Dia bahkan belum menyisir rambutnya. Telepon itu jatuh di meja. Dan tangannya segera menggenggam cermin. Menatap hening, bergantian dengan dirinya sendiri. Bibirnya yang merah, rambutnya yang bergelombang hitam usai dikeramas, hidungnya yang setipis kabut pagi, alisnya menyatu di tengah setebal rasa sesaknya. Hendak untuk siapa lagi dia menyisir rambutnya. Hendak untuk siapa lagi?
Wangi anggur itu bahkan masih tercium hingga hari ini. Dahan-dahan yang berjuntai, hijau yang memulaskan ungu yang malu-malu. Dan gaunnya yang seputih siang. Setelah pendeta itu mengijinkannya atas nama Tuhan, pria itu menciumnya persis di pelipis, tidak lebih, tapi masih manis. Keluarga bertepuktangan bersama seluruh jemaat, lalu paduan suara mengulangi lagu Wedding March. Dia seperti masih bisa melihat nyanyian mereka, yang tiba-tiba sunyi, hanya bibir-bibir yang bergerak dalam senyuman bahagia. Sekali lagi suaminya menciumnya, lebih mesra. Pendeta tersenyum lebih lebar, semuanya sunyi. Hanya terdengar bunyi nging dari telepon, bunyi yang setelah ini akan menjadi nada untuk kesepiannya. Tak akan ada lagi ciuman itu, hanya kenangan atas bibir yang pernah berlama-lama di atas bibirnya, dan lengan yang digamitnya.
Dua hari kemudian tubuh itu datang dalam seragam. Perempuan itu segera mengenali pria di dalam peti itu. Dia tidak menangis. Dia berjalan sangat perlahan, seperti melayang menyentuh pipi suaminya. Dingin dan kenyal. Warnanya sepucat sore yang gerimis.
Perempuan itu menekan nomor yang sama. Tidak ada jawaban, hanya suara operator telepon yang berulang-ulang, “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau di luar coverage area, cobalah beberapa saat lagi!” Tapi tak berhenti perempuan itu menelepon, menekan nomor yang sama. Dia berharap suara suaminya yang di sana, bersama tawa yang selalu membuka pembicaraan. Hingga larut malam hanya suara operator itu yang didengarnya. Hingga baterai handphonenya mati, dia masih menekan nomor yang sama. Terus mengulangnya hingga jemarinya seperti mempunyai ingatan sendiri atas nomor-nomor itu.
Dia tak beranjak tidur, walau jam sudah berdentang hanya dua kali. Perempuan itu menatap ke sebelahnya, dan berbicara pada kesunyian yang memekat, tangannyaa yang putih memeluk senyap, berharap ada tegap yang tiba-tiba menyosok.
“Mau kopi, Pa?”
Tak ada jawaban, hanya gemeletuk angin September di jendela dapur. Perempuan itu tetap berdiri juga. Beranjak ke dapur dan mengambil sebuah teko aluminium. Kran diputarnya perlahan, hingga terdengar olehnya suara gemericik air. Matanya tetap memandang lurus ke depan, entah kepada apa, atau siapa. Hanya beberapa kedipan menyelingi tatapan itu. Dia membesarkan aliran kran, dan tak berhenti memandang lurus, bukan kepada tembok berkeramik putih semburat hijau itu. Air terus menduras, tapi perempuan itu tak hendak menghentikannya, bahkan hingga teko itu penuh dan airnya meluber keluar. Ada yang kosong yang ingin diisinya. Tapi tak juga penuh.
Dia menyibak rambutnya yang tak seberapa panjang, mengambil beberapa bagian ikal rambutnya, seikat-seikat. Hingga semuanya penuh di tangannya. Perlahan sekali digelungkan rambut itu. Digelungkannya rambut hitam itu. Terus menerus. Air terus mengucur, dan dia terus menggelung rambutnya, bahkan hingga tak ada lagi yang bisa digelungkan.
Lalu entah dari mana tenaga itu datang. Dia berteriak sekeras-kerasnya. Dilemparkannya teko penuh air di depannya, menabrak rak piring yang segera bergoyang dan melontarkan beberapa piring berhamburan. Sendok-sendok berdentingan. Seolah tak puas, ditariknya rak piring itu hingga terjungkal. Beberapa panci, mangkuk, dan entah apa lagi mengikuti kejatuhan rak itu, menyisakan suara ramai yang saling bertumbukan.
Lalu hanya beberapa saat kemudian ketika dia tiba-tiba mengguguk menangis. Merosot jatuh ke lantai. Dan setelah dentingan piring terakhir semuanya kembali sunyi, menyisakan penat yang amat sangat. Hanya tangisannya yang terdengar dan air yang mengucur ke bak dengan bunyi deras yang menganggu.
Hari 1
Sebelum nenek pulang, ibu berkali-kali mengatakan, "Tidak apa-apa, Buk!" dan beberapa kali tertawa. Aku bisa melihat nenek begitu mengkhawatirkan ibu, tapi ibu justru sangat baik-baik saja. Ibu memanaskan rawon pagi ini, dan memasakkan telur setengah matang dengan sempurna. Kemarin ibu masih seperti biasa menciumku sebelum tidur, hari ini dia malah lebih sering memangkuku, sambil mengelus rambutku, "Kalau nanti sudah besar, jadilah seperti ayahmu!" dia tersenyum dengan manis. Walaupun hari ini aku tidak bisa mengerti arti tatapannya seperti biasanya. Dia melihatku tapi seperti tidak melihatku.
Setelah nenek pulang, ibu mengunci pintu depan. Aku berlari kepadanya, memeluk kakinya. Dia melepaskan pelukanku, separuh menendangku. Aku diam. "Tidur!" wajahnya seperti wajah Bu April, guru kesenian di sekolah, ketika suaminya datang ke sekolah. Mengusir sejauh-jauhnya. Padahal aku belum mengantuk, masih jam setengah tujuh.
Hari 2
Aku terkejut ketika menemukan rak piring terguling dan ibu menangis sejadi-jadinya di lantai. Kran air bahkan belum dimatikan.
Hari 4
Ibu tidak masuk kerja lagi hari ini. Ibu merokok, aku tidak pernah melihatnya merokok, tapi sepertinya ibu sudah sangat lihai. Tidak ada makanan di meja makan, hanya rawon yang sudah berlemak. Aku mengambil rawon itu, "Aku panaskan ya, Bu?" Dia tidak menjawab bahkan tidak memandangku. Aku panaskan saja rawon itu, mendidih, dan aneh sekali seperti lebih kental dari biasanya, rasanya seperti ketika ibu salah memasukkan kunyit ke dalam sup. Ada bekas lengket di dalam mulut, sepertinya air liurku tidak berhenti keluar. Aku minum air banyak-banyak.
"Jangan dimakan, aku buatkan mie saja!" Ibu memasak Indomie, air mendidih, diremasnya mie itu. Dimasukkan ke dalam air. Lalu ibu seperti melamun. Aku tidak berani menganggu, "Aku mau nonton Shaun The Sheep dulu, Bu!" Dan lagi-lagi dia tidak menjawab. Hanya terus memandang ke depan.
Bahkan ketika Shaun The Sheep selesai dan aku berlari ke dapur, ibu masih berdiri seperti tadi.
"Bu kalau kelamaan mienya benyek!"
"Iya!" Lalu ibu menyobek bumbu indomie, dimasukkan semua bumbunya, lalu kecap, lalu saos sambal, lalu minyak sayur, lalu plastik bumbunya. Diaduknya semua. Ibu mengambil mangkok di rak piring, dituangkan semuanya ke dalam mangkok, bentuknya tidak seperti mie lagi, seperti bubur pisang. Ibu mengangkatku ke kursi dan meletakkan mangkuk itu di depanku. Aku takut, aku memakannya saja, rasanya tidak lebih baik dari rawon tadi.
Ibu tersenyum melihatku makan. Lalu menyalakan rokoknya, satu lagi.
"Ibu kenapa merokok?"
Tiba-tiba saja matanya memandangku sangat tajam. Dikeluarkan semua rokok dari bungkusnya. Diremasnya rokok itu dengan kedua tangannya. Napasnya seperti kerbau di acara matador. Beberapa tembakau itu berjatuhan di meja. Lalu dengan sangat cepat didorongkannya remasan rokok-rokok itu ke dalam mulutku, dijejal-jejalkannya hingga tidak cukup mulutku. Aku terbatuk-batuk dan menangis. Ibu lalu memelukku, sangat dalam, "Maafkan Ibu sayang, maafkan ibu!" Pelukannya terasa sangat hangat dan kami menangis bersama-sama.
Ibu mengguguk lebih keras, aku melepaskan diriku dari pelukannya, aku membelai rambutnya, "Tidak apa-apa, Bu!, semuanya akan baik-baik saja!"
Hari 5
Ibu tidak berangkat ke gereja, aku pergi dengan Ariel dan Tante Nina.
Hari 8
Ibu membanting pintu ketika dua orang pria itu keluar dari rumah kami.
"Bangsat!"
Ibu berlari ke kamar mandi. Aku hanya melihat kertas-kertas di meja. Aku membacanya. Pasti dua orang pria itu belum pintar menulis, mereka bahkan tidak bisa menuliskan kata 'Bang', mereka mengganti huruf G dengan huruf K, Bank Rakyat Indonesia. Aku tertawa kecil. Ada tulisan di sana aku tak mengerti apa artinya. Aku membaca di tengah-tengah ada nama ayah, 'tunggakan Bpk. Natan Suharjo sebesar Rp 56.967.458,45.'
Hari 9
Ibu menangis lagi hari ini. Bahkan sampai hari ini dia belum masuk kerja.
Telepon rumah berbunyi terus, tapi tak diangkat-angkat. Handphone Ibu sudah mati sejak beberapa hari lalu, tak juga dicharge. Aku tidak berani mengechargekan karena ibu tak senang kalau aku bermain handphone.
Hari 10
Ibu berbelanja sangat banyak. Bahkan dia membeli lima kardus sardin ikan mackarel ekstra pedas, dua kardus popok bayi, tiga plastik besar tisu, dua belas buah lipstik. Ada juga sekaleng besar susu, padahal aku tidak pernah suka minum susu.
Hari 12
Kami berangkat ke gereja bersama-sama. Ibu menuntunku. Sebenarnya aku malu berjalan dengannya. Roknya sangat pendek, dia hanya menggunakan tank top. Rambutnya dicatok hingga lurus murus. Dia memakai semua gelangnya, aku bisa mendengarkan gemerincing gelang-gelang itu saling bertumbukan. Sepatunya merah, aku bahkan tidak pernah tahu ibu punya sepatu itu. Bibirnya juga sangat merah, pulas matanya juga sangat merah, pipinya juga sangat merah. Tapi badannya sangat berbau rokok.
Aku berteriak di depan rumah Tante Nina, memanggil Tante Nina dan Ariel. Ariel keluar dia membuka pintu dengan senang, lalu berhenti ketika melihat ibu. Ibu tersenyum. Ariel tersenyum juga dengan sangat aneh.
"Sebentar, Tante, saya panggil mama!"
Ibu masih tersenyum. Mengangguk dengan sangat pelan.
Tante Nina keluar dari rumahnya, lalu memandang ibu dari atas ke bawah. Tante Nina membawa tas gerejanya, dia sudah berdandan cantik dengan rok span hitam dan kemeja bunga-bunga. Tante Nina tersenyum tak kalah aneh dengan senyuman Ariel. Ariel bersembunyi di belakang kaki ibunya, mengintip ibu dengan sembunyi-sembunyi.
"Sebentar ada yang ketinggalan, berangkat duluan saja ya!" Tante Nina lalu mendorong Ariel masuk.
"Tidak apa-apa kami tunggu!" kata ibu dengan tetap tersenyum.
"Gak usah duluan saja, mungkin agak lama nyarinya!" nadanya memaksa. Karena itu aku menarik tangan ibu untuk segera berjalan.
Di gereja, ibu mangajakku ikut ibadat dewasa, padahal hari ini Kak Dara yang mengajar Sekolah Minggu. Tapi karena ibu memaksa aku ikut saja. Dia mendudukkanku di sebelahnya. Aku menunggu Tante Nina, tapi Tante Nina malah memilih duduk di belakang. Kami hanya duduk berdua sebangku, tidak ada orang yang duduk di sebelah kami. Aku merasa sangat tidak enak, tapi ibu tenang saja. Bahkan ketika ada yang terlambat dan aku mempersilakan dia duduk di sebelahku, dia malah memilih berempet-empetan dengan orang di belakang kami.
Rasanya sangat aneh. Aku melihat berkeliling, dan semua orang memandang ibu. Beberapa ibu-ibu saling berbisik-bisik.
Aku membisikkan, "Bu, aku ikut Sekolah Minggu saja, ya!'
"Gak usah! di sini saja!" dan aku diam.
Ketika ibadat mulai, ibu mengambil satu buah rokok dari tasnya, menyalakannya. Orang-orang itu memandang kepadanya. Aku tidak berani mengingatkan ibu. Beberapa orang di belakang kami batuk-batuk, tapi jelas bukan karena asap rokok ibu, karena ibu menghembuskannya ke atas.
Akhirnya seorang majelis perempuan tua datang mendekat, suaranya sangat lembut "Bu, mohon rokoknya dimatikan." Ibu meminta maaf, lalu mematikan rokok itu. Mencocopkannya ke bangku gereja. Majelis itu pergi, dan ibu menyalakan satu rokok lagi.
Hari 26
Sudah tiga hari ibu tidak makan, hanya minum dan merokok.
Hari 27
Nenek datang tapi ibu mengusirnya pergi. Nenek mengajakku, tapi aku kasihan kepada ibu, aku tidak mau. Aku bisa melihat wajah nenek yang ... entahlah aku tidak bisa menggambarkannya. Nenek meninggalkan rantang di depan pintu. Aku membawanya ke ruang makan, menata rantang-rantang itu. Mengambil dua buah piring dan dua buah sendok.
"Bu, ayo makan!"
Ibu diam saja, aku makan sendiri. Tapi perutku seperti ditendang-tendang, seperti mual tapi lapar. Aku menangis, aku tidak tahu mengapa aku menangis, tapi aku menangis.
Hari 29
Ibu belum mau makan juga, makanan di rantang nenek sudah basi dan berjamur, nasinya berubah menjadi oranye.
Hari 38 atau 39 aku tak persis ingat
Ibu masih belum mau makan. Tidak merokok, juga tidak minum. Hanya berbaring di sofa sepanjang hari.
Hari berikutnya
Ibu belum makan juga.
Hari Kamis, 2 Februari 2012
Aku bangun dan menemukan ibu tertidur di sofa. Aku mendekatinya, tapi badannya dingin dan kaku, mulutnya berbusa. Aku berteriak menangis. Aku tidak mau sekolah hari ini.
No comments:
Post a Comment