"Apa yang kamu rasakan?" Akhirnya kau memulai pembicaraan. Bukankah diam yang kita bangun sedari rumah terasa begitu aneh? Kita terbiasa hanya diam dan memperhatikan. Kita belajar membaca tanda, bahkan hanya dengan mereka-reka, kita selalu seolah-olah tahu apa yang terjadi. Selama ini kita berpikir bahwa kediaman kita nyaman. Dan akhirnya sekarang kau tahu bahwa kediaman kita tidak selalu benar. Aku mengangkat bahu, tapi kau tahu aku terseyum. Entahlah, aku lega beberapa hari ini. Walaupun memang ada sesuatu yang rasanya berbeda dengan lega ini. Tapi bukankah segala sesuatu selalu bergerak dan berubah. Aku rasa aku akan terbiasa.
"Sejak kapan kamu tahu itu tidak akan berhasil?"
"Sejak pertama." Tukasku pendek.
Kau mengeryitkan alismu. Kau tahu, kau selalu tampak lucu ketika begitu. Kau seperti anak enam tahun yang kesal kepada ibunya karena sang ibu tidak segera memberikan apa yang dimintanya. "Dan kalian bertahan sampai delapan tahun."
"Ya!" Aku melemparkan sebuah batu sebesar kelereng ke dalam air. Aku tak mendengar bunyinya. Gemericik air memakan suara batu itu. Sungai ini mulai surut beberapa tahun ini. Airnya masih jernih seperti dulu. Kau dulu sering bermain berlompatan dari batu ke batu yang lain. Kau akan memilih batu terjauh yang bisa kau lompati. Aku selalu khawatir kau akan tergelincir dan jatuh, tapi selama ini kau lihai, tidak pernah sekalipun terpeleset. Bagaimanapun aku tak pernah berhenti khawatir, bahkan hingga saat ini.
"Kamu tidak menyesal"
Aku memandangmu, "Tidak!"
Kau menatap ke arah sungai, "Wow!" Dan kau melihatku kembali, "Sama sekali tidak?"
Aku memutar mataku, "Mungkin ... menyesal tidak, tapi kecewa iya."
Udara beraroma serai di sini. Rimbun-rimbun serai itu menyatu di beberapa bagian, membentuk gerombolan yang menggunduk seperti kerbau yang berjajar-jajar hendak dimandikan. Ketika kecil, kita akan bertarung mencabut serai-serai itu hingga tangan kita beraroma kari ayam. Bunga gingseng-gingsengan sudah tidak ada sekarang. Gantinya lumut-lumut membentuk gambar pulau-pulau pada bebatuan. Beberapa lumur seperti berbunga jarum-jarum putih, lembut dan anggun.
Kalau kita naik, kita akan bertemu dengan jeram deras di hulu. Ada sepetak air yang dilingkari bambu tempat ibu-ibu mencuci baju. Dulu masih banyak orang mencuci beras di sungai ini, sekarang gantinya mereka mencuci sandal atau tangki sepulang menyemprot padi. Tidak banyak yang berubah, hanya wajah-wajah mereka bertambah keriput. Aku masih mendengar mereka bercanda, dan aku masih memandang senyum-senyum mereka yang sama seperti dulu. Memandangku dengan terhormat, seperti turis dari seberang benua. Padahal aku orang sini-sini saja. Desa selalu begitu, ketika keluarga kita cukup dihargai, sekalipun kita tidak banyak memberikan arti untuk cerita desa ini, kita akan mendapatkan penghargaan yang sama. Orang tua selalu punya cerita menyelamatkan anak-anaknya.
Sedang kau semakin matang. Kau menunjukkan kecerdasanmu yang sejak dulu lebih dari anak-anak seusiamu. Kita berbeda empat tahun, tapi denganmu aku bisa bercerita perihal-perihal yang tidak kuceritakan kepada mereka, yang bahkan dua puluh tahun lebih tua dari kita. Mungkin karena pembicaraan itu akan membosankan bagi mereka, atau memang karena kau satu-satunya yang bisa kuajak berbicara tentang apa saja. Kau adalah jiwa yang kehausan. Dan desa kecil ini, aku tahu sejak awal, tak pernah cukup untuk mencukupi dahagamu akan cerita-cerita baru. Beberapa tahun lalu desa ini digelari desa wisata. Anak-anak kecil berjajar di tepi jalan sampai lapangan di dekat Balai Desa, menantikan Bapak Bupati menyampaikan pidatonya. Tidak ada yang banyak berubah, desa ini masih seperti dulu. Tidak banyak pengunjung yang datang sekalipun desa ini bergelar wisata. Jika ada itu pun hanya beberapa kali setahun, rata-rata pegawai negeri yang studi banding. Aku rasa mereka pun melakukan itu bukan untuk berwisata, tapi lebih karena tuntutan tugas. Sepulang studi banding toh nyatanya di tempat mereka tak ada yang berubah. Atau mungkin jangan-jangan karena itu namanya wisata.
"Ceritakan kepadaku." Kau memintaku. Anehnya, seharusnya kalimat itu terdengar seperti perintah, tapi kau mampu menatanya seperti permohonan belaka. Inilah salah satu kelebihanmu yang lain, kau punya pilihan nada untuk setiap baris kalimatmu. Kau mampu membuat orang terpancing tidak berdaya. Aku sudah hapal, dan kau tahu bahwa aku tidak selalu bersedia menuruti permintaanmu. "Aku dengar di atas dulu pernah ada penambangan pasir." Aku mencoba menghindarkan diriku dari pembicaraan. Tapi kau terus memandangku, "Iya beberapa tahun lalu, tutup karena membuat sungai menjadi kotor. Sekarang ceritakan!" Kau mengangkat alis menantangku. Aku tersenyum. "Aku kecewa karena ini tidak berhasil."
"Jadi menyesal, kan?"
"Bukan itu. Sudah kubilang kan dari awal aku tahu kami tidak akan berhasil. Aku rasa dia juga tahu bahwa kami tidak akan berhasil, kami saja yang memaksa." Ah ketika mengingatnya masih saja ada sesuatu yang bergeronjal di dalam. Ada perasaan tenang, tetapi aku tidak mengelak bahwa minggu ini masih terhitung minggu yang tidak terlalu beres untukku. "Kami berjuang supaya ini berhasil. Dan ternyata setelah sekian tahun kami harus mengakui ternyata kamigagal." Aku mengangkat bahuku dan tersenyum.
"Kamu tidak mencintainya lagi?"
"Aku?" Dan aku mengangkat bahuku lagi. "Dulu ketika masih pertama kali kami bertemu. Ketika kami masih percaya tentang cantik, tentang tampan, aku pernah mencintainya seperti para remaja itu jatuh cinta. Aku rasa dia pun sama." Kau tampak kesal, karena aku seperti menghindari pertanyaanmu, dan aku tahu bahwa kau sadar bahwa aku tidak ingin berterus terang. Tidakkah jawaban yang kuberikan sudah cukup menjelaskan.
"Tapi masak kamu sama sekali gak menyayangkan?"
"Kecewa tadi, iya!" Lalu malam itu membayang seperti foto-foto yang dijajar di lantai. Kami duduk di teras depan. Aku di depan laptopku dan dia di depan laptopnya. Awalnya kami berbicara banyak hal. Dari teman naik gunungnya yang patah tulang selangka kananya, masakan di salah satu resto yang belakangan ini semakin aneh rasanya, sampai politik para koalisi agung di MPR. Dan tanpa aku sadari dia segera berhenti mengetik. Aku berpikir dia menyalakan rokoknya seperti biasa. Tapi tidak, dia diam. Diam yang tidak biasanya. Maka aku menatapnya dan tersenyum.
Semuanya segera melintas di benakku. Dan aku persis tahu arti diamnya yang aneh. Aku ingat aku bertanya kepadanya malam itu, "Jadi ini waktunya?" Dan tidak menjawab samapai cukup lama. Lalu dia meminta maaf kepadaku. Seketika mengingat itu ada perasaan tidak rela yang kuat seketika tumbuh begitu saja. Menemukan pada akhirnya bahwa perjuangan kami akan berakhir tanpa kemenangan yang sama-sama kami impikan pada awal perjuangan rasanya begitu menyesakkan. Tapi aku tahu, sudah tahu sejak semula. Dan aku tahu bahwa waktu itu akan tiba.
"Orang pasti menyayangkan ... delapan tahun bersama tapi akhirnya berpisah karena alasan yang tidak jelas. Ya sudah." Aku memandangmu, memiringkan kepalaku dan meletupkan bibirku. Membentuk pop seperti permen karet yang meletus. "Kami sudah berusaha... dan sungguh-sungguh."
"Padahal semua orang berharap kalian akan terus." Ah, mengapa kau tak melepaskan pandangmu dariku, aku merasa seperti ditelajangi. Kau tahu aku tak pernah sepenuhnya berterus terang dengan urusan hati. Dan kali ini kau memaksaku untuk membuka semuanya. Rasanya seperti menguarkan aib ke udara. Aku tahu kau menikmati ini, ketika aku merasa tidak nyaman dan terpaksa membuka semua di dalam kotak rahasiaku.
"Kami pun selalu begitu, berharap bahwa semua akan baik-baik saja. Dan ternyata... ya ..." Aku tertawa. "Aku sakit lo selama ini."
Kau menatapku semakin lekat.
"Ya! Dia tidak berhenti menyakitiku. Ketika itu terjadi, aku berkali-kali mengatakan kepadanya pergilah jika hendak pergi."
"Dan dia juga tidak menyerah."
Aku merasakan sore itu berkicau lain. Burung-burung menutup mulutnya, hanya air dan angin yang menggoyang pohon dan semak serai di sekeliling kita. Semuanya seolah mendengarkan bersama, dengan sangat tenang, menunggu setiap kalimatku dengan ikhlas. Suspense. Air telah menjadi musik latar pembicaran para aktor di panggung. Dua aktor muda yang seperti sedang menghapalkan dialog mereka, dan mereka tidak benar-benar tahu bagaimana drama ini akan berakhir. Sinar-sinar matahari ikut menonton melalui sela-sela daun bambu yang sesekali menjatuhkan lembarnya. Guguran daun yang menyentuh air sungai dan terbawa arus segera sesudahnya itu seolah anak-anak kecil yang melemparkan sawer meminta supaya suspense yang sudah terlanjur tidak menuju pada sebuah akhir pertunjukan yang membosankan. Waspada. Aku mendadak menjadi harus bertanggung jawab menuntaskan cerita.
Aku mendadak tertawa. Tapi hanya aku. "Kami menyerah ... setelah delapan tahun."
Dia berdecak. "Ah! Delapan tahun. Apa-apaan itu semua!"
"Lama ya!" Aku menggambar bayangan di batu yang kita duduki dengan telunjuk jemari. Dua lingkaran serupa telur yang bertumpuk, angka delapan berkali-kali. Sesekali aku mengangguk-angguk, tentu tanpa alasan. Kau menggelengkan kepalamu seperti tidak percaya. Ketika kesadaranku kembali, aku menatapmu. "Aku selalu berharap dia bahagia. Aku dulu selalu berpikir bahwa dia akan bahagia bersamaku, aku pun akan bahagia bersamanya. Tapi ternyata tidak. Aku sakit. Dia pun sama."
"Dia sakit? Sakit apanya? Dia yang selalu menyakitimu."
"Tapi dia tidak pernah mengatakan selesai."
"Tapi dia yang memutuskan pada akhirnya!"
"Setelah delapan tahun. Selama delapan tahun bersama, selalu aku yang selalu meminta itu. Memang setiap kali cerita itu berulang. Setelah hatiku mereda, aku lalu bertanya kepadaya apakah dia hendak mengakhiri ini. Selalu begitu. Aku mengatakan yang tadi, kalau dia mau pergi pergilah, tetapi aku akan tetap di sana. Dia tidak pernah menjawab. Aku rasa artinya tidak. Besoknya kami baik lagi, seperti tidak pernah ada pertengkaran dan kata selesai dariku tadi malam."
Dan kita tiba-tiba berdiam cukup lama, semuanya mendadak begitu sepi. Tidak ada kita. Tidak ada siapapun, bahkan aliran sungai tenggelam dalam lamunan kita masing-masing. Aku dengan ingatanku pada malam seminggu yang lalu itu. Dan kau entah dengan apa. "Aku tidak tahu harus berkata apa." Ujarmu.
Aku tertawa, aku mengelus alisku, mungkin awalnya aku bermaksud meluruskan kerut di keningku. "Aku hanya berharap kali ini dia tidak menyesal memilih pergi. Aku ingin dia tidak ragu. Karena kalau dia menyesal aku akan lebih sedih. Tetapi kalau tidak, aku pun bisa melepaskannya dengan tenang." Sudahlah, toh semuanya sudah selesai, "Kau masih sering berenang?"
Kau menggeleng. "Jarang, aku mulai sibuk dengan pekerjaan." Beberapa detik kemudian pertanyaan yang sudah kusangka-sangkakan akan muncul itu akhirnya kau ajukan juga dengan nada yang paling lirih. "Kamu bersama yang lain sekarang?"
Aku menggeleng. Kau tidak menatapku, tapi aku tahu kau tersenyum.
"Dia?"
Aku menggeleng. Kau tersenyum semakin lebar. Lalu kau mengangguk-angguk. "Semua hubungan selalu penuh jatuh dan bangun. Pertengkaran. Tapi mereka bertahan pada akhirnya dan tahu bahwa semuanya ternyata baik-baik saja."
Aku tersenyum. "Aku rasa semua orang berpikir seperti kamu. Karena kami pun pernah demikian."
"Dia pernah memukulmu setelah dulu sempat ramai di kantor polisi itu?"
Aku tertawa keras mengingat betapa konyolnya pertengkaran kami saat itu, sampai aku melaporkannya ke polisi. Akhirnya malamnya aku meminta maaf kepada polisi dan mencabut gugatanku. Seperti sinetron saja. "Hanya sekali itu dia memukulku. Setelah hari itu semua berjalan biasa. Aku dengan pekerjaanku, dia dengan pekerjaannya, dia pulang, aku menyiapkan makan malamnya, kadang aku menginap, tapi aku lebih sering pulang malamnya. Kami ... seperti biasa."
"Dan kalian selesai."
Aku tertawa, "Lucu, ya!"
Kau mengambil napas panjang ketika aku melanjutkan. "Kamu tahu, perpisahan ini adalah yang paling menyakitkan. Dibandingkan semua pertengkaran dan apa yang terjadi di antara kami selama ini, perpisahan itu yang paling berat. Selama ini aku yang selalu mengajukan selesai. Dan setelah akhirnya dia yang mengatakan selesai, aku tidak lagi bisa memaksanya, dan memaksa diriku sendiri. Mengetahui apa yang selama ini benar-benar diperjuangkan ternyata akhirnya gagal dan berani jujur mengakuinya. Aku rasa itu yang menyakitkan. Mengakui kita gagal kadang paling berat."
"Apa kalian tidak ingin mencoba ... Ah jangan pakai istilah mencoba lah... tidak ingin benar-benar berusaha memperbaiki ini lagi?"
"Aku sanggup berdiri tanpanya, kalau memang harus benar-benar jujur. Ada yang hilang memang, tapi aku rasa aku sanggup, mungkin hanya selama ini aku tak mau saja. Setelah delapan tahun aku merasa kami semakin bodoh. Aku tidak tahu. Aku rasa kami bersungguh-sungguh selama ini. Tapi pilihan untuk bersama ketika sebenarnya tidak pernah ada lagi yang benar-benar kami rasakan. Kami punya tujuan, tapi bersama dengan waktu, kami dan tujuan itu semakin tidak sejalan."
"Jujur! Kamu masih mencintainya, kan?"
Aku tertawa, mungkin sudah waktunya drama ini mendekati epilognya. Aku akan membuka semuanya supaya tanda tanya segera menjadi titik yang pungkas. Entah itu akan memuaskan, atau justru menyebalkan. "Baiklah ... Eh ... Iya ... Dan tidak! Mengingat semua yang sudah terjadi, aku rasa aku mencintainya. Mengingat bahwa sejak awal kami tahu ini tidak akan berhasil, aku rasa aku sebenarnya tidak pernah mencintainya. Hanya perasaan sayang saja kalau hilang. Ayolah kamu mengerti, kan!"
"Masak kalan tidak percaya bahwa kalian akan berhasil?"
"Kalau kami tidak yakin, kami tidak akan bertahan delapan tahun. Walaupun kami tahu sedari awal, tapi kami terus memegang teguh keyakinan itu, atau harapan. Dan itu yang membuat kami bertahan selama ini. Kami benar-benar yakin. Tapi pada akhirnya kami harus jujur."
Kau membuang muka. Sore mulai meredup. Matahari sudah mencukupkan sinarnya. Melipat dirinya di balik rumpun bambu. Burung kembali berkicau. Angin mulai meniupkan juga dinginnya, dan sungai masih bergemericik.
"Kamu tahu. Aku dan hubunganku yang sekarang, aku masih percaya dan punya harapan bahwa ini akan berhasil sebenarnya karena melihat kalian."
"Dan kami gagal."
"Aku takut. Perpisahan kalian, aku khawatir, itu seperti mengatakan bahwa cerita seperti ini tidak akan berhasil. Dan kami sekarang sedang berjuang untuk sesuatu yang sama seperti kalian. Sia-sia."
Aku menatapmu. Aku tidak terima dengan pernyatanmu. Kau sedang melakukan kesalahan sejarah, sebuah generalisasi yang tidak fair. "Kami gagal. Belum tentu kamu juga begitu." Aku merasa harus menata kalimatku sekarang, mungkin tidak berhasil, tapi aku tidak mau kamu mengambil pilihan yang keliru hanya karena sebuah cerita yang sudah terlanjur. Tidak semua cerita akan berakhir sama. Aku dengan cerita kami, kau dengan cerita kalian. "Kami dulu selalu berharap bahwa kamilah yang bisa membuktikan bahwa cerita semacam ini bisa berhasil. Aku harus berani mengakui ternyata kami salah, ternyata kami gagal. Tapi bukanya aku menyerah pada cerita ini. Aku hanya menyerah pada kami, bukan pada cerita dan harapan ini. Ketika kami menyerah, itu bukan tentang cerita yang delapan tahun ini kami perjuangkan. Aku yakin dia pun begitu. Kami tidak menyerah pada cerita ini, kami hanya menyerah pada kami." Kau menatapku, kau hampir memotongku, tapi aku lebih cepat, "Tapi kita tidak tahu, kami gagal, tapi siapa tahu justru kamulah yang membuatnya berhasil. Aku tidak pernah berhenti dan menyerahkan harapan, tahu!"
"Aku tidak tahu."
"Ingat! Kami baru melepaskan ini setelah delapan tahun. Sudah berapa lama kalian sekarang?"
"Dua tahun setengah."
"Dan kamu belum bertemu kesimpulan?"
"Belum."
"Itulah! Sedangkan kami dulu sejak awal sudah punya, sudah tahu kesimpulan akhirnya bahkan sebelum semuanya dimulai. Dan baru setelah delapan tahun kami berani jujur dengan kesimpulan yang sudah kami buat sejak awal. Itu bedanya kami dan kamu. Kamu selalu menyama-nyamakan dirimu denganku."
"Entahlah." Aku melihat kekewaan itu pada wajahmu.
Air sungai mengalir jernih. Aku melemparkan sebutir batu lain pada batu yang mendekati tepian sungai yang lain. Tidak kena. Aku tertawa, "Kau selalu lebih berani melompati batu-batu itu daripadaku."
Wajahmu tidak berubah, "Orang pasti menganggap kalian konyol."
"Tapi satu orang tidak menganggap kami konyol." Aku mengembangkan senyumku semakin lebar. Kau menatapku, mengambil napas berat. Kau menggelengkan kepala. Lalu kita tertawa bersama-sama.
* In memoriam of C
No comments:
Post a Comment