Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Kesurupan

| No comment
Pembicaraanku ini mungkin untuk beberapa orang tidak sopan, bagi beberapa kelompok membuka aib itu seperti laknak sendiri, tapi aku harus mengatakannya untuk peliknya masalah ini. Untuk keselamatan sebuah generasi.

Di sini menemukan sebuah kelompok jaranan (kuda lumping) jalanan bukan suatu hal yang sulit. Beberapa orang yang dekat denganku bahkan terlibat di dalamnya. Salah satu bagian keluarga besar jemaatku pun memiliki kelompoknya sendiri. Dan ini bukan sekadar kesenian, layaknya iklan pariwisata. Di sini jaranan adalah mistis, jaranan adalah kanuragan, jaranan adalah cekelan. 

Demi alasan demikian, maka jaranan tidak lagi menjadi sebuah tontonan, kelompok yang mengadakannya juga bukan sekadar kelompok seni keliling. Mereka memiliki ritual dan mantra yang dihidupi dan dihidupkan. Setiap malam bahkan mereka berkumpul. Mereka menyebut itu latihan, tapi sebenarnya mungkin bukan sebuah latihan yang dikenal umum seperti training atau rehearsal, itu semacam ritual mereka. Dan demi itu banyak orang yang kemudian merasa terganggu. Bukan sekadar terganggu karena aktivitas ini dilakukan pada jam orang-orang tidur, tetapi kepercayaan arus utama yang mereka peluk merasa dilukai oleh keberadaan mereka.

Kebanyakan mereka yang menggabungkan diri dalam jaranan justru adalah anak-anak muda. Entahlah pekerjaan sehari-hari mereka, mungkin lebih banyak yang menganggur. Mereka akan memesona ketika tampil, tetapi mereka adalah orang-orang tak terpandang di belakang pementasan. Mereka adalah anak-anak muda yang dianggap merepotkan, mereka tak menghasilkan apa pun dalam kerangka produktivitas ekonomi hari ini, karena mereka biasanya akan tinggal menumpang sebagai parasit entah itu kepada keluarga atau kepada pihak lain. Berlebihan? Mungkin tidak. Karena mereka tidak memiliki etos yang dibutuhkan masyarakat dalam produktivitas massa. Dan citra buruk semakin menggenapi wajah kelompok jaranan ini karena para pemain utamanya. 

Untuk para anak muda desa yang hanya mengenal televisi sebagai sumber hiburan utama dan sekolah tertinggi adalah SMA, kelompok jaranan ini sangat mengairahkan. Desa menyimpan terlalu sedikit peluang dan terlampau banyak masalah sosial, apalagi desa yang jauh dari peradaban hari ini. Mereka yang berpendidikan akan memilih ke luar, ke kota. Mereka yang tak cukup bersentuhan dengan pendidikan sedangkan belum cukup banyak referensi tentang dunia luar selain dari OVJ dan sinetron akan sangat menggeluti keberadaan kelompok hiburan seperti jaranan sebagai jalan keluar. Dan pesona mistis jaranan akan memukau mereka sedemikian rupa, menjadi semacam kanker yang menjalar dengan sukacita dan tanpa terpaksa. Ketika masalah datang, mereka tidak cukup banyak referensi pemecahan masalah selain menjadi trans oleh musik ritmis, rapalan mantra, dan sesekali minuman oplosan. Realitas satir yang nyata-nyata ada.

Seorang anakku ditemukan lemas seketika setelah sebuah acara yang diadakan oleh gereja. Dan dugaan mereka yang mengenalnya langsung menuju pada kedekatannya pada kelompok mistis jaranan itu. Masalah yang menghinggapinya langsung adalah masalah yang berkait dengan dunia roh. Dia dijerumuskan oleh roh tidak baik, demikian kesimpulan mereka. Kedekatan sang anak dengan dunia lelembut tak kasat mata dan keberadaan sakit mendadaknya langsung membuat orang sekitarnya berkesimpulan tentang pengaruh mereka yang dilibatinya dalam kelompok jaranan dan non kodrati itu. Seorang anak lain lagi ditemukan tiba-tiba langsung kesurupan di dekatnya ketika dia mulai sehat. Maka segera saja wacana mistis merebak sedemikian rupa. Pada saat itu aku berada di situ, dan aku menjelma sosok yang segera menjadi sangat bodoh karena tidak tahu menahu sama sekali tentang alam demikian. Ditambah lagi berkali-kali anak ini pingsan, bangun, dan pingsan lagi.

Doa kepada Tuhan dipanjatkan, sang anak mulai membaik, kesadaran dan tenaganya mulai pulih. Demikianlah pada saat itu pembicaraan mengenai kuasa Tuhan yang melampaui kuasa gelap menjadi pembicaraan santer yang tidak terbantahkan. Aku terbuka saja pada kemungkinan itu. Mungkin memang ini wilayah yang sama sekali tidak kuakrabi itu. Peristiwa ini terjadi di Malang, dan kami harus sampai di Kediri malam itu juga. Maka setelah tenaga sang anak pulih, bus melaju dalam kemacetan ke Kediri meninggalkan dinginnya Malang sore itu. Macet dan hujan di luaran. Aku bermotor dan aku mulai merasa tenang.

Ketika sampai di Dewi Sri, pusat oleh-oleh tradisional di Pujon, beberapa orang turun untuk membeli oleh-oleh. Aku memarkir motorku di dekat bus dan mengecek kondisi anak ini, dia tidak ikut turun. Dia masih lemas, tapi sudah tidak bermasalah dengan pingsan dan dunia rohnya. Aku mulai tenang. Kami akan makan di Selorejo, aku mendahului mereka dengan motorku, bus datang belakangan.

Rasa tenangku mulai terganggu ketika anak yang semula sudah mulai sehat ini tiba-tiba ditemukan pingsan lagi ketika bus sampai di Selorejo. Aku segera memunculkan dugaan bahwa masalah ini bukan sekadar masalah dunia roh, tapi ini masalah psikopatologis, dan anak ini dalam sebuah kondisi lain dari kegagalan pengelolaan psikenya. Dia histeria yang tidak meledak, namun tetap sebuah histeria.

Ketika dia mulai sedikit sadar, aku membisikkan di telinganya, "Kalau sampai di rumah, nanti kita segera pulang, ayo sekarang kamu harus sehat." Dan dia menjawabku, "Saya tidak ingin pulang ke rumah, Pak! Saya ingin tidur di gereja." Benar, itu dia masalahnya. Aku tahu bahwa ada peristiwa buruk yang terjadi di rumahnya, dan mendapati bahwa dirinya akan kembali pulang ke rumahnya, dia tidak berhasil mengelola semua tekanan yang bertubi-tubi muncul dalam pikirannya. Dan dalam dunia jaranan yang dikenalnya sebagai jalan keluar, tidak ada jalan keluar, tapi masalahnya hanya itu referensi yang dia miliki. Dunia pendidikan tak menawarkan apa pun selain perhitungan aljabar, bukan pengelolaan emosional, apalagi pengelolaan krisis diri. Dan ketahanannya terbatas. Jaranan sudah menjadi pelariannya, ketika pelarian itu tidak cukup menampung semuanya, dia tidak tahu lagi harus menampung di mana. Jaranan yang baginya solutif selama ini, tidak menyediakan masalah untuk orang tuanya yang berpisah tanpa bercerai dan sekarang bapaknya sudah menikah siri dengan perempuan lain. Tidak menyediakan jalan keluar untuk ibunya yang terpaksa menggadaikan kehormatan untuk makan, merelakan dirinya, dan ibunya ini juga terpaksa selama beberapa saat tinggal bersama seorang pria beristri untuk menjamin kehidupan anak-anaknya. Untuk semua hal berat yang dialaminya, jaranan atau apa pun itu yang sebatas ini dikenalinya tidak cukup membuka pintu dan menyediakan jawaban. Dia hilang dalam ketakutan dan keterpurukan yang semakin dalam karena selama ini semuanya membebani dia. Aku membisikkan kepadanya, "Kita bicarakan masalah ini nanti, sementara dibutuhkan kamu boleh tinggal di rumahku. Tapi kita harus pulang dulu sekarang. Di sini kamu hanya akan merepotkan orang lain, dan toh masalahmu tidak selesai." Dia mengangguk, membuka mata, dan tidak kurang dari lima menit kemudian dia sudah seperti tidak pernah sakit.

Kemiskinan ini adalah hal paling jahat di Indonesia. Kemiskinan membuat orang tidak mengecap pendidikan yang selayaknya. Membuat orang merasa bahwa sekolah adalah tempat yang tidak semestinya. Sekolah adalah jalan yang panjang, yang hanya berisi mata pelajaran yang entah apa pentingnya. Bahkan orang kaya dan pintar menjadi semakin egois. Siapa yang mau pulang kampung dan mengelola ketiadaan. Semuanya memilih kota yang subur dan makmur. Jalan pintas dalam kehidupan adalah pilihan, tidak ada pilihan alternatif, karena tidak memilih jalan pintas itu berarti tidak makan. Kemiskinan membuat orang menghalalkan segala cara untuk kaya, bahkan setelah kaya mereka tetap bermental miskin. Karena kemiskinan ini menggerogoti sampai di balik tulang rusuk, di mana jantung tersimpan. Sekalipun sekolah mereka tetap menjadi bodoh, karena mereka tidak bersekolah untuk menjadi sadar, tapi mereka bersekolah agar bisa bekerja. Dan ketika mereka tidak masuk ke dalam gerbong kereta karena keterbatasan , maka pilihan mereka adalah kesurupan dan mati. Untung saja anakku belum sampai memilih mati.

Maka inilah masalah kita: kemiskinan. Kemiskinan yang membodohkan, kemiskinan yang melahirkan fundamentalisme. Dan orang-orang kaya yang serakah. Dan gereja yang diam asal ada persembahan masuk. Dan orang kaya yang berjaya membeli gereja, membelu masjid, membeli ustad bertarif, membeli harga diri, membeli guru malas, membeli sekolah, membeli dunia.

Ini saatnya dunia pendidikan berbicara. Pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan yang membawa pada kesadaran. Masalah ini pelik, dan ini bukan kondisi biasa-biasa saja. Sudah cukup dengan kemiskinan dan kebodohan ini. Jika tidak bangsa ini hanya akan menjadi bangsat terjajah tanpa kemerdekaan. Yang bahkan terlalu takut lagi untuk bermimpi. Dan langit akan menjelma kelabu sampai hitam. Hujan turun bersama doa pemakaman dan rapalan mantra, sementara itu musik jaranan mengalun bertalu-talu bersama tarian roh pencabut nyawa. 

Cukup! Sudah cukup! Aku malu dan aku mengajakmu untuk ikut berjuang bersamaku. Mimpiku sederhana: membangun kebanggaan akan desa, membangun pendidikan, kalau yang formal prekethek, yang informal tak pernah jadi soal, membangun generasi yang bernalar makmur bukan sekadar kaya duit, bangga dengan martabat. Ayo berjejaring sehat. Sudah cukup dengan semua ini! 
Tags :

No comments:

Post a Comment