Aku duduk di sebelah Bopha sepanjang ibadat. Aku benar-benar suka ibadatnya. Aku merasakan kesederhanaan yang luar biasa dalam ibadat itu, tentu untuk ukuran GKI. Musiknya hanya menggunakan dua buah keyboard, liturginya tidak yang berlebihan glamor, gemerlap, dan gemebyar. Tapi aku merasakan Enos di sana. Aku ingat dulu pernah bertanya kepada Enos, "Mengapa Masaran?" dan dia mengatakan kepadaku, "Gereja itu banyak para lansia, dan aku rasa aku suka di sana. Bukan di gereja yang terlalu besar. Pas untukku." Dan aku melihat seorang Enos yang bertumbuh bukan sekadar menjadi pintar atau yahud, dia tumbuh menjadi manusia. Dan aku bisa melihat sumringah itu pada wajah orang-orang yang dua puluh tujuh tahun tak memiliki pendeta definitif itu. Mereka bertemu.
Aku tak terlalu sreg dengan prosesi menuju penahbisannya, aku merasa ada yang patah ketika sang pendeta memanggil Enos serta pendeta lain ke depan, dan pemberkatan terjadi. Proses pemberkatan oleh puluhan pendeta itu selalu indah, tapi ajakan masuk ke sana yang aku rasa ada aliran yang agak patah. Aku membayangkan sang pendeta menyampaikan narasi, lalu dalam pujian song leader dan iringan musik dia turun, lalu para pendeta bergilir mendampinginya, manghadap ke depan. Aku membayangkan dia akan memanggil Enos dalam iringan musik bernada rendah atau sekalian tinggi, dan seluruh pendeta itu tersenyum bersama menerimanya. Sang pendeta ini akan membuka tangannya, seolah berkata, "Marilah! Join us in this custody!" Baru kemudian Enos datang dan berlutut. Aku rasa itu akan terasa lebih mengalir. Tapi tidak masalah, karena prosesi selanjutnya dan keseluruhan ibadat ini sangat indah, sebuah ibadat hati. Termasuk bagaimana sang pendeta memberikan Alkitab, alat perjamuan kudus, dan baptisan. Aku rasa posisi berdiri ruang dan pergantian enam gadis berpakaian Jawa kontemporer itu begitu menawan.
Aku berbisik kepada Bopha, "Ini bedanya khotah yang kudengar di GKI dan GKJW. Di GKI muatan didaktisnya luar biasa tinggi. Sedangkan kami tidak begitu banyak menyempatkan waktu dengan tafsir. Kami lebih banyak mendekati ini." Aku menunjuk dadanya. Dia menjawab, "Aku membaca beberapa rancangan khotbah GKJW, aku rasa pendek tapi dalam. Kami, GKI, butuh otokritik." Aku menimpali, "Aku rasa kita berangkat dari latar belakang yang berbeda. Aku rasa akar kejawaan GKJW membuat perkara ajaran untuk kami menjadi sangat longgar. Dampaknya malah yang teologis itu begitu menjelma, ekses negatifnya kadang hilang titik berangkatnya, karena terlalu banyak berefleksi dan menurunkan. Tapi itu juga menjadikannya sekaligus inklusif. Hari ini bersama aku ibadat di sini, wargaku beribadat dalam KKRnya Niko" Dan Bopha menegaskan, "Wow! Bisa diterima ya? Kalau kami ajaran itu sangat besar porsinya. Di tempat kami akan sangat mudah mengatakan ini GKI dan bukan GKI." Aku rasa dalam kacamata yang positif, GKI berani jelas dan tegas dalam identitasnya, sedangkan GKJW membuka dirinya. Keduanya baik dan buruk sekaligus.
Ketika seorang pendeta lain memberikan sambutan, "Selamat datang Mas Enos di dunia pendeta. Pendeta itu akronim, tahu artinya apa? Penderitaan tiada akhir." Bopha segera tertawa dan menyerapah, "Sial, kita mengusahakan supaya banyak yang mau masuk pendeta, ini malah ngomong penderitaan tiada akhir, siapa yang mau tertarik jadi pendeta kalau begini?" Aku ikut tertawa. "Aku rasa kita memang perlu menceritakan mitos yang lain, Bop! Seperti YBPK GKJW dulu dikatakan sebagai sekolah buangan, hari ini ceritanya adalah tentang 'Ini sekolah yang memberikan kesempatan bagi siapa pun, jika sekolah-sekolah hebat itu hanya menerima yang baik, kami menerima the lost generation. Semua berhak atas pendidikan, dan kami menyediakan diri ketika yang lain menutup pintu. Yang mau berjuang bersama kami demi perjuangan masa depan bersama, mari bergabung.' Aku rasa mulai dari penceritaan mitos yang demikian kita akan bertemu dengan makna yang kurang terjelajah. Yang hilang oleh slogan efektif dan efisien." Bopha menjawabku, "Aku rasa beberapa orang di sistem kadang menutupi banyak hal, mengapa tidak dibuka saja semua. Kalau semua ikut pinter kan ya lebih baik. Tidak ada yang akan berkurang kok." "Malah kepercayaan dan hormat luar biasa." Timpalku.
Lalu kami, angkatan 2003, dipersilakan Enos ke hotel, menunggu di sana sambil bereuni. Selain aku dan Bopha, ada Rani (ah betapa senangnya aku ketemu anak satu ini), Aska, Agus, dan Argo (tetap luar biasa tenang), ada Yosia, dan Dioz (aku senang sekali melihat mereka berdua datang dan selalu bertengkar) sedangkan yang lain datang bersama pasangan mereka, Adhit, Galluh dengan istrinya, Sammy dengan istrinya dan Bagas, Jimbun dengan istri dan Jason (yang mati-matian takut kepadaku, sampai aku menciumnya dan kami pun bergenggaman tangan sesudahnya), lalu Krista dan Wahyu juga datang, ah luar biasa, kami merindukan yang lain juga. Bersama kami juga Barmen dan Bowo. Aku juga sempat bertemu dengan beberapa anak lain di ibadat tahbisan, tapi mereka tidak ikut ke sini. Aku luar biasa senang juga bisa bertemu dengan dua kekasihku, Ayub dan Keisha.
Dan kami tidak berubah, makan sepiring bertiga, minum, dan bercanda seperti anak-anak kecil dari kampung yang bahagianya tidak berbatas. Nyatanya kami memang anak-anak kampung. "Aku gak tahu, aku seneng banget melihat anak-anak ini." Dan Bopha menjawabku, "Aku rasa ke depan, gereja akan benar-benar bersatu." Aku tersenyum, semoga. Tapi entahlah, aku memiliki keyakinan itu. Enos datang dan aku bisa melihatnya, ah kawan satu ini memang luar biasa. Kekuatan Enos adalah dalam kesederhanaannya. Kesederhanaannya membius dan membuatku menundukkan kepalaku sedalam-dalamnya pada anak satu itu. Dan dia tetap Enos yang kocak dan kreatif. Begitu organik. Aku mengerti mengapa dia mengambil tema, "Dalam kelemahan, kuasa Tuhan sempurna" untuk tahbisannya.
Aku harus pulang lebih dulu, karena besok paginya ada acara dengan anak-anak SD dan para guru di PGKK Pare. Argo dan Bopha mengantarkanku menunggu bus. "Sistem!" Kata Bopha kepada Argo. "Iya Go! Aku rasa jalan terbaik itu melalui sistem. Dengan sistem sesuatu berumur lebih panjang, sehebat apa pun kamu di suatu tempat, semua akan hilang dalam dua puluh tahun," tambahku. Dan Bopha mengatakan, "Tentu saja untuk itu harus sangat sabar, kita tidak bisa hanya menggunakan hitungan sekian tahun." "Dan kadang kita hilang. Tidak masalah! Toh bukan untuk kita." Tambahku. Argo selalu seorang yang begitu luar biasa dan rendah hati, dia mengatakan, "Aku kemarin di tempat Adhit membaca buku Nouwen yang kamu bilang itu, kebetulan tipis jadi langsung habis. Luar biasa memang!" Sebelum aku naik ke Mira yang membawaku pulang, aku berkata pendek, "Abad 20-21 ini filsafat yang lebih banyak bermain adalah filsafat bahasa. Kita sudah terlalu pintar dan kaya dengan makna hingga semuanya kadang bias. Bahasalah pengantar yang bagus menuju makna." Dan aku pulang.
No comments:
Post a Comment