Angin berhembus di wajahnya. Aku masih memandanginya. Dan panas ini masih menyiksa. Dia tampak lebih tua, jauh lebih tua, walaupun kami baru berpisah tiga tahun. Caranya berbicara, menatap, menarik dan menghembuskan napas sudah menyerupai mamakku. Sangat berat dan tua. Benarkah tiga tahun ini memakannya hingga serupa itu. Raut wajahnya menyimpan cerita lebih dari yang mampu dikatakannya.
Sedang aku masih yang dahulu. Aku masih bercelana pensil dan kemana-mana dengan gadget super, kaus Converse dan rambut dengan potongan hari ini. Sebuah kamera yang sama.
“Tanah ini sudah terlalu keras! Kami hanya bisa menanami rekahannya.”
Ilalang tumbuh terlalu subur, padi mengering. Semuanya begitu kuning. Kuning gersang. Angin panas itu lagi. Bayangan dirinya yang dulu bahkan sudah memudar dari benakku. Bukankah dia dulu pernah begitu sempurna. Dalam kemeja berumpuk putih, dan celana hipster hitam, dan tas besar di bahunya. Aku sudah melupakan tawanya yang dahulu, bagaimana dia menutup bibirnya dengan jemarinya ketika tertawa. Bagaimana dia duduk di tengah anak-anak kecil dan bersinar begitu terang di antara mereka.
“Kamu menyesal?”
“Menyesal?”
“Kamu menyesal pindah kemari?”
Dia tertawa, sebuah tawa yang berat. Dan aku makin mengingat mamakku. Sejenak aku melihatnya sebagai mamakku, mengunyah sirih sambil mendendangkan Maruak Gamang, Malapeh Raso. Bercerita semalam-malaman tentang Kaba Cindua Mato dalam Prahara Paharuyung. Saluang menggema di telingaku, namun begitu samar. Sebuah kamar yang gelap, hanya dengan lampu kulit aren.
“Menyesal itu pilihan yang paling bodoh dari semua pilihan lain...”
Ada yang tertahan di sana. Aku tak bisa membacanya sekarang.
Aku baru sadar, aku memang tak pernah bisa membacanya. Bukankah dia memang penuh kejutan? Dan itu alasanku datang kemari. Aku ingin sekali lagi dikejutkannya. Tapi ternyata aku tak pernah terlalu siap dengan segala kejutannya.
“Kamu selalu berusaha menjadi orang yang baik!” Demikianlah dia memalingkan wajahnya dariku, “Kita pernah punya cerita tentang masa lalu, dan ...” Sekali lagi dia tak melanjutkan ceritanya. Aku tak bisa menebak apa pun.
Aku berada pada sebuah batas, pasang dan surut. Dan aku tak tahu akan memilih yang mana. Dia masih seperti dulu. Tapi juga tak sama seperti dulu.
“Aku tidak terlalu mengerti akarku. Aku tak bahkan tak pernah sungguh di sana. Mamakku meninggal ketika aku baru kelas enam.”
“Itu tidak pernah menjadi alasan.” Jawabnya.
Dia menarik napas lagi.
“Apa yang telah terjadi padamu dalam beberapa waktu kita tidak bertemu?”
“Kamu berasal dari suku perantau, seharusnya kamu lebih tahu tentang merantau daripada aku.” Lalu dia tersenyum, tanpa memandangku, “Aku menjadi begitu tua ya?”
Entahlah, seketika itu sepertinya aku melihat dia yang kukenal dulu. Aku seperti melihatnya menari-nari tidak jelas di kosnya. Lalu berputar hingga jatuh dan tertawa keras. Kami berjalan bersama, bergegas-gegas menonton Randai di Lembaga Indonesia Perancis. Dia tidak henti menyanyikan sebuah kalimat tentang kami yang akan menyaksikan akarku. Aku masih ingat beberapa bagian lagu itu, “Malin Kundang, O, Malin Kundang, di manakah pusara batumu!” Dia menggoyang-goyangkan badannya. Aku tidak pernah malu, tidak mungkin aku malu bersamanya. Karena bersamanya selalu adalah cerita bahagia. Cerita tanpa tanda baca.
“Kamu masih sama seperti dulu!” kalimat itu begitu saja keluar dari bibirku. Aku tak merencanakan apa pun dengan kalimat itu.
“Dan kamu masih berusaha membohongi dirimu.”
Dia menatap langit, lalu memicingkan matanya. “Angin kering akan datang, tersiksa kulitmu nanti! Ayo masuk!” Tapi dia tak beranjak, bahkan tatapannya menyiratkan dia masih akan duduk lama di situ. Bukankah seharusnya aku yang mengatakan kalimat itu. Melihatnya dalam kulitnya yang menghitam, kakinya yang berekah-rekah, seperti menjauhkanku darinya yang dulu.
“Mungkin aku memang tak pernah sungguh mengenalmu!”
Dia tertawa, kali ini sangat keras, namun tetap tawa yang berat seperti tadi-tadi. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang, dan seolah-olah hendak menguncirnya ekor kuda.
“Jangan terlalu keras, nanti rambut cepat rusak!” Dan dia tertawa lagi, dia mengatakan itu seperti mengatakan cemoohan. Aku masih ingat aku tertawa waktu dia mengatakan itu dahulu, tapi tidak sekarang. Aku seperti menemukan di mana dia sekarang. Aku membaca, sepertinya hidupnya yang dahulu hanyalah perkara remeh temeh.
“Aku tidak setuju denganmu!”
“Siapa yang akan mengurus rambut rusak kalau besok mati kelaparan?”
“Bukan itu!”
Dan kali ini dia menoleh kepadaku. Matanya! Aku mengenal tatapan itu, akhirnya ada sesuatu yang tidak berubah darinya. Aku sepenuhnya mengenal tatapan itu. Tatapan di batas, tatapan yang mengantarai terpesona dengan tanda tanya. Aku senang bukan main, aku seperti merasakan, ‘Akhirnya!’ ketika aku menemukan bahwa kami memang pernah punya cerita, dan ini bukan sebuah cerita baru lagi. Ini masih cerita yang sama, seperti dulu.
“Kamu masih bermain biola?” Aku buru-buru menanyakan itu. Seperti membangun kenangan lama lagi.
Dia menarik napas dan beranjak dari tempat duduknya, berdiri. Aku melihatnya begitu kokoh, namun begitu rapuh.
“Ayo masuk! Angin kering sebentar lagi akan berhembus.”
“Selalu ada jalan pulang!”
Dia melangkahkan kakinya, dua langkah ketika dia berhenti. “Nada, aku sudah di rumah!”
Dia terus berjalan, tanpa menoleh lagi.
Aku mengejarnya. Aku berusaha mendahuluinya ketika aku menemukan air mata itu. Menggenang saja enggan menetes. Entah apakah dia memaksakan dirinya atau dia memang terlalu kuat. Dia berjalan lebih bergegas. Tapi aku mencengkerang kedua lengannya. Dia menunduk.
“Kamu selalu membuatku tidak seimbang!”
Demi mendengar kalimat itu, aku segera menimpali, “Aku sudah tiga puluh tahun sekarang!”
Dan kelopak itu tak lagi mampu membendung air yang menderas dari matanya.
Aku tahu kegelapan tengah menggayutimu
Aku juga mendengar jeritan kepedihanmu
Sinar wajahmu berganti kusam menyelimuti
Bagai mustika berbedak jelaga
Aku mengerti duka nestapamu
Bagaikan sibisu barasian
Tunggulah aku Minangkabau
Kutuntaskan semua rantau yang kujelang
Kuhabiskan semua pandang yang ku layang
Lalu aku akan kembali ke pangkuanmu*
*Sepucuk Surat Untuk Minangkabau, Bot Susani
No comments:
Post a Comment