Whatever you want...

Wednesday, October 22, 2014

Kala Kita: Tahun Kedelapan Bulan Kedua

| No comment
"Kamu tidak akan berubah, kan!" 
Dan sang perempuan hanya tertawa saja. "Hari ini masih ada orang-orang yang daftar acara macam ini." Dia memindah chanel televisi, beberapa kali, dan akhirnya dimatikan.
"Jangan dimatikan!"
"Ditonton?"
"Enggak!" Sang pria menambahkan lemah, "Biar nemenin aja."
Sang perempuan tak tertarik menghidupkan lagi televisi. Dia berdiri dan mengambil tasnya.
"Sudah mau pergi?"
"Kamu gak jelas! Katanya disuruh ke sini, sampai sini cuma duduk-duduk doang."
Sang pria berdiri, dia menuju rak buku di sebelah utara. "Sudah baca?"
Perempuan itu hanya menggeleng. "Aku sudah jarang membaca novel sekarang. Malah jarang membaca apa pun."
Sang pria mengerut.
"Rasanya aku sudah menjadi kelompok orang yang dulu ... kita sebut ... ehm ... membosankan." Dia membuang wajahnya ke sebelah kiri, menggoyang ujung ikal rambutnya, "Aku membosankan sekarang," Dalam sebuah tarikan napas dia menambahkan, "hanya bekerja, pulang, menghabiskan waktu untuk urusan-urusan sesehari yang ... yah begitu itu lah."
"Kamu gak membosankan."
Perempuan itu tertawa. "Jangan dipaksakan! Kita sudah terlalu tua untuk hal-hal seperti dulu."
"Memang kamu gak membosankan kok!" Sang pria mengembalikan buku itu kembali ke tempatnya. Dan melihat-lihat kembali judul-judul yang berderet sepanjang rak.
"Aku hanya bisa sampai jam 4. Nanti teman-temanku datang ke rumah. Kami berencana ke dapur umum besok. Hari ini mengumpulkan barang-barang yang mau dibawa."
"Kamu melepaskan mimpi-mimpimu."
"Mungkin! Tapi aku punya mimpi-mimpi yang lain."
"Kenapa?"
Sang perempuan menatap sang pria. Tidak ada yang berubah dari tatapan matanya. Dia masih terlalu tenang.
"Apakah kita sudah tidak ada lagi?" Sang pria bertanya, ada selidik namun ada kelemahan yang begitu saja tampak di sana. Akhirnya dia melepaskan semua perisainya.
Perempuan itu hanya menggeleng singkat. 
Sang pria tampak kecewa, "Janjimu!"
Sang perempuan menggembungkang pipinya dengan  meniupkan udara ke dalam mulutnya. "Kita akan selalu ada, tapi tidak lagi seperti dulu."
"Ada yang lain?"Sang perempuan menggeleng.  
"Apa yang harus kulakukan?"
"Tidak ada." Sang perempuan menukas, sambil membetulkan letak bros lengkung kecil di dada kirinya, "Tidak perlu melakukan apa pun. Kita baik-baik saja, kan?"
"Aku masih berharap kepada ... kita."
Perempuan itu kembali duduk. Dilepaskannya kembali tasnya. "Kita sudah melewati terlalu banyak cerita. Aku jujur agak kaget saja ternyata kamu tidak beranjak sama sekali darimu yang kukenal dahulu."
"Kamu kecewa?"
"Ada bagian diriku yang senang menemukanmu tidak berubah. Tapi pada bagian lain, aku rasa aku tidak bisa bertahan denganmu yang seperti itu."
"Mana yang lebih kuat?"
Perempuan itu tertawa sekali lagi. Menyaksikan sang pria dengan matanya yang masih bulat. Dia tampak lebih bersih sekarang, kulitnya lebih terawat. Dulu mereka akan berpanas-panas meneriakkan seruan mereka di jalan-jalan. Lalu pulang hanya dengan sebungkus nasi. Lalu mereka akan pulang sambil menceritakan betapa hebohnya siang mereka.
Ketika pria itu menelponnya kembali tadi siang. Ada bagian dari dirinya yang melompat kegirangan. Tapi sesudah bertemu, dan menemukan pria itu masih terlalu sama seperti dahulu, semua yang melompat itu tiba-tiba melesu. Dia bertemu dengan anak muda berumur dua puluh satu atau dua puluh duaan. Sedang dirinya sudah berjalan terlalu jauh beberapa tahun di depan sang pria. 
Kadang dia merasa iri menemukan orang-orang yang masih saja sama dengan mimpi-mimpi masa mudanya. Tapi ketika sungguh-sungguh bertemu, dia justru merasa bahwa orang-orang serupa itu seperti sedang berjalan di tengah pasir isap, yang tidak ke mana-mana selain hanya bergerak-gerak di tempat menunggu mati. dan sang pria berubah sedemikian membosankan baginya.
"Aku rasa aku harus benar-benar pergi. Teman-temanku pasti sudah menunggu."
"Kamu berubah!"
"Everybody's changing, honey!" Katanya sembari menepuk pipi sang pria dan  beranjak, berlalu.
Tags : ,

No comments:

Post a Comment