Apa yang menarik dari dia, aku tidak yakin benar-benar tahu. Dia berjerawat dan rambutnya mengembang a la tatanan rambut mamak-mamak di film Dono. Kulitnya sawo matang, jari-jarinya kecil, hidungnya gak pesek gak mancung. Tubuhnya kecil, tapi pinggulnya besar, artinya pahanya pun besar, kalau seksi adalah Mariana Renata, jelas dia tak akan mencapai nilai separuh. Jelas juga bukan matanya, karena dia melapisinya dengan kacamata minus sebelas. Dia terlalu biasa untuk mendapatkan gelar istimewa-istimewa. Tidak ada yang menengoknya hingga meleleh-leleh ketika dilewati.
Tapi entahlah, keterlalubiasaan itu sepertinya berpadu serasi dengan sesuatu yang tidak kumengerti, entah darinya entah dariku. Mungkin sekali aku yang keliru, atau memang dia yang memang punya sisi magis yang memikat. Ah, mungkin inilah rasa yang muncul karena terbiasa, seperti sesanti orang-orang Jawa kuno. Dan aku tidak keberatan bahkan kalau dianggap sebagai korban.
"Gak usah dianterin, orang dekat sini!"
"Ya wis!"
Dia tersenyum, dan melanjutkan berjalan. Aku berjalan juga di sisinya.
"Aku sudah lihat Across the Universe."
"Bagus gak?'" Aku tahu bahwa tanpa bertanya pun aku tahu bahwa dia suka. Selera kami tidak beda-beda jauh. Dari musik, film, hingga jajanan. Dia suka Muse, suka Kitaro, dan suka permainan gitar klasik, aku juga. Dia suka film-film musikal, aku menyukai jenis itu sejak nonton Singing in the Rain. Sejak itu aku selalu suka Gene Kelly. Tapi kami sama-sama tak suka Chicago.
Dia tertawa, "Kamu beneran perlu menanyakan itu ya?"
"Aransemennya terasa baru ya?"
"Ehm, enggak baru-baru banget sih, tapi di beberapa lagu emang aku rasa ada yang gak nyangka kalau itu lagunya Beatles aku suka pas lagu pembukaannya di pantai itu, sama pas lagu Hey Jude, tahu kan! Uh kerasa banget perubahan suasananya."
Aku sepakat dengannya, "Hey Jude itu yang nulis si Paul McCartney pas Lennon lagi ada affair sama Yoko Ono."
"Aku sempat cari-cari juga, sebenarnya bukan Hey Jude, tapi Hey Jules"
"Iya ditulis buat Julian!"
Dia mengangguk.
Kami melewati sebuah lampu jalan, beberapa ngengat mengerubunginya. Membuat warna kuning itu seperti berkibar-kibar berkerlip. Dia segera merangkulkan satu lengannya ke lampu itu dan memutarinya, sambil menyenandungkan "Hey Jude, don't make it bad, take a sad song and make it better..."
Aku tertawa tapi begitu saja menyahutnya, "Remember to let her into your heart, and you can start to make it better!"
Kami tertawa keras berdua. Dia melepaskan pegangannya dan mulai berjalan lagi di sampingku. Tidak ada kupu-kupu dalam perutku, tidak ada perasaan ingin melayang, hanya hangat yang sedari tadi menyelusup lembut di balik jaketku. Jangan salah ini tidak berlebihan, hanya rasa hangat saja. Bukan sesuatu yang mengubah hidup atau tiba-tiba saja mengubah malam yang dingin menjadi sempurna, hangat saja.
"Kapan-kapan kita nonton bareng yuk!"
Dia tertawa mendengarkan ajakanku, "Siap bos! Tapi film yang ringan saja ya?"
"Iya, aku juga butuh tertawa!"
"Kamu gak malu nonton sama aku?"
Aku sepertinya sudah waspada bahwa pertanyaan itu akan ditanyakannya. Tapi tentu saja tidak. Aku tidak menjawab, hanya tersenyum saja, dan berjalan lebih bergegas. Dia mengikutiku di belakang. Dan seketika itu dia menyenandungkan, "Terus melangkah melupakanmu, lelah hati perhatikan sikapmu..."
Aku tertawa, dan melompat, dia ikut melompat. Aku mengangkat satu tangan ke atas, dia melakukannya juga. Kami tertawa keras berdua, tapi dia tidak berhenti bernyanyi. Aku terus berjalan di depannya dan melakukan langkah-langkah yang diikutinya dengan persis.
"Engkau bukanlah segalaku, bukan tempat tuk ..."
"Kamu suka Beatles?"
Dia berhenti mengikutiku dan membarengi langkahku. Celana jinsnya selalu kubilang ketinggalan jaman. Aku ingat pernah mengingatkannya, menyarankannya untuk mencoba menggunakan beberapa pakaian yang agak jaman sekarang, dan dia hanya tertawa saja mendengarkan saranku. Aku ingat celana itu dipakainya ketika pertama kali kami bertemu, dan sampai malam ini ketika sudah hampir empat tahun kami berteman, dia tetap tidak meninggalkan celana itu. Ukuran tubuhnya memang tidak berubah banyak, dandanannya masih sama yang itu-itu juga, hanya tasnya yang berganti, setidaknya dia mendengarkan saranku bahwa tasnya sudah waktunya ganti. Dan itu pun sudah satu setengah tahun yang lalu.
"Beatles ya... Ehm..."
Hampir sepuluh detik berlalu, aku pun tertawa, "Halah susah banget mikir gitu, kayak mikir negara aja!"
Dia ikut tertawa juga, "So so lah! Beatles terlalu tua buatku, berbeda era."
"Aku juga!"
Kadang kita menemukan saat ketika kita tidak perlu menjadi orang lain, berjalan begitu saja dan semuanya mengalir begitu lancar. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan, karena nyatanya memang tidak ada yang tersembunyi. Waktu-waktu yang rasanya enggan untuk dilepaskan, bahkan membuatmu rela kalau harus mati saat itu. Ketika malam tidak terlalu dingin dan siang terasa sejuk, ketika angin meniup-niup begitu semilir dan membuatmu terpesona sekaligus membenci waktu.
Demikianlah ketika kami akhirnya sampai di depan kosnya dan teleponnya berbunyi.
"Siapa?"
"Lius."
"Cie... Diangkat dong! Halo cinta!"
Dia tertawa dan justru mematikan telepon itu.
"Ah, akhirnya kamu mengantarkanku pulang juga."
"Hahaha! Gak masalah!"
Dia meluruskan tangannya ke atas dan menguap. "Sampai ketemu besok ya! Ingat jangan lupa bawain hasil fotonya yang kemarin!"
Aku mengangguk, dan melanjutkan berjalanku.
Kudengar teleponnya berbunyi lagi, dia mengangkatnya, "Halo! Lius sori aku tadi ..."
Dia berbicara dan aku terus berjalan. Aku tersenyum, senyum yang penuh. Aku rasa aku akan tidur cepat malam ini dan bangun pagi sekali. Wonderful day!
No comments:
Post a Comment