Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Malam Terakhir

| No comment
Aku sudah memutuskan. Dan kami akan berakhir. Tidak akan ada lagi malam-malam yang penuh dengan bercinta lagi. Waktu-waktu yang kami lalui bersama sudah semestinya dituntaskan. Mungkin bagi dia, malam ini akan tragis. Aku meneleponnya, kami bertemu di tempat biasa. Dan seperti biasa setelah pembicaraan yang tidak terlalu perlu, dia mengajakku ke atas.Aku mematikan handphoneku, aku tidak ingin momen ini terganggu.
"Ayo!" Rengeknya.
Aku menolaknya, dia masih merengek.
"Aku salah selama ini!" Aku berkata pendek.
"Kenapa sih? Kok tidak biasanya?"
Selama ini aku lelah dengan rumah. Pulang hanya itu-itu saja. Pulang dari kantor, istriku dalam dasternya akan datang dengan kopinya. Kopi yang rasanya tidak pernah berubah sejak kapan pun. Daster yang seperti seragam. Senin dan selasa bunga-bunga, rabu kamis yang dipakainya hamil, sisanya bahkan tidak aku ingat. Dan setelah tujuh tahun ini, aku tahu bahwa kecantikannya hanya cerita SMA, sesudahnya dia hanya perempuan yang tak jauh berbeda dari perempuan lain, perempuan biasa. Sampai beberapa hari yang lalu aku berpikir pernikahan itu sebuah kesalahan.
"Istrimu tahu?"
"Tidak!"
Dia masih bertanya. Tapi aku merasa sudah cukup. Aku memandangnya. Siapa yang tidak akan tergoda. Aku tergoda, sekarang pun masih, tapi ini tidak benar.
Kemarin malam aku pulang. Dan tidak seperti biasanya, istriku tak menghampiriku dengan kopinya. Dia berkata bahwa anak kami sakit. Sudah tidur, tidak perlu dilihat nanti terbangun. Aku duduk di sofa tengah. Sofa pertama kami setelah gaji ketigabelasku yang pertama. Istriku hanya duduk di sisi yang lain, memandangku. Dia hanya memandangku, cukup lama sebelum akhirnya beranjak dalam napas panjang.
"Ada apa, Dik!"
"Aku buatkan kopi."
Dia pergi tanpa ekspresi.Tanpa bekas kecantikan. Hanya daster yang sama.
Namun dia berbeda kali ini. Bukan karena kopi, entah karena apa. Semuanya begitu sama, hanya kopi itu yang berbeda, tapi ada sesuatu lain yang berbeda.
Kopi sudah di meja. Istriku bercerita, tadi dia ke rumah sakit, kartu askes tidak ketemu. Dokter mengatakan bahwa anak kami kena gejala tiphus. Sempat kejang-kejang. Step. Dan cerita itu selesai dengan sebuah kalimat, "Aku tadi  menelponmu, Mas! Tapi tidak kamu angkat."
Sederhana. Bahkan  tidak berarti apa pun. Tapi aku tidak tahu. Ada yang berbeda darinya.
Kemarin malam aku berpikir semalaman. Ada apa sebenarnya?
Dan di sana aku melihat pernikahan kami. Aku melihat ketika istriku masih muda, dan aku melihat perempuan yang sama dalam wujud yang berbeda yang tidur di sebelah anakku. Dia tidak  banyak makan banyak tapi melahirkan membuatnya begitu besar. Sejak dulu dia tidak pernah  menarik, namun kali ini dia semakin tidak menarik.
Namun entah darimana kata itu datang. Seperti lalu begitu saja. Setia. Sebuah kata yang kemarin pagi tidak berati apa pun, namun malam ini begitu mengusikku. Lihatlah istriku yang tidak menarik itu. Dia dan setia adalah dua hal yang terpaut begitu saja. Kopi yang sama, daster yang sama, semua begitu sama. BUkan karena apa-apa, semuanya hanya karena dia setia. Dia sederhana. Dan sederhana itu membuatnya begitu setia. Aku melihat istriku  memang tidak pernah neko-neko. Pagi hari dia memasakkan kami. Mengantar anak ke sekolah, menunggu di sekolah sampai pulang. Bertemu dengan tetangga dan bergosip, menonton sinetron. Dia masih memakai sepeda Honda Merahnya ke mana-mana, tidak pernah mengeluh ini dan itu. Dia tidak memakai kalung dan perhiasan macam-macam, hanya anting-anting bulat kecil pemberian ibunya, hadiah waktu dia menikah.
"Nanti bisa dijual waktu susah."
Betul, ada yang berbeda, anting-anting itu tak ada.
Pagi tadi aku bertanya ke mana anting-antingnya.
"Laku 300, sudah aku belikan kopi, beras 10 kilo, sama buat nyuntikkan Dani."
Aku kaget, dan aku memeluknya. Sudah begitu lama aku tidak memeluknya. Bahkan sudah lama kami tidak bercinta.
"Kamu sudah kerja keras, Mas! Cicilan rumah ini masih lama. Aku ada, dan kita butuh. Ya sudah."
"Kapan-kapan aku belikan yang baru."
"Iya! Kamu pria yang baik, Mas! Selalu baik!" Ujar istriku sambil tersenyum.
Senyum istriku berbeda dengan senyumnya yang menggoda.
"Kenapa sih, kamu kok aneh gak kayak biasanya?"
Aku bisa merasakan tangannya di pahaku. Bergerak naik terus sepanjang paha.
Aku berdiri.
"Sudah cukup, kita berhenti."
"Kamu kenapa sih?"
"Aku sudah menikah, kamu pun begitu. Kita ini tidak benar!"
Aku beranjak dari tempat kami yang biasanya. Aku keluar. Aku masih mendengar sumpah dan makiannya. Aku seperti bisa melihat orang-orang memandangku. Aku akan merayakannya, mungkin beberapa hisap rokok di Sri Tanjung akan  membantuku. Dan demikianlah, aku sempat membungkuskan bakso untuk istri dan anakku. Aku pulang. Aku akan pulang. Aku sudah pulang.
Perjalanan lengang. Begitu ringan. Aku tahu hanya akan ada istriku, kopi, dan daster. Dan anak yang sakit gejala tiphus. Tapi itu sudah sempurna. Banyuwangi tidak terlalu besar. Ketika malam semuanya menyusut, hanyut dalam sunyi, besok ketika pasar, kota ini mulai hingar lagi.
Aku sampai di rumah, tapi bukan hanya istriku, daster, dan kopinya. Ada beberapa tetangga. Beberapa tetangga menyusulku dengan segera. Sambil berjalan tergopoh masuk rumah, mereka menceritakan kisah itu. Tentang sepeda motor yang yang menyalib mobil, tentang mobil yang bingung menghindar, tentang mobil yang menyasak pagar, tentang dinding kontrakan rumah kami yang retak. Tentang istriku yang terjepit.
Bidan desa, duduk di sebelah istriku yang tertutup jarit. Beberapa orang yang menangis.
Entah mengapa, aku mengeluarkan rokokku, tetangga-tetangga pria di luar masih mengulang-ulang cerita yang sama satu sama lain. Tentang sepeda motor yang yang menyalib mobil, tentang mobil yang bingung menghindar, tentang mobil yang menyasak pagar, tentang dinding kontrakan rumah kami yang retak. Tentang istriku yang terjepit.
Banyuwangi tidak terlalu besar. Ketika malam semuanya menyusut, hanyut dalam sunyi, besok ketika pasar, kota ini mulai hingar lagi.
Tags :

No comments:

Post a Comment