1
Kau duduk di depanku. Rambutmu ikal sepunggung. Kau baru saja mengeramasinya. Aku bisa mencium wangi bebungaan bahkan dari batas meja yang membelah kita. Kau tersenyum, lalu mengatakan sebuah nama di deretan menu hitam biru itu. Ada nada seperti tercekat dalam setiap barisan kalimatmu, sesuatu yang menandakanmu dengan cantik. Suara yang kering tapi renyah, serupa krupuk yang digoreng pasir.
Kafe ini remang, kau bercahaya. Aku rasa bukan hanya aku, semua yang berlaluan di sekitar kita, lalu duduk di meja-meja lain, di sisi kanan kiri kita tahu bahwa aku pria yang beruntung. Aku yang membawamu datang ke sini, dan sekalipun aku bukan siapa pun, membawamu kemari membuatku menjadi lebih berharga. Sepanjang waktu Etta James mengisi ruangan dengan suaranya yang berat seperti besi. Aku selalu menyamakan suaranya dengan Sarah Johansson, tapi kau akan langsung memotongku dengan setajam-tajamnya. Kau akan mengatakan bahwa Sarah Johansson itu berkarat, sedangkan Etta James abadi.
"Kau hanya menyamakan mereka karena sama-sama bersuara seksi! Tapi kualitas itu tidak menipu, kualitas itu masalah endurance bukan cuma flashing!"
"Kau tidak sepakat hanya karena Sarah tidak menyanyi."
"Semoga tidak, kita sudah punya Mariah Carey yang serak-serak begitu. Tapi Mariah Carey punya range kelas sorga. Toh aku juga tetap tidak suka dengannya."
Kita nikmati saja apa yang sudah terhidang di depan kita. Mereka menamakan minumanmu Rose punch, sebuah minuman yang lebih berasa ceri getar dan basa paprika. Aku memesan floral cocktail, sama saja seperti es buah yang dijual di pasar-pasar, hanya saja ditambah kiwi dan selasih dan rum yang tajam, meninggalkan asam yang tahan lama di batas lidah. Lalu ketika makanan itu keluar, aku bisa mencium wangi ayam yang digoreng renyah dan mayonais yang encer. Daun mint dan kucai. Sebaris udang yang diatur melingkar dengan ekor-ekor merah yang tersiram saus asam manis yang lengket dengan irisan bawang bombay dan wijen. Kau tersenyum melihat ukuran udang yang lebih besar dari biasanya. Aku tersenyum melihatmu.
Kita berbicara tentang kuliah sampai rumah. Tentang ayahmu dan hobi barunya pada sayur organik. Ibumu yang marah-marah karena ayahmu lebih mengurus kebun sayur daripada mencuci pakaian dinasnya. Kau menguapkan hangat dalam setiap baris kalimatmu. Lalu kau mengambil minumanmu dan menyesapnya.
"Diam saja, gantian dong!"
Aku hanya memandangmu. Aku tahu kau sedang sepenuhnya sadar kuperhatikan. Kau hanya menjaganya tetap tenang. Gaun berkilap teal yang kau pakai membuat aroma sejuk. Lalu sebuah jepit rambut dengan tatahan bulat seperti gabus kecil-kecil di sepanjang sisi kanan rambutmu. Aku bisa mencium lagi aroma bebungaan itu. Lavenderkah ini? Atau gardenia? Sweet Alison? Ah entahlah. Semuanya yang menyertamu indah, seperti malam ini, seperti jajaran lilin yang terpasang tinggi rendah di depan kita, seperti cahaya kuning emas yang dipancarkan lampu meja di belakangnya yang sesekali membayangkanmu menjadi siluet yang melekuk bersisih dengan jajaran bambu jepang persisi di belakangmu. Anyaman bambu yang dipernis coklat berkilapan.
"Terima kasih sudah menjadi sahabatku yang luar biasa selama ini, Ris!" Kau tersenyum kepadaku, aku membalas senyummu. Etta James masih di belakang kita, bukan. At last, bukankah itu lagu yang sempurna untuk kesempatan serupa ini? Aku ragu apakah hendak menggeret tanganku mendekat pada jemarimu.
"Kemarin," Kau menambahkan sambil menyesap sisa lembut rose punch di bibirmu, "Abraham mengajakku keluar. Akhirnya dia mengatakannya. 5 Mei, tanggal yang baik ya." Kau mengerling sambil mengangguk, aku melihat senyuman yang utuh dari bibirmu. Aku menjaga senyuman tetap menyemati bibirku. Aku menarik tanganku dan mengusapkan keduanya, satu telapak tangan pada satunya. "Dingin!" Jawabku. Aku berhasil tetap tersenyum dalam sodokan yang sekeras-kerasnya dalam ujung perutku. Rasanya ada debar yang memecah ulu hatiku, menyemburatkan panas dan perih bersamaan. Dan kamu cantik sekali dalam senyumanmu.
2
"Ini bukan kamu, sama sekali bukan tentang kamu. Ini tentang aku. Aku ternyata tidak siap berikatan. Aku mencobanya, tapi ternyata aku tak mampu. Kamu sudah terlampau baik kepadaku selama ini. Jika ditanya siapakah pria yang mampu meluluhkanku dan kucintai, jawabannya kamu. Tapi aku merasa semuanya berjalan terlalu cepat. Dan aku belum siap berpisah dengan diriku sendiri. Maaf! Aku mencintaimu, tapi bukan kita."
3
"Kamu masih mencintainya?"
"Mungkin!"
"Dia brengsek sekali!"
"No! He's just a boy!"
4
Kedua manusia itu tampak begitu bahagia. Sang perempuan cantik dan anggun dengan gaun putih tulang sepanjang-panjangnya. Rangkaian mawar putih Sang pria gagah dengan jas krem senada dengan putih kulitnya. Sang pria menyematkan cincin di jari manis istrinya sambil mengucapkan janji pengantinnya. Demikian berganti sang perempuan, "Leo Defana Putra,dengan ini aku Vania Marry Suprapto, di hadapan Tuhan dan JemaatNya, mengambil engkausebagai suamiku. Cincin ini sebagai bukti cintaku yang tak berbatas. Aku akansetia kepadamu seumur hidupku, dalam suka maupun duka, dalam tawa maupuntangis, ketika untung maupun malang, ketika sehat maupun sakit, dalam segalahal sampai maut memisahkan kita, seperti kasih Kristus kepada umatNya."
Kuartet string memainkan lagi Cincin Kami dengan indahnya. Dua buah violin, sebuah viola, dan sebuah cello. Empat pemuda berpakaian setelah jas hitam dan dasi hitam lencir. Pemain Cello menundukkan mukanya menatap partitur lagu dengan seriusnya, seolah tak menginginkan ada nada yang salah ditekannya. Seorang pemain piano di belakang ikut mengiringi, memberikan alur bagi irama instrumen gesek yang nyaring dan menciptakan hening dengan segera itu. Membualkan suasana syahdu sepanjang kapel kecil berwana putih dengan beberapa bercak abu-abu goresan waktu itu.
Semuanya bibir tersenyum, Pastor muda itu menumpangkan tangannya ke genggaman tangan kedua mempelai. Tampak wajah puas yang tergambar dari seluruh raut wajahnya. Lalu paduan suara mulai bernyanyi dengan suara yang istimewa.
"Cincin tanda cinta kasih sejati, tlah melingkar di jemari
Cincin tanda cinta kasih sejati, tlah mengikat dua hati
Di hadapan altar yang suci ini kita saling serah diri
Di hadapan altar yang suci ini cinta kita kan abadi.
Badai serta taufan kang menghadang namun cinta kita tak kan goyah
Tuhan beri kasih serta cinta mengarungi samudera cinta"
Mempelai perempuan menatapkan matanya pada sang pria. Sang mempelai pria menatapkan matanya kepada sang perempuan. Lalu beberapa saat kemudian pandangannya beralih, kali ini kepada sang pemain cello. Pemain cello itu masih tak mengalihkan pandangannya dari partitur. Hanya sang mempelai pria yang sadar bahwa pemain cello itu menunduk menahan air mata. Dia mengingat sms terakhir yang dikirim pemain cello itu kepadanya, "Aku doakan kamu bahagia. Aku senang bisa mengiringi pernikahanmu besok." Dan dia membalas, "Aku tidak bisa memilih yang lain, aku mencintaimu tapi kita tahu kita tidak ke mana-mana. Dan Vania, kamu tahu dia, dia terlalu istimewa." Tidak ada lagi sms sesudahnya.
Mempelai perempuan mengeratkan genggamannya kepada suaminya. Membawanya kembali pada saat ini. Bibir perempuan itu merah muda, kulitnya putih halus, tersenyum penuh menatap suami yang akan ditemaninya dan dicintai sepanjang usia.
5
Mbok Sunik menata pecelnya sambil terus bercerita. Aku mendengarkannya sambil tertawa sekeras-kerasnya, seharusnya ceritanya sedih, tapi dia membuat semuanya jadi tampak seperti cerita benderang siang. Wajahnya bulat seperti loyang roti bluder. Matanya berapi-api seperti senter.
"Nek gak gara-gara bojoku sing embel kuwi opo yo aku sampek mbelani dodol pecel ngene, Mbak!"
"La lah napa to, Mbok?"
"Sing wedok mumet nyambut gawe lembur nang terminal Bungur, sing lanang malah nganggur kaya tuma kasur. Urip ra diatur, mulur koyo semur. Gayahe njah-jahana kaya gubernur, sing wedok dipekso dadi belalang tempur. Tura-turu ben awake jamur. Ra tangi-tangi opo kepingin ndang dikubur. Bojoku kuwi jan bajigur!"
"Menapa boten purun blas nyambut gawe to Mbok?"
"Halah! Nyambut gawe sithik jarene awake sayah, dibasak-basakne dewe sing ngrungokno nganti wegah. Penak-penakan tak kon umbah-umbah, malah aku diantem layah. Ganti wonge tak siram jelantah!"
"Ngantos ngaten, Mbok?" Aku terkikik, tidak bisa menyembunyikan rasa geli yang menjalar sampai ke ujung kakiku. Dan Mbok Sunik tampak masih sangat bersemangat seperti prajurit pembela bangsa.
"Ngono kuwi opo ra gaweane main karo bakule sate ipit? Sing wedok budhal dheknen nyingit-nyingit, nyang bakul sate mripit-mripit! Jan atine kaya dhemit. Diomongi anake, anake malah disilit-silit. Untung aku ra reti, nek reti apa ra tak antem celurit. Opo tak seleh kelek tak kempit, bene kaya opak gepit. Keluarga digawe morat-marit! Pokoke hancurit, wong lanang kok kayak emprit!"
Aku terpingkal, Mbok Sunik tidak berhenti tetapi semakin merajalela, "Kapanane konangan karo aku, dheknen budhal nang bakul sate kuwi wingi dina Sabtu. Langsung tak uber nggawa sapu, bojoku keplayu. Tak uber tak tlorong danganene sapu, bojoku ra kena, sing kena asu. Bojoku mlayu asune melu mlayu. Sukur dicokot asu, jaitan pitu!"
"Mboten tresna ta, Mbok?"
"Mbelani tresna, sing ditresnani kaya ula!"
Lalu aku melihat matanya mereda. Napasnya panjang. "Nek duwe bojo apik diopeni Mbak." Aku tersenyum kepadanya. Mbok Semi tidak tahu, tidak perlu tahu, suamiku tujuh bulan tidak pulang, tanpa kabar, tanpa berita. "Inggih, Mbok!"
6
Pria itu menatap istrinya. Wajah perempuan itu masih merah, lembab, dan kuyu, perjalanan pulang dari Balikpapan kemarin malam pasti masih membekaskan lelah yang teramat kuat di tulangnya. Tapi perempuan itu tak menyerah, dia ingin bertemu terakhir kali dengan anaknya. Mengapa harus anaknya, dan bukan dirinya? Setidaknya dia sudah mengecap dunia sekian lama. Tiba-tiba air mata menggenang kembali di mata pria itu. Istrinya melihatnya dan hanya menatapnya. Dia melihat air mata yang hampir kembali menetes di mata perempuan itu. Sang pria menggeleng, "Jangan menangis!" dia tak mampu mengucapkannya hanya hatinya yang membisik lesu. Perempuan itu mengangguk, tanpa berkata apa pun dia mengerti. Dia membuang mukanya ke sebelah.
Perempuan itu memaksa dirinya rela tak melihat jasad anaknya. Anaknya diberangkatkan jam delapan pagi, pesawatnya baru sampai di Surabaya jam sembilan. Tidak seharusnya jasad dibiarkan berlama-lama, demikianlah keyakinannya. Setelah kain kafan putih itu menutup, biarkan saja langsung dishalatkan dan dimakamkan. Dia harus rela, karena cerita ini lebih besar daripada dirinya. Agama adalah tiang manusia, dan keyakinannya kepada Sang Waktu menguatkannya bahwa waktu-waktu-Nya selalu tepat.
Dia pergi ke Balikpapan, merelakan dirinya untuk menjadi pembantu rumah tangga, agar anaknya bisa punya handphone seperti teman-temannya. Anak lelaki satu-satunya itu juga kepingin punya motor. Sang pria, suaminya hanya buruh bangunan. Sekeras apa pun mereka berusaha, mereka masih tidak berhenti mengontrak rumah sampai hari ini. Maka tiga bulan yang lalu dia memutuskan berangkat dari rumah dan memberanikan diri ke luar pulau, supaya mimpi anak semata wayangnya itu bisa terturuti. Anak itulah sumber harapannya, bukankah harapan harus selalu dihidupi? Bahkan jika terpaksa harus merelakan segalanya.
Ah, tapi siapa yang tahu besok akan jadi apa? Seorang perempuan yang datang melayat mengelus punggungnya. Perempuan itu tersenyum, "Saya ikhlas!"
7
"Eloi! Eloi! Lama sabakhtani!"
Dan setelah para prajurit itu mengundi jubahnya, dia manatap orang-orang itu dengan penuh cinta, ibunya ada di sana dengan kerudung hitam yang ditelungkupkan sepanjang kepala. Dia tahu perempuan itu tidak tega melihatnya seperti sekarang. Tapi demikianlah seorang ibu, ibu akan ada setiap saat bagi anaknya, bahkan dalam saat terburuknya. Ketika semua orang pergi, tidak dengan ibu.
Andaikata boleh dia ingin memeluk ibunya, sekali ini saja. Namun dia mencoba menenangkan hatinya. Setelah ini masih ada kawan-kawannya untuk menemani perempuan tua itu. Semoga mereka menjaganya, sebagaimana perempuan itu telah menjagainya sepanjang waktu. Ikut dengan setia ke mana saja dia pergi. Dia tidak ingin tampak kesakitan, perempuan tua itu tak boleh lebih menderita menyaksikannya kesakitan. Darah dan daging yang tercerai-berai itu sudah cukup bercerita.
Dia menatap ke atas sejenak, kali ini tersenyum dengan sempurna. "Sudah selesai!" Lalu dia tertunduk, menghembuskan napas terakhirnya, menyerahkan nyawanya.
No comments:
Post a Comment