"Ini negeri ungu, sahabatku! Dan kau memilih untuk menjadi kelabu. Kau mengatakan sedari mula kau adalah kelabu. Mengapa hdupmu sedemikian rumit? Mengapa kau membuat segalanya sulit? Atau mungkin jangan-jangan kau benar, bahwa kami saja yang tak terbiasa dengan yang berbeda. Tapi ijinkan aku mengajukan keberatan dari sisiku. Hendak ke mana dunia kau bawa? Atau, setidaknya jika bukan dunia, hendak ke mana kau mengarahkan langkahmu?
"Kita bersama-sama setuju bahwa kebenaran tak hanya satu. Dan aku mengatakan mari kita bermufakat. Kau menerima tawaran itu. Tapi kau tetap tak bersepakat, kau bilang kau minor, dan hampir selalu tak didengar. Kami berusaha untuk mengerti, tapi ajarilah kami mengerti jalanmu. Atau jika bukan kami, tunjukkan jalanmu kepadaku. Agar aku bisa menimbang lebih. Aku mungkin terlalu letih, atau mungkin seperti ujarmu, tak terlalu berjerih. Tahukah kamu bahwa sejatinya aku berusaha keras untuk mengerti.
"Aku tahu kau perih. Dan jangan sangka hanya kau yang sedih. Kau berjalan tertatih. Seperti bara api kau letakkan di telapakmu. Lupakah kau bahwa selama ini ada aku bersamamu? Kau anggap apa kebersamaan kita selama ini. Aku masih di sini, aku tak selalu bisa hadir, itu pasti. Tapi ketika aku bisa, apakah aku memilih meninggalkanmu? Tidak bukan?
Angin pergi ke mana dia mau. Angin kadang berpusar dan membuat semuanya gusar. Tapi angin pun tunduk pada aturan yang sama, tekanan. Dan nanti ketika laut menjadi teduh, angin tak pernah datang lagi. Karena angin menjelma satu dengan udara. Tidakkah kau ingin menjelma angin yang tak tampak tapi sejuk. Kita merasakannya, kita tahu dia ada. Apakah itu tidak cukup? Kau berbeda, dan kau pun tak juga memilih menjadi sama bukan? Mengapa kami harus sama juga denganmu?
"Begini saja. Kau tetaplah menjadi kelabu. Aku ingin kau bahagia. Tapi jangan lelah untuk berbagi. Kalau aku tak bisa membantu, aku akan mendengar.
"Tapi setelah ini mungkin tidak akan ada lagi natal bersama keluargamu. Kau tidak akan berhari raya bersama mereka lagi. Tidak ada kado, tidak ada surat, bahkan mungkin tak ada pesan singkat. Tak ada kawan yang memukulkan telapaknya di pundakmu - bukankah mereka memang tak pernah ada sejak pertama. Kau akan duduk sendiri sepanjang malam, mungkin menghitung bintang, atau memandanginya saja sampai hilang. Hingga muncul bintang baru dan kau hapal ke mana dia menuju.
"Kau akan berjalan di jalan sepi. Dan kau akan bersendiri. Aku berdoa akan ada kelabu yang lain, yang bisa menemanimu di sepanjang jalanmu. Tapi selama belum bertemu, aku akan menemanimu sebisaku. Jelas tidak akan sempurna. Kita toh selama ini belajar menerima bahwa tidak ada buah kandungan yang sempurna. Sepertiku, sepertimu. Semoga kau tak keberatan. Kau bisa melesakkan punggungmu di dadaku ketika lelah, atau menyeka tangismu dengan jaketku. Tapi aku mungkin tidak sesempurna harapanmu. Aku akan mengulangnya, karena hanya itu bisaku.
"Kau percaya Tuhan, bukan? Tuhan yang tak tertidur?"
No comments:
Post a Comment