Kedua perempuan itu bersama-sama menatap cermin. Yang lebih tua menatap kepada yang lebih muda. Matanya berat. Pandangannya pekat. Hitam bola matanya berpadu dengan selirit putih yang tumbuh pada bagian hitamnya. Seperti goresan yang disaputkan dengan pensil warna putih dengan sembarangan. Kedua rambut mereka tergerai panjang, yang lebih tua pada batas pinggang, yang muda sebatas punggung. Sang perempuan muda itu tajam meletakkan tatapannya pada sepanjang garis dagunya. Wajahnya merah, bekas menangis sepanjang malam. Keduanya bergaun hitam menjuntai semata kaki, dengan kerah putih melingkar seperti payung. Tidak ada anting yang disematkan di kedua pasang telinga mereka. Hanya bekas lubang, pada yang tua hampir tertutup daging. Alis mereka sama, bertemu yang kiri dan yang kanan, yang tua lebih tebal.
Tangan kanan sang perempuan yang lebih tua diletakkan pada bahu yang muda. Lalu dia menatap ke bawah, ke meja rias yang menjajarkan deratan sisir, cat kuku, lipstik merah darah, pensil alis, dan pemulas mata dan bibir. Perlahan sekali diangkatnya jemarinya dari bahu yang lebih muda. Perlahan seperti tarian Jawa, walau mereka mulai gerah dengan segala hal tentang Jawa. Diambilnya sisir dari jajaran itu. Lalu perlahan-lahan disaputnya rambut yang muda dengan sisir hitam itu. Ada beberapa helai yang sesegera saja luruh. Tercerabut tanpa paksa. Yang muda tak mengaduh, tak juga mengeluh. Berondolan rambut itu berjatuhan di lantai ubin tua di bawah mereka. Berjatuhan seperti daun asam yang dirogok. Perempuan yang lebih tua menyingkirkan rogokan rambut itu dengan kakinya. Digesernya ke kanan ke bawah meja rias, seolah-olah yang muda tak melihatnya. Dia memang tidak melihatnya, tapi dia tak perlu diberi tahu untuk merasakan rambutnya yag berderaian tanggal tak satu-satu.
"Para penerjun payung itu jatuh di laut."
"Tidak sayang, hanya rambut!"
"Mama! Mereka luruh dengan bangga, seolah lupa bahwa aku pun menggenggam takut."
Perempuan yang lebih tua menatap mata yang muda, anak gadisnya. Kalau saja mata itu belum lelah menangis, mungkin masih dilepasnya derai-derainya. Sayang mata itu sudah terlalu lelah, demikian juga kantung yang menyimpan air-airnya. Sang mama masih menyempatkan membelai rambut anaknya gadisnya, lagi. Kali ini mereka lagi-lagi menghadapkan wajahnya pada cermin. Menatap wajah masing-masing. Hanya cahaya lilin yang menerpa wajah mereka, bertarian bersama dengan bayangan di belakang mereka, seolah hendak menerkam mereka berdua. Bayangan itu sedemikian besar dan mereka sedemikian kecil.
"Mereka akan menyebutku hantu, atau setan."
"Tidak akan kubiarkan!"
"Mama, kalau mereka sudah bicara, kita bisa apa?"
"Akan kubungkan mulut mereka."
"Kita hanya berdua."
Gadis muda itu menatap kepalanya. Sebuah garis-garis luka serupa gulutan sawah membekas tebal di atas alis kanannya. Guratan yang sama di sekitar pipi dan dagunya, di kedua belahnya. Serupa merah yang masih muda di tengah kulitnya yang membingkai putih tulang.
Para pria itu memasuki rumah mereka dengan sekali tendang. Daun pintu jebol seketika. Kedua perempuan bermata sipit itu meringkuk di bawah tempat tidur, sambil menjaga bungkam. Ada ketakutan yang begitu rupa menjalari kaki hingga ubun-ubun kepala. Mereka hanya berdua saja menghadapi belasan orang yang masuk dengan berang. Kaca-kaca rumah mereka pecah, api berkobar di mana-mana. Dan berita di televisi menyebarkan kisah-kisah serupa mereka dalam suara dan wajah tenang para pembaca berita, seolah semuanya baik-baik saja. Bagi gadis itu, semuanya segera menjelma gelap. Telinganya berdenging, matanya rapat. Lalu semuanya terjadi begitu saja seperti mimpi buruk. Setelah itu, selama seminggu lampu mati di kota itu.
"Mama, aku cantik, kan?"
Gadis itu menatap bayangannya di cermin, demikian juga mamanya. Seperti ada sebilah pisau yang sesegera saja mengiris tenggorokan mereka. Dan darah segar mengucur bagai air mancur di bundaran hotel besar kota itu.
***
Perempuan tua itu membimbing cucunya yang masih tujuh atau delapan tahunan. Dia menariknya keluar.
"Kita pergi dari sini!"
"Kenapa, nek?"
"Sudah ada yang tinggal di sini."
Hampir saja perempuan tua itu melewati ambang pintu, ketika dia merasakan aroma bunga yang berbaur bersama busuk di bahu kirinya. Ada dingin yang menyerbunya, menusuk seperti silet yang menggurat sampai ke tulang. Lalu perempuan itu melihat seperti ada rambut-rambut lurus hitam yang menjuntai di bahunya, semakin panjang. Dan sesosok perempuan sipit bertengger di bahu kirinya. Serupa duduk mengonggok, lemas bergelayut tapi keras mencengkeram. Persis di telinganya, dia merasakan seperti angin atau napas yang berbisik pelan.
"Mama, aku cantik, kan?"
Perempuan itu berhenti sejenak. Lalu menoleh sebentar ke belakang. Ruangan itu kosong, gelap seperti enam belas tahun silam.
"Iya! Kamu cantik."
No comments:
Post a Comment