Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Keluarga Kami yang Bahagia

| No comment
"Memang berapa butuhnya, Mas?" Pria itu masih berdiri di tempatnya. Istrinya berdiri di antara mereka berdua menggenggam dompet coklat besar, dia tahu anaknya tidak main-main. Wajahnya  menunjukkan ketakutan yang gagal ditahannya, berbalikan dengan wajah geram anaknya, penuh kemarahan.
"Ibu ini!" Teriak pemuda itu. Dia mundur beberapa langkah, dan demi ditemukannya pintu kamarnya, dibantinglah pintu itu sekaras-kerasnya.
"Duduk dulu, Mas!"
Mereka berdua duduk. Perempuan itu tidak menanyakan apa-apa lagi. Dikeluarkan saja dua lembar seratus ribuan dari dompetnya. 
"Ini Rio sudah mulai PKL."
Perempuan itu mencoba tenang lalu tersenyum, tidak dibalas juga oleh suaminya. Pria itu masih bergidik mengingat pukulan yang hampir melayang di wajahnya. Sebulan yang lalu pukulan itu berhasil melepaskan salah satu gigi seri bawahnya. 
Setelah pengurangan karyawan di pabriknya, dia belum juga menemukan pekerjaan. Cerita bahwa dia ikut gerombolan penipu di bis Surabaya Banyuwangi sudah menyebar seisi kampung. Dulu dia pria terhormat, walau mungkin tidak karena apa yang dimilikinya, semua orang menyapanya ketika akan berangkat ke pabrik. Namun cerita itu sudah berakhir dua setengah tahun yang lalu. Sekarang hanya gelar pencopet dan banddar togel itu yang melekatinya. 
Sebenarnya dia tidak berkeberatan ikut mreman di sawah, tapi berapa dapatnya. Sehari dua puluh ribu, dari pagi buta sampai menjelang Maghrib, rokok Surya saja hanya dapat dua bungkus. Mertuanya sudah cukup melecehkannya, dia ingin membuktikan bahwa dia bisa, tapi nasib baik tampaknya masih jauh darinya. Dan sekarang anaknya, bocah itu memang tidak pernah kekurangan bersama kakek neneknya, tapi dia dulu juga tidak kurang-kurang memberi uang setiap bulan. Untuk apa orangtua bekerja kalau bukan untuk anak.
Diterima saja uang dari istrinya. 
"Mas!"
Pria itu menoleh kepada perempuan itu.
"Enggak, gak apa-apa!"
"Iya aku ngerti!"
"Bukan! Bukan itu!" Perempuan itu menarik napas sebelum melanjutkan, "Kalau bisa... Ya kalau Mas bisa, sering-seringlah pulang!"
Mata pria itu memandang perempuan itu tajam. Menunduklah perempuan itu.
Tapi perempuan itu memaksa melanjutkan, "Rio sering marah-marah. Saya gak kepingin Jenengan jadi sasaran terus."
"Tambah susah diatur anak itu!"
"Kalau sama saya dia manut kok."
"Kebiasaan hidup enak, tidak tahu rasanya jadi orang susah!"
"Ya gak begitu, dia sudah besar sekarang, sudah bisa mikir sendiri."
"Merasa pintar dia, bisa minteri bapaknya!"
"Bukan begitu, Mas!"
"Lah terus piye karepe?""Ya namanya anak ya gak tega kalau ibunya dipulasara!""Rame ae rek! Kalo gak mau kasih uang ya gak apa-apa! Gak usah kakean omong! Apa kamu pikir uangnya tak habiskan buat medok? Sudah ketularan orang-orang kamu sekarang?"
"Enggak, Mas! Saya percaya sama Jenengan!"
Pria itu berdiri. Perempuan itu mengikutinya.
Pria itu memandang istrinya, matanya merah.
"Di rumah saja ya, Mas, malam ini!"
"Kakean omong!"
Kalimat itu disambung dengan benturan keras kepala perempuan itu ke tembok. Pria itu mendengar jeritan si perempuan. Tangisan menyusul. Segera dia bergegas sebelum anaknya keluar dari kamar. Namun dia terlambat, Rio sudah berdiri di depannya, dan sebuah pukulan mampu membuatnya terjungkal ke tanah. Tubuhnya tidak sekuat dulu, dengan beberapa kali tendangan di perut, setelah mimisan keluar dari hidungnya, lalu gelap.

Pemuda itu duduk persis di sebelah ibunya. Dia harus mengarang alasan, "Dipukuli preman di pasar!" 
Dokter tidak bertanya dan langsung menanganinya. 
"Kamu mbok jangan begitu sama bapakmu!""Bapak apanya?"
Rio mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Ibunya memandang terkejut. Tapi tatapan mata anak itu menghentikannya berbicara. Dia sudah cukup mendapat masalah hari ini. Dia tidak berkomentar. Dilihatnya saja, anak itu sudah pandai merokok kelihatannya.
"Kenapa Ibu tidak pisah saja?"Perempuan itu hanya diam saja.
Dia menikah terlalu muda, dia baru kelas dua SMA ketika dia sudah tidak lagi menstruasi. Ketakutan itu hampir membuatnya menggugurkan kandungannya. Tapi pacarnya menahannya. Dia berjanji akan bertanggungjawab. Dan pria itu melakukannya. Di tengah kemarahan orangtuanya, datanglah pria itu melamar bersama ibunya.  Orangtuanya memaksa menikah seperti tata cara agama mereka, dan kekasihnya mengiyakan saja, dia siap bertanggungjawab, apa saja.
Setelah pertobatan dan pemberkatan perkawinannya. Sebuah pesta besar-besaran diadakan. Perempuan itu memang anak satu-satunya. Tapi di balik senyumnya dia selalu memandang kedua orangtuanya, mereka tersenyum kepada setiap tamu, tetapi tidak kepada menantunya. Dan wajah yang demikian dipertahankan terus hingga anak itu lahir. Mereka datang membawakan popok, susu, selimut, bak mandi, bedak, minyak telon, dan apa pun yang dibutuhkan bayi itu. Tapi mereka tidak pernah membawakan senyum untuk suaminya. 
"Pak, punapa boten kepingin sae kaliyan Mas Lukman?"
Bapaknya memandangnya lalu membuka kotak susu. Tanpa memandangnya pria tua itu bergumam, "Tak gadang gadang kowe isa dadi bidan. Ajur mumur kabeh gara-gara kelakoane bojomu iku!"
Suaminya juga memasang wajah sinis kepada mertuanya. Dan hubungan mereka tak pernah baik sampai anaknya tumbuh dewasa. Orangtuanya yang membesarkan anaknya, karena suaminya tak pernah bisa mencukupi kebutuhan mereka bertiga. 
"Ibu apa nggak pingin bercerai saja?"
Mata perempuan itu memandang anaknya, dia hanya menggelengkan kepalanya tak mengerti arah pikir anak muda jaman sekarang.
"Kok tegel kamu ngomong begitu!"
Perempuan itu mengusap dahinya dengan keras. Kepalanya mulai sering sakit beberapa bulan ini. Anak ini pasti sudah dibisiki banyak oleh kakek neneknya.  
Dia tidak membayangkan jika dia bercerai, siapa yang akan menjaga laki-laki itu. Kalau ditanya apakah dia masih mencintainya, dia tidak tahu. Mungkin tidak. Dia tahu di balik sikap beringas suaminya, pria itu tidak pernah sangat sehat. Jika asmanya kumat, dia tahu betapa tersiksanya. Mereka hanya bisa membeli obat kapletan, karena itu yang paling murah, obat semprot sudah di atas seratus ribu sekarang.
"Ya Tuhan apa salah saya ini!"
Anaknya memandangnya, sinis, "Saya tidak pernah mengerti jalan pikiran Ibu! Orang Kristen juga banyak yang bercerai kok sekarang!" Lalu berdiri meninggalkannya keluar.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment