Dan aku tahu akhirnya, ada yang tumbuh perlahan-lahan sekali. Ketika aku kini berhasil mengunjungi sorga yang pernah kukenal, dan tetap sorga hingga saat ini, aku sadar bahwa ada yang tidak menjadikannya sesempurna dahulu. Bahwa beberapa tahun belakangan ini ada kisah-kisah yang berbinar lembut. Dan cahaya yang temaram demikian tidak pernah kudekap dalam sekali sentak, namun membias perlahan. Pada sisi lain kehidupan sang manusia pesta, hujan tetap mampu menjalin kisah-kisah yang getas. Dan hujan membantunya menemukan sebuah rasa asing, yang ternyata rindu.
Aku tidak peduli pada nama apa yang pantas untuk kugelarkan atas kenangan-kenangan yang berjejalin. Nyatanya aku tak pernah mau tampak terlalu berpretensi, atau katakanlah terlalu langsung. Aku suka pada kulit bawang yang berselimut lapis dan pada akhirnya meruntuhkanku pada tangis yang tidak kikis.
Mengapa aku tak suka memberi nama dari pada sekadar rindu? Mungkin karena jika ini cinta, ini bukan cinta-cinta semacam yang dinamai orang-orang itu pada panas yang menyusup selusup pada sekat dada-dada mereka. Ini bukan kopi yang diseduh dan disesap ketika pagi masih gelap dalam kabut, ini adalah sensasi ketika kopi itu sampai di tenggorokan. Tidak ketika menyentuh tampungan lambung, bukan pula sedap yang muncul sesudahnya. Seperti batas antara ada dan tiada, ketika kau masih setengah sadar dan tetiba telingamu mampu mendengar lebih banyak bunyi dari biasanya, dan melihat lebih banyak dari cahaya-cahaya yang mampu ditampilkan siang, malam, fajar, ataupun senja. Jadi apa namanya? Aku tidak peduli, ini urusanku sendiri. Tidak kurang dan tidak lebih.
Apakah nanti ketika kita bertemu lagi, masih akan muncul yang semacam ini, aku pun tidak peduli. Bahkan apakah seperempat jam lagi sensasi ini masih akan serupa sekarang, aku sama sekali tak peduli. Semacam nada purba yang tak pernah didengar lagi kecuali pada saat penciptaan mula. Nada-nada asing seperti ini bukan nada yang diperoleh dari latihan piano bertahunan, ini seperti nada-nada yang kebetulan melintas, tak bisa diulang, dan tak ingin diulang. Mungkin karena tidak sengaja, atau bahkan karena kesalahan penjadian. Ini seketika ada untuk dinikmati senyampang berada, itu saja.
Aku pun tak juga takut. Jika takut mengapa kuungkap?
Anggap saja aku ingin orang sadar pada kenyataan adanya batas-batas aroma yang kadang lalu begitu saja bagi mereka. Agar orang tak gampang segera gerah atau marah. Supaya mereka tak hanya dituntun oleh rasa, indera, atau logika. Karena jika ini hormon, ini tidak disuntikkan dan dihasilkan tubuh terlalu kerap. Tidak sesering tangis dan tawa, kecewa dan terpuaskan, atau apa pun yang biasa. Tapi bahwa ini indah, itu tak kupungkiri. Namun indah yang melalang bersama jengah. Gelanyar ini tak terjadi sekali dalam satu millennium usia sel kita, maka kita menamainya langka. Bukankan ini lebih dari yang mereka namai istimewa?
Aku tidak berharap kau ada di sini, tapi juga tidak berangan pergi. Itu saja. Setidaknya sebelum Eliana Elias ini menghentikan My Cherie Amournya. Sesudahnya aku sudah punya agenda lain. Dan kau pun demikian, bukan?
Aku tidak peduli pada nama apa yang pantas untuk kugelarkan atas kenangan-kenangan yang berjejalin. Nyatanya aku tak pernah mau tampak terlalu berpretensi, atau katakanlah terlalu langsung. Aku suka pada kulit bawang yang berselimut lapis dan pada akhirnya meruntuhkanku pada tangis yang tidak kikis.
Mengapa aku tak suka memberi nama dari pada sekadar rindu? Mungkin karena jika ini cinta, ini bukan cinta-cinta semacam yang dinamai orang-orang itu pada panas yang menyusup selusup pada sekat dada-dada mereka. Ini bukan kopi yang diseduh dan disesap ketika pagi masih gelap dalam kabut, ini adalah sensasi ketika kopi itu sampai di tenggorokan. Tidak ketika menyentuh tampungan lambung, bukan pula sedap yang muncul sesudahnya. Seperti batas antara ada dan tiada, ketika kau masih setengah sadar dan tetiba telingamu mampu mendengar lebih banyak bunyi dari biasanya, dan melihat lebih banyak dari cahaya-cahaya yang mampu ditampilkan siang, malam, fajar, ataupun senja. Jadi apa namanya? Aku tidak peduli, ini urusanku sendiri. Tidak kurang dan tidak lebih.
Apakah nanti ketika kita bertemu lagi, masih akan muncul yang semacam ini, aku pun tidak peduli. Bahkan apakah seperempat jam lagi sensasi ini masih akan serupa sekarang, aku sama sekali tak peduli. Semacam nada purba yang tak pernah didengar lagi kecuali pada saat penciptaan mula. Nada-nada asing seperti ini bukan nada yang diperoleh dari latihan piano bertahunan, ini seperti nada-nada yang kebetulan melintas, tak bisa diulang, dan tak ingin diulang. Mungkin karena tidak sengaja, atau bahkan karena kesalahan penjadian. Ini seketika ada untuk dinikmati senyampang berada, itu saja.
Aku pun tak juga takut. Jika takut mengapa kuungkap?
Anggap saja aku ingin orang sadar pada kenyataan adanya batas-batas aroma yang kadang lalu begitu saja bagi mereka. Agar orang tak gampang segera gerah atau marah. Supaya mereka tak hanya dituntun oleh rasa, indera, atau logika. Karena jika ini hormon, ini tidak disuntikkan dan dihasilkan tubuh terlalu kerap. Tidak sesering tangis dan tawa, kecewa dan terpuaskan, atau apa pun yang biasa. Tapi bahwa ini indah, itu tak kupungkiri. Namun indah yang melalang bersama jengah. Gelanyar ini tak terjadi sekali dalam satu millennium usia sel kita, maka kita menamainya langka. Bukankan ini lebih dari yang mereka namai istimewa?
Aku tidak berharap kau ada di sini, tapi juga tidak berangan pergi. Itu saja. Setidaknya sebelum Eliana Elias ini menghentikan My Cherie Amournya. Sesudahnya aku sudah punya agenda lain. Dan kau pun demikian, bukan?
No comments:
Post a Comment