Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Kedai Mong: Alternate Ending

| No comment
Kedai Mong Ending 1
Ferro tidak bertepuk tangan. Wajahnya memandang lekat perempuan di depannya. Dengung pedal piano menghilang. Kedai itu kembali hening.
"Fingeringmu berantakan, aku bisa jamin itu!" Dia berhenti. Tapi dia seperti belum menyelesaikan kalimatnya. "Mong, kamu punya sesuatu yang tidak bisa dipelajari secara teknis. Sesuatu yang hanya dimiliki para pianis sejati."
Dan seenaknya saja Mong menggelayutkan kedua lengannya ke bahu pria muda itu, "Aku tahu! Jadi kalau aku guru piano aku bisa ngajar grade berapa?"
"Mungkin sembilan atau sepuluh!"
Mong menempelkan raut kesal di wajahnya. Ferro meletakkan keningnya persis di kening perempuan gagah perkasa itu. Lalu bibirnya. Mong membalasnya. Tapi Ferro segera menepisnya.
"Ingat, aku gay!"Mong memutar bola matanya, seperti mengaduk kopinya. "Oh ya? Aku lupa!"
Dan Mong menyergap bibir pria muda itu. Hangat. Berpagutan. Mungkin sepuluh menitan.

Kedai Mong Ending 2
Ferro tidak bertepuk tangan. Wajahnya memandang lekat perempuan di depannya. Dengung pedal piano menghilang. Kedai itu kembali hening.
"Fingeringmu berantakan, aku bisa jamin itu!" Dia berhenti. Tapi dia seperti belum menyelesaikan kalimatnya. "Mong, kamu punya sesuatu yang tidak bisa dipelajari secara teknis. Sesuatu yang hanya dimiliki para pianis sejati."
Dan seenaknya saja Mong menggelayutkan kedua lengannya ke bahu pria muda itu, "Aku tahu! Jadi kalau aku guru piano aku bisa ngajar grade berapa?"
"Mungkin sembilan atau sepuluh!"
Mong menempelkan raut kesal di wajahnya. Dan seketika itu Ferro menyergap bibir penuh di depannya. Mong membalasnya. Tapi sesaat saja Mong melepasnya.
"Sorry, Sayang! Kamu gay!"
Ferro tersenyum, "Aku tahu!"
Dan Ferro menyergap bibir perempuan muda itu. Hangat. Berpagutan. Mungkin sepuluh menitan.

Kedai Mong Ending 3
Ferro tidak bertepuk tangan. Wajahnya memandang lekat perempuan di depannya. Dengung pedal piano menghilang. Kedai itu kembali hening. Mong menatap biola yang masih bersarung itu, lebih kecil dari biola umumnya. 
"Suatu saat aku tidak keberatan belajar biola!"
"Fingeringmu saja berantakan!" Dia berhenti. Tapi dia seperti belum menyelesaikan kalimatnya. "Mong, kamu punya sesuatu yang tidak bisa dipelajari secara teknis. Sesuatu yang hanya dimiliki para pianis sejati."
Dan seenaknya saja Mong menggelayutkan kedua lengannya ke bahu pria muda itu, "Aku tahu! Jadi kalau aku guru piano aku bisa ngajar grade berapa?"
"Satu!" 
Mong menempelkan raut kesal di wajahnya. Serbuk kopi masih menempel di dahinya. Ferro menciumnya, lembut. Mong memundurkan wajahnya.
"Sayang! Kamu gay!"
"Ketika biolaku masih tiga per empat, aku belum betul-betul gay!"
Biola dan piano itu menjadi penonton setia adegan berikutnya. Mong menyergap pria di depannya. Hangat. Berpagutan. Mungkin sepuluh menitan.

Kedai Mong Ending 4
...

Siapa berani bilang ending lebih tidak penting daripada petualangan yang menyusunnya. Proses memang penting tapi jangan mengecilkan perang sebuah ending. Kisah seorang Mong, pemilik kedai kopi di ujung Kemang, yang mengikutsertakan Lexa dan Ferro, pasangan gay itu, tidak akan meninggalkan gigitan jika tidak memiliki ending yang berenergi. Kuku Bima tidak akan menjadi Kuku Bima kalau tidak meninggalkan efek josnya. Dengarkan Fur Elise, bayangkan jika tone terakhirnya bukan A tetapi G. Bisa-bisa kamu stress, stroke, dan bunuh diri. Atau Nocturne Op 9 No 2 dengan nada terakhir tanpa fermata, maka kamu akan guling-guiling seperti kecoa menabrak kaca.

Bayangkan saja sebuah kalimat tanpa tanda baca di akhir kalimatnya. Kamu tidak akan begitu saja mengatakan kalimat itu cerdas, tapi aku rasa kita akan sepakat bahwa penulisnya masih anak SMA. Lihat saja kalimat ini:
Kakak beli sepatu
Aku gila membaca kalimat itu. Dan rambutku segera menggimbal dalam hitungan detik. Please! Cukup bubuhkan sebuah tanda baca terakhir jadi aku tahu bagaimana kalimat itu berhenti. Tanda titik (.) mengindikasikan bahwa kalimat itu sudah selesai, jangan dipaksa lagi. Tanda tanya (?) menunjukkan bahwa ayahmu kaget karena kakakmu beli sepatu lagi, padahal baru bulan lalu dia ganti nomor telpon (apa coba hubungannya). Tanda seru (!) menunjukkan bahwa ibumu menyuruh kakakmu mengganti sepatu bututnya. Titik dua (:) jelas bahwa kalimat itu belum selesai atau kakakmu berniat memborong sepatu. Titik tiga (...) segera menyadarkan kita bahwa itu hanya update status facebook anak alay. 

Salah membaca tanda baca akan membuatmu merampas sewenang-wenang hak asasi apa yang kamu tuliskan atau yang dituliskan penulisnya. Seorang pendeta dengan berapi-api membaca 1 Tesalonika 5: 17 yang hanya dua kata itu. "Tetaplah Berdoa." Dan dengan tidak kalah berapi-api dia berkata, "Rasul Paulus bertanya kepada kita apakah kita masih berdoa?" Dari Hongkong! Berdoa mbahmu! Itu kalimat itu sudah tamat, tidak butuh jawaban. Walaupun aku merasa lebih pas kalau menggunakan tanda seru, itu kalimat perintah kan? Nah ini pentingnya ending yang memadai. Kalau endingnya tidak memadai, kamu hanya sedang menyusun tumpukan batu lalu ada orang bertanya, "Kamu lagi bikin apa?" dan jawabanmu "Kucingku beranak tiga ekor!" Joko sembung naik bemo, gak nyambung jack!

Aku belum tahu bagaimana Kedai Mong akan aku akhiri, tapi yang jelas karena itu proyek tidak pendek, maka endingnya seharusnya tidak ecek-ecek. Kamu pernah ditinggalkan menggantung dua tahun? Seperti istrinya Bang Toyib atau suaminya Jeng Sri? Bagaimana rasanya. Enak. Ya kalau kamu mengatakan kopi dengan air setengah matang itu enak, maka hati-hati saja perutmu kembung sebentar lagi.

Jadi kalau sudah memulai sesuatu, mau itu kuliah, kerja, hubungan, khotbah, esai, puisi, bercinta, atau bahkan buang air besar, akhiri dengan istimewa. Sehingga sang penikmat bisa tuntas nikmatnya. Orgasmenya tidak separuh jalan. Bisakah kamu membayangkan seekor kucing tanpa ekor? Maka dia tidak berhak disebut seekor kucing, kau berhak memberikannya gelar seonggok kucing.

Tentu saja ending itu tidak harus membahagiakan semuanya. Tidak harus menyenangkan semuanya. Status facebook yang baik tidak ditentukan oleh berapa jempol yang kamu terima. Hanya Smash dan Justin Beiber yang mengurusi hal seperti itu. Atau mungkin bapak kita bersama yang hobi melabur dirinya dengan Citra hand and body lotion itu. Yang paling penting adalah kamu bahagia dan mereka yang kamu harapkan bahagia menjadi ikut bahagia. Tapi sebisa mungkin kalau kamu bisa membuat sesuatu yang berguna untuk nusa bangsa dan perdamaian dunia dengan ending yang kamu buat, mengapa tidak? Itu namanya ending yang elegan.

Kesimpulannya apa? Kesimpulannya: Mahasiswa skripsi, kerjakanlah skripsimu?!.:"
Tags : ,

No comments:

Post a Comment