gambar pria dan perempuan yang bertumpukan di sana, seperti burger.
Kali lain dia pernah menggambar seorang seorang pria yang menembak kepalanya dengan pistol hingga matanya lepas sebiji. Teman-teman perempuannya ketakutan, teman laki-lakinya mengaga kagum sambil bersahutan mengatakan, "Cool!" Kadang dia membawa buku yang tidak ada gambarnya, Das Kapital, The Republic, Mein Kampf, bahkan buku berbahasa Rusia dengan hurufnya yang serupa heiroglif, ketika ditanya ceritanya apa, gadis itu hanya mengatakan, "Enggak tahu, keren aja!"
Beberapa anak perempuan lain sibuk dengan kliping-kliping bergambar Justin Bieber, Smash, dan Coboy Junior. Mereka cekikikan seperi arisan ibu-ibu di sebelah pintu. Kadang mereka berteriah "Ohhhh!" "Ya ampun!" "Ganteng banget!" Mereka benar-benar dewasa sebelum waktunya.
Sedangkan Dini masih menghadap Laras. Sebuah meja biru memisahkan mereka. Dia tidak benar-benar siap dengan pertanyaan yang diajukan oleh temannya itu. "Kenapa kamu tanya begitu?"
Laras segera berubah serius, "Tadi malam papa mamaku bertengkar. Katanya mamaku selingkuh dengan Papanya Doni. Kamu tahu Doni yang ingusan itu kan?"
"Tahu! Anak yang suka  pakai rompi merah itu kan, yang rumahnya di ujung, dekat TPA?"
"Benar!"
"Anak itu jelek sekali! Baunya seperti kambing!"
"Papanya lebih jelek! Baunya seperti induk kambing. Aku memisah papa dan mama. Papaku malah teriak-teriak. Aku mau dipukul. Aku mengelak. Mama nangis. Papa minta bercerai, mama gak mau. Katanya papa sudah gak cinta lagi sama mama. Terus papa tanya sama aku, 'Enak mana papa mama hidup bersama tapi selingkuh, atau bercerai?' Aku gak tahu jawabannya."
Dini terperangah ngeri, "Terus?"
"Aku jadikan pertanyaan itu sebagai PR"
"Kalau PR kan harus kamu kerjakan di rumah!"
"Iya sih!" Tapi selekas itu dia menambahkan, "Tapi sekarang aku gak kerasan di rumah. Papa mama sudah seperti kompor, kalau dekat dengan mereka hawanya seperti di neraka!"
"Kamu pernah ke neraka?"
"Pernah sekali, waktu liburan kemarin."
"Wow!"
"Sebenarnya papaku juga pernah selingkuh dulu dengan Mbak Nanik. Tapi gak ketahuan mama. Aku tahu waktu mereka berciuman. Tapi papa langsung membelikan aku Teddy Bear sebesar kulkas, dia menyogokku supaya aku gak cerita mama. Aku terima hadiahnya, tapi aku tetap cerita ke mama. Aku gak suka memihak. Tapi kok bukan aku, tapi malah mama yang ditampar sama papa. Orang tua memang aneh!"
"Iya papaku juga aneh, dia suka menempelkan upil di bawah meja!"
"Menjijikkan!"
Mereka berdua meringis. Tapi Laras segera melanjutkan, "Jadi apa jawabannya?"
"Aku gak tahu, tanya saja sama Miss Oris!" Dini begitu bersemangat.
"Miss Oris belum menikah! Dia gak berpengalaman." 
Semangat Dini agak mengendur. 
"Tapi Miss Oris suka membaca buku."
"Harry Potter maksudmu?"
Dini mengangguk-angguk lalu menggeleng pelan, "Menyedihkan!" Kacamata gading itu semakin menyipitkan matanya. Telunjuknya diputar-putarkan di sebelah telinganya. Dini tampak sangat bloon sekarang. Sebenarnya Dini memang selalu tampak bloon. Tapi walaupun tampangnya seperti itu, sebenarnya dia sangat pintar. Dari seluruh kelas dia satu-satunya yang bisa menjawab apa ibu kota Korea Selatan. Dia juga bisa menyebutkan nama pahlawan-pahlawan dengan tepat. Miss Oris pernah bertanya di kelas mereka, "Siapa pahlawan idolamu?" Budi menjawab "Rambo!" Tapi Dini bisa menjawab, "Sukarno, Hatta, Pattimura, Imam Bonjol, Otto Iskandar Dinata"
Miss Oris memujinya, "Wah kamu tahu Otto Iskandar Dinata, ya?"
"Tahu dong, kan ada di uang 20 ribu."
Rambutnya selalu diikat, kadang dikuncir dua, kadang dikuncir satu ekor kuda, kadang dikuncir persis di atas kepalanya dengan pita putih, cukup untuk membuat teman-teman memanggilnya pocong. Hari ini dia juga dikuncir samping kiri, rambutnya yang tebal membuatnya sedikit miring karena berat sebelah.
"Benar, Ras! Bukunya gak pas. Tapi aku pernah melihat Miss Oris membaca buku motivasi juga! Siapa tahu ..."
"Hanya orang yang gak punya motivasi yang membaca buku kayak gitu." 
Dini mengangguk-angguk, "Mengenaskan sekali kehidupan Miss Oris ya!"
Bel berbunyi, kelas yang ribut menjadi semakin ribut. Mereka menjadikan ini sebagai misi bersama. "Jangan sedih ya!" Sambil menepuk punggung Laras, "Kita harus menemukan ide  cemerlang! PR-mu harus terjawab!"
"Benar! Hidupku bergantung pada jawaban itu!"
Tags : , ,

No comments:

Post a Comment